45 Menit (Bagian 3-Terakhir)
Oleh: Bryant Hadinata
Editor: Ares Faujian
Setelah berpikir panjang tentang hidup, di mana sebelumnya yang bisa aku pikirkan hanyalah kuliah dan kerja, aku berdoa semoga perempuan itu bisa segera terbebaskan. Pada akhirnya, aku bisa mengerti maksud Hen. Setelah itu aku lekas tidur untuk bekerja besok. Sudah cukup lama aku berhenti memakai jimat. Mungkin karena aku sudah merasa terbiasa. Aku belum yakin secara pasti apakah karena terbiasa atau karena aku sudah merasa nyaman dengannya.
Aku terlelap dalam tidur. Aku mengalami mimpi yang unik. Aku sudah bersiap-siap jika ini adalah mimpi buruk.
Aku bermimpi aku sedang di ruang tamu rumahku. Aku sedang berbicara dengan Hen. Kejadiannya sama persis seperti saat kami bertemu pada waktu itu. Di meja sudah tersedia beberapa kue dan teh. Sejak kapan aku menyiapkan semua ini? Aku dan Hen sedang berbincang sambil tertawa membahas masa lalu.
Jika dipikir lagi, kami memang sangat dekat. Sudah seperti saudara dari kecil. Wajar, karena saat SD rumah kami bersebelahan. Kami bermain bersama, berjanji bersama akan menjadi sahabat selamanya, bertengkar bersama, dan banyak lagi. Aku tidak bisa mengingat semuanya. Kami juga suka bertukar komik saat masih SD. Bahkan, menginap bersama sambil membaca komik yang kami tukar. Menyantap kukis coklat buatan ibuku dengan dua gelas susu coklat. Aku ingat gara-gara itu kami berdua langsung sakit gigi dan langsung ke dokter gigi, bersama-sama.
Pekerjaan orang dewasa memisahkan kami. Namun, aku sangat bersyukur kami masih bisa berkontak dan memegang janji pertemanan yang kami buat saat masih menjadi bocah SD.
Kembali ke mimpi, tiba-tiba perempuan yang menghantui rumahku ini datang memegang bahuku. Lembut dan dingin. Aku melirik ke arah wajahnya. Wajah perempuan itu sangat cantik di mataku. Hen pun mulai memanas-manasi seperti yang selalu ia lakukan kepadaku. Kemudian, ia berkata, “Ok deh, aku tidak bisa berlama-lama. Aku harus pergi. Oh ya, kalian baik-baik ya di sini. Aku mau pergi dulu.”
“Makasih sudah mampir jauh-jauh, Hen. Kapan-kapan aku mampir ke rumahmu.”
“Ya, silahkan saja. Baiklah. Sampai bertemu! Tetap jaga diri baik-baik ya!”
Aku bisa merasakan betapa senangnya diriku bisa berbincang lama dengan Hen. Kemudian, wanita itu mengajakku duduk bersama. Aku tidak mengenalnya. Entah kenapa aku seperti mengenalnya. Ternyata, ia sudah menyiapkan makan malam untukku. Aku merasa seperti seorang kepala keluarga. Apa begini rasanya menjadi kepala keluarga?
Tiba-tiba, aku terbangun dari mimpi unik nan aneh itu karena suara telepon. Aku melihat jam, ternyata aku baru saja tertidur selama 45 menit. Sungguh aku merasa senang bisa bermimpi seperti itu walaupun singkat. Aku pun berjalan menuju telepon yang berdering itu. Kemudian, mengangkatnya.
“Ya, halo?”
“Ha, halo? Ini Roni kan?” suara seorang perempuan yang tampak sudah berumur menyebut namaku. Anehnya, nama kontaknya adalah Hen.
“Iya, benar. Ini dengan siapa?”
“Ini saya bibinya Hen. Kamu lupa ya?”
“Ohh ya ampun, Bibi Tin! Iya ingat. Apa kabarnya? Hen ke mana? Kok, Bibi pakai ponsel Hen?”
Hening sejenak. Aku menunggu jawabannya.
“Eh, Roni… Jadi begini,…”
“Iya, Bi? Ada apa?” aku bisa merasakan suasananya terasa sesak.
“Bibi harap kamu bisa menerimanya jika terjadi apa-apa.”
“Apa maksudmu, Bibi Tin? Langsung saja jelaskan ada apa. Apa ada masalah?”
“Ini soal Hen,” ucap getar Bibi Tin.
Aku tahu ada yang tidak beres membuatku begitu sesak.
Saat itu juga, spontan aku melihat sosok perempuan penghuni pertama rumah ini yang melambaikan tangannya kepadaku. Kemudian, perempuan itu berkata terima kasih. Aku dapat mendengarnya. Jelas sekali!
Tiba-tiba, ia langsung hilang begitu saja dengan gaun serba putihnya itu. Kali ini apalagi yang terjadi, oh Tuhan? Aku merasa sesak ketika melihat perempuan itu harus pergi. Apa jangan-jangan ia pergi untuk selama-lamanya? Seharusnya aku senang. Tapi, hatiku benar-benar sesak melihatnya pergi. Ditambah lagi, dadaku terasa sesak mendengar suara Bibi Tin.
