45 Menit (Bagian 2)
Oleh: Bryant Hadinata
Editor: Ares Faujian
Hen membuatku pusing. Ini pertama kalinya selama kita menjadi sahabat ia membuatku begitu stres.
“Percaya atau tidak. Semenjak kita kuliah, aku rasa mata batinku terbuka.”
Suasana mendadak hening. Kemudian, aku memasang raut wajah bertanya-tanya kepada Hen.
“Iya, aku bisa melihat sesuatu yang tidak bisa dilihat oleh orang-orang. Kau pasti sulit untuk percaya denganku karena aku saja masih sulit untuk percaya. Apalagi sejak dulu aku tidak pernah berada di lingkungan mistis atau gaib. Tapi, aku pernah dengar kalau hal seperti ini terjadi karena turunan dari leluhur.”
“Yang benar saja Hen? Demi Tuhan…”
“Aku tahu kau pasti sangat kaget sekarang ini. Hahaha,” tawa Hen yang di mana aku tidak percaya ia masih sempat-sempatnya tertawa di saat seperti ini. Hen yang aku kenal selama ini sangat berbeda dengan yang sekarang. Jika memang benar ia memiliki kemampuan, mungkin ini kesempatan untukku menangani masalahku yang sudah semakin buruk.
“Hen, jadi perempuan tadi yang ada di dapur itu sebenarnya apa? Dan lagi, kenapa rumahku jadi angker begini? Apa aku diguna-guna? Atau ini kutukan? Atau apa?”
“Wow, tenangkan dirimu. Aku akan menjelaskan semampunya. Kau sebenarnya pasti tahu kalau di hidup ini kita tidak sendirian. Masih ada banyak sekali makhluk yang lain. Baik itu yang terlihat atau yang tidak terlihat.”
Hen berkata kalau perempuan yang sudah mengangguku beberapa kali di rumahku ini adalah penghuni pertama rumah ini. Aku adalah penghuni ketiga jika aku tidak salah ingat. Hen menjelaskan sesuatu yang justru membuatku semakin takut bukan main.
“Perempuan itu sepertinya sangat suka denganmu. Hahahaha!” lagi-lagi Hen tertawa. Habis ini aku yakin Hen tidak akan bisa pulang ke rumahnya dengan enteng begitu saja, akan aku pastikan itu.
“Jika perempuan itu tertarik denganku lebih baik aku pindah saja. Apa boleh aku meminjam uangmu dulu?”
“Hahaha! Tenang saja. Dia itu suka denganmu. Bukan benci denganmu.”
“Kalau begitu kenapa aku pernah didorong di depan pintu kamar mandi, bermimpi buruk terus-terusan, kran air menyala sendiri, segala perabotan bergerak sendiri dan menyala dengan sendirinya? Jelas dia ingin mengangguku dan mengacak-acak hidupku supaya aku tidak bisa hidup dengan tenang.”
“Hei, jaga ucapanmu. Mereka juga punya perasaan tahu. Dia pasti sedih kalau kau berkata seperti itu di depannya.”
“Demi Tuhan, Hen! Sekarang kau memihaknya? Belum ada 45 menit kau duduk di ruang tamu ini dan sekarang kau berpihak pada hantu atau jin?”
“Bukan begitu. Dan aku yakin sebenarnya niat dari perempuan itu tidak bermaksud seperti itu. Tadi aku sempat melihat auranya dan masa lalunya. Sangat menyedihkan. Sepertinya perempuan itu sempat mengalami masalah percintaan yang amat tragis semasa hidupnya. Mungkin hingga sekarang ia masih membenci kaum pria jika ia tidak sengaja melihat pria. Karena itu, saat pertama kali ia menunjukkan dirinya padamu, ia sempat mendorongmu dan sering kali kau mengalami mimpi buruk. Tapi, terlepas dari itu semua, sebenarnya ia sangat tertarik denganmu.”
“Aku serius padamu, Hen. Apa boleh aku meminjam uangmu terlebih dahulu untuk persiapan membeli rumah baru? Aku berjanji akan melunasinya. Kau tinggal katakan saja apa yang harus aku lakukan nantinya dan-“
“Kau tidak perlu sampai harus pindah rumah. Aku berani jamin setelah ini kau akan aman. Jangan lupa berdoa tentunya. Hahahaha! Maaf, maksudku… kau pasti akan baik-baik saja. Tidak masalah untukmu menerima keberadaannya apa adanya. Setelah ini, gangguannya akan berkurang. Karena aku sudah mengungkapkan isi hatinya padamu. Saran dariku, kau harus terus mendoakannya supaya ia bisa segera tenang dan ‘pergi’ dari sini. Bukan berarti dengan cara diusir seperti di film-film.”
Yang benar saja? Hen menyuruhku untuk tenang dan menerima segalanya dengan kondisi yang sudah aku alami di rumah ini hingga saat ini?! Mustahil.
Beberapa menit berbincang, Hen pun pergi. Aku masih tidak bisa tenang setelah mendengarkan apa yang ia katakan. Tapi, aku masih sangat kagum dengan kemampuan barunya. Tidak dapat dipungkiri lagi.
Malamnya, setelah berdoa memohon ketenangan, aku bersiap untuk tidur dengan segala jimat yang aku percaya mampu untuk mengusir gangguan gaib. Tidak ada cara lain. Dan lagi, aku tidak mau mendengarkan apa yang dikatakan oleh Hen. Baru saja aku akan memejamkan mataku, aku mendengar suara tangisan wanita.
