Aku dan Traumaku
Oleh: Firza Hibatullah
Siswa SMPN 1 Damar
Editor: Ares Faujian
“Sarapan dulu baru pergi sekolah!” ucap Ibu.
“Iyaa bu.”
Setelah sarapan, aku langsung menuju sekolah. Saat di sekolah, tiba-tiba perutku terasa sakit, sepanjang pelajaran aku tak fokus karena menahan rasa sakit yang begitu dahsyat. Waktu istirahat pun aku cuma berbaring di kelas sambil memegangi perutku.
Bel pun berbunyi, waktu pulang sudah tiba. Aku berjalan dengan tubuh lemas dan muka pucat di tengah teriknya matahari.
“Perut sakit, ditambah hari ini panas sekali. Cobaan macam apa ini ya Tuhan.” ucap diriku meratapi nasib.
Pohon pun seolah tertawa melihat diriku dan sengaja menjatuhkan rantingnya tepat di atas kepalaku.
“Aduh sialann!”
Betapa kesalnya aku hari itu.
Sesampainya di rumah, aku langsung terbaring lemas dan masih berpakaian sekolah. Saat terpejam, tiba-tiba aku sudah menjadi pangeran di sebuah istana bak di dongeng-dongeng dan bertemu seorang tuan putri yang sangat cantik, bagaikan bunga mawar.
Aku pun menghampiri tuan putri tersebut di sebuah taman yang saat indah seperti surga. Aku pun jatuh cinta pada pandangan pertama dan ingin melamar tuan putri tersebut.
“Tuan putri, maukah engkau menjadi kekasihku?” tanyaku sambil tersenyum.
“Tentu pangeran.” jawab tuan putri dengan wajah gembira.
Bunga-bunga pun tersenyum dan bermekaran, burung-burung berkicau merdu menjadi saksi bisu ungkapan cintaku pada sang tuan putri.
Beberapa hari kemudian, aku pun melangsungkan pernikahan bersama tuan putri. Para anggota kerajaan serta warga warga menjadi saksi sumpah suci pernikahan yang dilangsungkan. Baru saja mau mencium tangan tuan putri, tiba-tiba aku mendengar suara wanita yang tak asing.
“Putra, putri, putra, putri! Sudah mau magrib belum juga bangun. Cium baumu! Bantal saja tak mau dipeluk. Pulang pulang langsung tidur, baju saja belum kau ganti!” ucap ibu mengomeliku.
“Aku kan sakit perut buk, tak sanggup aku mengganti baju, jadi langsung tidur.” jawabku dengan nada lemas.
“Banyak alasan kamu, udah mandi sana, bau saja seperti bunga bangkai!”
“Iya bu”
Sesusah mandi, aku langsung berbaring di kamar dan berharap dapat melanjutkan mimpiku.
Baru saja mau tidur, seketika ibu datang.
“Hehh! Mau ngapain kamu?” tanya ibu.
“Mau tidur bu, perutku masih terasa sakit.”
“Tidur, tidur, tidur, sudah sepanjang hari kau tidur, belum puas juga? Sana, belikan ibu tepung, gula, cokelat batangan, keju sama obat sakit perutmu!”
“Di mana bu?”
“Di toko ujung sana, di sebelah belokan.”
“Itukan jauh bu, banyak anjing lagi. Ibu saja yang membelinya naik motor.”
“Ibu nyuruh kamu malah kamu nyuruh ibu. Sudah naik sepeda aja, lagian cuma toko itu yang buka di kampung ini.”
“Ya udah deh bu.”
Aku pun mengayuh sepeda di sepanjang jalan yang gelap, namun untungnya ditemani rembulan yang begitu indah. Indah seperti mimpi tadi magrib.
Pada saat di tengah jalan, aku kaget dengan jalan yang mau dilalui, dengan keadaan yang sedang diperbaiki.
“Bagaimana ini jalannya sedang diperbaiki. Jalan satunya kan banyak anjing liarnya. Jalan satunya lagi jauh. Hmmmmm, ya sudahlah, hanya itu jalan satu satunya. Lagi pula kalau tidak aku belikan, habis aku diomelin ibu pulang nanti.”
Baru saja berjalan sebentar, tiba-tiba seekor anjing menggonggong dan langsung mengejar. Seperti dalam satu frekuensi, sontak anjing lain pun ikut mengejarku. Aku pun panik. Langsung ku tambah kecepatan sepedaku setara kecepatan Valentino Rossi versi kampungan. Dengan rasa semakin panik, sudah sekitar 13 anjing mengejarku.
“IBUU..!! ANJIIINGGG..!! ASU!!!”
Setelah sekitar 15 menit tragedi mengejar. Drama seperti polisi mengejar maling ini bisa dikatakan usai. Aku tak lagi melihat anjing tersebut. Sambil melihat ke belakang, tak sadar aku hampir menabrak seorang pengendara motor. Tetapi mungkin Tuhan masih sayang dengan diriku, aku pun melewati tumpukan pasir dan terjatuh di pasir tersebut.
“Ah, anjing sialan, aku lewat saja dikejarnya! Memang najis, untung saja masih hidup.” ucap diriku terengah-engah sambil menghela nafas lega.
Aku pun melanjutkan perjalanan ke toko di sebelah belokan. Sesampainya di toko, aku membeli apa yang disuruh ibu. Setelahnya, aku pulang dengan jalan lainnya, walaupun jauh, yang penting selamat.
Saat sampai di rumah, kuceritakan apa yang aku alami kepada ibu.
“Makanya, kalau disuruh orang tua yang ikhlas.” ucap Ibu.
“Astaga bu, bukannya dikasihanin, malah diomelin.” jawabku.
Dan sejak saat itulah aku trauma terhadap anjing, jangankan melihatnya dari jauh, mendengar suaranya menggonggong saja kakiku seperti kesetrum.
-Selesai-