Aktualisasi Nilai Praksis Pancasila dalam Semangat Gotong Royong Pemuda di Masa Pandemi Covid19
Oleh: Eki Piroza
Guru PKn SMP Negeri 3 Kelapa Kampit
Editor: Ares Faujian
Sudah setahun pandemi Covid19 melanda dunia. Penyebarannya begitu cepat dan luas ke berbagai penjuru dunia. Organisasi Kesehatan Dunia atau World Health Organization (WHO) menetapkan wabah ini menjadi pandemi global sejak tanggal 11 Maret 2020. Penetapan ini disampaikan langsung oleh Direktur Jenderal WHO, Tedros Ghebreyesus, di Jenewa, Swiss.
Kasus pertama di Indonesia sendiri terkonfirmasi dan diumumkan oleh pemerintah pada tanggal 2 Maret 2020. Beberapa hari setelah itu, seluruh aktivitas masyarakat mulai dibatasi, termasuk proses pembelajaran di kampus dan sekolah. Praktis, proses pembelajaran mulai dilakukan dari rumah dengan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi (TIK) yang tersedia seketika guru dan siswa pun menjadi akrab dengan berbagai aplikasi belajar daring. Kondisi yang serba dibatasi ini turut memengaruhi pola pikir serta gaya hidup masyarakat Indonesia terlebih generasi muda.
Sebelum pandemi ini melanda, masyarakat kita telah terbiasa dengan kehidupan komunal yang mengutamakan asas kebersamaan dan semangat gotong royong dalam menjalani kehidupan. Mulai dari aspek politik, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan, keamanan, agama hingga pendidikan. Akan tetapi, secara mendadak dan tiba-tiba, kita dituntut untuk hidup soliter serta mengisolasi diri. Seolah pola pikir kita dibentuk untuk lebih waspada terhadap segala sesuatu yang berhubungan dengan kehidupan bersama. Lalu, apakah semangat gotong royong yang menjiwai nilai-nilai Pancasila menjadi pudar? Apakah kita berubah menjadi masyarakat yang individualis? Guna menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas kita perlu mengingat dua hal, yakni konsep dan konteks.
Tiga Aspek Nilai yang Termuat dalam Pancasila
Secara konsep, Pancasila memuat tiga aspek nilai yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praksis. Nilai dasar merupakan nilai paten yang tidak dapat dilakukan perubahan karena telah menjadi konsepsi sebagai hasil dari konsensus bersama. Nilai instrumental merupakan derivasi dari nilai dasar yang termuat di dalam peraturan perundang-undangan serta program kerja pemerintah. Nilai praksis merupakan perwujudan dan pengejawantahan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari yang tampak dari tindakan nyata bangsa Indonesia. Nilai instrumental dan nilai praksis ini menjadi sangat dinamis karena inline dengan perkembangan masyarakat dan tuntutan zaman.
Secara konsep, seharusnya masyarakat telah selesai dalam membahas Pancasila karena sejak dunia persekolahan hingga kancah politik, konsep Pancasila tidak pernah absen sebagai topik diskursus publik. Lihat saja tema-tema yang tertulis dalam poster publikasi seminar hingga headline yang tertulis di berbagai media massa. Akan tetapi, Pancasila tidak boleh hanya berhenti sebagai kajian akademis dan historisitas semata, keberadaannya harus nyata dalam kehidupan kita. Oleh karena itulah, kita butuh melihat konteks.
Secara konteks, terlepas dari segala perdebatan dan perbincangan publik terkait Pancasila, sebenarnya masyarakat kita memiliki modal sosial yang sangat besar sebagai dasar pembentukan civil society (masyarakat madani). Modal sosial ini bersifat sangat dinamis dan adaptif, menyesuaikan diri dengan kondisi yang terjadi termasuk era pandemi seperti saat ini.
Aktualisasi Pancasila dalam Semangat Gotong Royong
Bukti adanya modal sosial yang sangat kuat ini dapat kita saksikan secara nyata sejak awal Covid19 masuk ke Indonesia hingga saat ini. Lihat saja, berapa banyak pemuda yang mengadakan gerakan bakti sosial dengan menggalang dana guna membeli APD bagi tenaga medis. Berapa banyak pemuda yang tergabung dalam berbagai organisasi kepemudaan yang menyumbangkan harta dan tenaganya bagi penanganan Covid19. Berapa banyak mahasiswa yang membuka donasi guna membantu orang-orang yang terkena PHK akibat perusahaannya mengalami krisis. Hingga berapa banyak pelajar di Indonesia yang menyatakan dukungan dan memberikan semangat kepada pejuang-pejuang kemanusiaan di garda terdepan? Hampir seluruh gerakan kepedulian itu diinisiasi oleh pemuda Indonesia. Itu semua adalah wujud nyata dari nilai praksis Pancasila yang berkembang sesuai konteks.
Era pandemi ini telah mengajarkan dan menyadarkan kita semua bahwa sebagai bangsa yang besar, kita tidak boleh dikalahkan oleh keadaan, sebab kita memiliki konsepsi yang paripurna dan ideal. Meskipun gaya hidup kita berubah, tetapi cara hidup gotong royong kita tetap lestari.
Kita boleh saja dipaksa oleh keadaan untuk membatasi diri, tetapi hakikat kebersamaan dan kekeluargaan kita tidak akan pernah pudar. Inilah yang disebut dengan aktualisasi nilai praksis Pancasila yang disesuaikan dengan konteks yang berkembang secara dinamis.
Prof. Yudi Latifpernah memberikan sebuah analogi sederhana yang sangat mudah dipahami. Dia mengatakan bahwa Pancasila bagaikan meja yang statis sekaligus leitstar (bintang pandu) yang dinamis. Selain Pancasila menjadi dasar yang tetap bagi kita berpijak, ia juga menjadi rambu-rambu, pedoman, penuntun, dan memberi arah ke mana kita harus melangkah. Itu artinya, selain Pancasila berfungsi sebagai konsep, ia juga berkedudukan sebagai konteks bagi bangsa Indonesia. Analogi di atas memberikan pandangan dari sudut pandang baru bagi pemuda dalam memahami Pancasila sehingga dapat dilakukan aktualisasi nilai-nilai di dalamnya melalui praktik kehidupan sehari-hari.
Akhir kata, menjadi naif jika ada anak bangsa yang mengatakan Pancasila telah usang dan tidak relevan dengan perkembangan zaman. Generasi milenial (pemuda) kita telah membuktikan bahwa kita sanggup melakukan aktualisasi nilai-nilai praksis Pancasila di era pandemi ini. Konsep ideal yang mampu terus bertahan dalam konteks apa pun. Hal ini semakin menyadarkan kita bahwa nilai-nilai Pancasila memang benar-benar digali dan diramu dari kehidupan orisinal bangsa Indonesia sendiri.