“Ya Tuhan, itu pasti dia! Aku harus tetap tenang. Aku harus percaya kalau aku bisa menghadapi semua ini.”
Beberapa bulan sudah berlalu. Masalah terbaru yang aku hadapi saat ini bukanlah gangguan di rumahku. Melainkan masalah keuangan. Ini gawat sekali. Apa saja yang sudah aku keluarkan di bulan ini? Gajiku di kantor tidak pernah naik. Sedangkan, harga kebutuhan pokok tidak pernah turun. Bagaimana ini, ya Tuhan?
Untungnya, aku masih hidup sendiri. Aku tidak bisa bayangkan jika aku sudah berkeluarga saat ini. Pasti tidak akan menjadi suatu cerita yang menyenangkan untuk diceritakan, bahkan untuk diingat.
Masalah ekonomi yang kian memburuk ini telah membuatku lupa dengan betapa angkernya rumah ini, apalagi karena ulah sosok perempuan yang diduga adalah penghuni pertama rumah ini. Aku mulai semakin terbiasa dengan gangguan gaib dan hal tidak logis lainnya di rumah ini. Mungkin begitu juga dengan Hen yang semakin terbiasa melihat segala macam sosok menyeramkan dan bisa tiba-tiba muncul di hadapannya.
Pada akhirnya, aku mulai berpikir kalau ternyata masalah ekonomi lebih menyeramkan daripada harus tinggal dengan sosok perempuan yang ada di rumahku ini. Mengerikan sekali. Lebih mengerikan lagi jika aku memiliki hutang yang rasanya tidak akan pernah bisa lunas hanya dengan kerja kantoran sepertiku ini. Ok, baiklah. Tenangkan dirimu. Aku tidak punya hutang. Hanya tagihan listrik dan air. Aku pasti bisa menghadapinya.
Aku pun mengambil segelas air dan membawanya ke ruang tamu untuk diminum. Sambil menenangkan diri. Ok, rupanya tidak semudah itu. Aku masih resah. Untuk menghilangkan rasa takutku pada masalah uang yang pasti akan terus muncul selama kita masih menjadi manusia, aku menelepon Hen untuk bertanya kabarnya. Hanya Hen satu-satunya temanku yang masih aktif berkontak denganku.
“Halo, Hen! Apa kabarnya?”
“Lancar di sini. Bagaimana denganmu?”
“Eh, ya masih aman terkendali.”
“Syukurlah. Bagaimana kabar wanita itu? Hahahaha!”
“Aku tidak tahu. Bagaimana kalau kau datang kemari dan melihat kondisinya?”
“Tidak perlu. Aku bisa melihatnya dari rumahku.”
Hingga sekarang, aku masih sulit untuk percaya dengan Hen. Namun, setelah melihat diriku yang masih baik-baik saja tinggal di rumah ini hingga detik ini, aku jadi semakin yakin kalau memang benar perempuan itu menyukaiku.
Awalnya aku sangat ketakutan. Tapi, entah kenapa sekarang rasanya tampak biasa saja. Aku tidak peduli dengan perempuan itu. Hen berkata kalau perempuan itu masih ada di rumahku. Ia tidak berniat untuk pergi. Alasannya masih sama. Ia menyukaiku. Namun, jika ia tidak bisa pergi, maka hal itu justru akan membuatnya menjadi semakin menderita. Sebenarnya jujur, aku tidak peduli.
Hingga suatu hari, aku terpeleset dan hampir jatuh di dapur. Ajaibnya, seperti ada seseorang yang menahanku dari belakang agar aku tidak terjatuh dan sakit. Aku melihat rambut perempuan itu. Sosoknya memang menyeramkan. Tapi, entah kenapa aku tidak masalah dengan hal itu.
Malam itu aku tidak bisa tidur. Aku berpikir apakah perempuan itu memang benar-benar hidup menderita. Aku mulai mengingat perkataan Hen. Aku rasa aku memang harus mendoakan perempuan itu supaya ia bisa segera bebas dari sini. Aku membayangkan diriku jika berada di posisinya. Aku bisa merasakan betapa sengsaranya hidup seperti itu.
Namun, di sisi lain justru aku iri pada perempuan itu. Ia sudah meninggal. Ia tidak perlu lagi memikirkan masalah ekonomi, uang, atau masalah lainnya yang terjadi pada hidup manusia. Tapi, sebelumnya ia juga manusia. Mendengar cerita dari Hen, aku rasa memang benar hidupnya sungguh menyedihkan. Dan sekarang, karena barangkali masa kelam itu, ia terjebak di rumah ini.
Aku tidak tahu kenapa aku jadi berpikir hingga sejauh ini. Sebelumnya aku tidak pernah berpikir hingga sejauh ini. Apa karena faktor umur? Atau karena mengingat betapa tertekannya tuntutan hidup yang ada?
Terkadang, segala sesuatu memang memiliki dua perspektif. Baik dan buruknya adalah dua mata koin. Tapi, semua itu hanyalah tipu muslihat di mataku. Datang dan pergi begitu saja. Jam dinding di rumah ini, menjadi saksi bisu atas apa yang telah terjadi di rumah ini.
.
-Bersambung-
.
Keterangan:
Sebagian kisah dari tulisan ini adalah cerita nyata yang memang dialami oleh penulis

Bagian 1: https://belitungmuda.com/45-menit-bagian-1/
Bagian 3: https://belitungmuda.com/45-menit-bagian-3-terakhir/