Sinar cahaya yang terang seperti menabrak kepalaku tanpa tanda-tanda. Aku melihat seperti sebuah layar raksasa yang memutar film dengan sendirinya. Perempuan yang pergi itu, adalah rekan kerjaku. Rekan kerjaku sebelum aku pindah. Rekan kerja? Apa ini mimpi kedua?! Film di layar itu mulai memainkan adegan anarkis dan tidak pantas yang dialami perempuan malang itu. Pelakunya adalah seorang pria berdasi. Atasan kantor? Demi Tuhan apa yang kulihat ini? Belum sempat mengambil kesimpulan, semua fenomena mistis itu hilang.
“Halo? Roni, ini teleponnya masih nyambung, kan?”
“Ah, maaf.”
Bibi Tin masih belum menjelaskan mengapa ia harus menganggu waktu tidurku. Karena ia tidak mau menjelaskan secara langsung, aku pun bertanya padanya lagi.
“Apa hal buruk terjadi pada Hen?”
Aku harap jawabannya tidak. Namun, kenyataannya iya.
Aku kembali menebak.
“Apa Hen kecelakaan?”
“Sebenarnya Hen memiliki penyakit yang cukup parah. Saat ini dia di ICU. Apa ia pernah bilang soal penyakitnya kepadamu?”
Rasanya aku ingin jatuh.
“Tidak. Hen tidak pernah bilang,” suaraku bergetar.
“Ini sudah terjadi sejak lama. Aku rasa ia merahasiakan ini kepadamu.”
“Aku ingin memarahinya. Sekarang juga. Berikan ponsel ini kepadanya!”
Suara tangisan terdengar dari ponselku.
Cukup!
Aku sudah merasa sesak melihat perempuan tadi pergi begitu saja. Aku tidak ingin menambah sesak. Seperti yang sudah aku katakan, bagiku hidup seperti tipu muslihat. Bagi siapa pun yang tidak kuat bertahan, maka dia akan rapuh begitu saja. Begitulah yang aku tangkap selama ini.
Aku sadar, betapa pentingnya kita untuk bahagia dalam hidup walaupun hanya 45 menit saja. Aku bersyukur mengalami semua ini untuk membuatku menjadi kuat.
Aku bergegas mengeluarkan semua biaya untuk pergi ke RS tempat Hen dirawat intensif. Aku juga sudah menyiapkan beberapa untuk biaya pengobatan Hen. Aku tahu ini terlalu berlebihan. Tapi, aku harus melakukannya.
Berjam-jam dalam perjalanan aku terus berdoa tanpa henti kepada Tuhan, semoga Hen baik-baik saja.
Pada akhirnya aku sampai di RS tersebut. Kerabat Hen menyambutku. Kami terjaga semalaman menunggu hasil dari dokter. Aku adalah sahabatnya. Aku tentu rela melakukan apapun yang aku bisa. Sebagai sahabat, ini sudah semestinya.
Keesokan paginya, belum ada kabar positif. Tiba-tiba, ada panggilan masuk. Itu adalah rekan kerjaku dan aku tahu topik apa yang akan dibahas. Detik itu juga aku meminta izin kepada atasanku. Namun, aku tidak mendapat izin. Justru aku akan dipecat jika pagi ini aku tidak ke kantor.
Baiklah. Tidak masalah. Aku pun mengundurkan diri melalui via telepon. Semuanya terkejut. Aku tahu ini terlalu berisiko. Tapi, aku tidak masalah. Masih banyak kantor lainnya. Terima kasih berkat sosok perempuan di rumahku atas pesan terakhirnya. Entah bagaimana aku menjadi orang yang percaya. Dan secara tidak langsung juga aku menjadi orang yang sangat suka berdoa.
45 menit berlalu setelah aku menelepon, dokter pun akhirnya keluar. Kami semua langsung berdiri.
“Saya sudah berusaha semampunya,” ucap dokter tersebut.
“Jadi bagaimana hasilnya?”
Dokter mengangguk dan tersenyum. Sumringah pun muncul. Matahari terang bersinar. Aku memeluk Hen dengan erat. Aku sungguh tidak ingin momentum ini hilang begitu saja di masa tuaku nanti. Itulah kenapa aku menulis buku yang berjudul ’45 Menit’ sebagai rasa syukurku kepada pencipta kebahagiaan.
Memang sulit untuk memastikan apakah kita akan bahagia atau tidak di masa depan. Semua terjadi begitu saja. Mau itu menyenangkan atau menyedihkan. Aku hanya bisa berharap aku akan terus menjadi ‘bahagia’.
.
-Tamat-
.
Keterangan:
Sebagian kisah dari tulisan ini adalah cerita nyata yang memang dialami oleh penulis

Bagian 1 : https://belitungmuda.com/45-menit-bagian-1/
Bagian 2 : https://belitungmuda.com/45-menit-bagian-2/