Al-Qur’an dan Pancasila Yang Disalahpahami
Oleh: Junaidi
Guru PAI MIN 1 Kemenag Beltim
Wk. Sekretaris Bid. Agama KNPI Beltim
Editor: Ares Faujian
Perbedaan adalah keniscayaan yang tidak dapat dihindari apalagi dihilangkan, karena ia sudah merupakan sunatullah yang harus dijalani. Dan, manifestasi perbedaan dalam kemajemukan merupakan ragam dari perbedaan-perbedaan itu yang harus kita syukuri.
Di dunia ini, terdiri dari banyak bahasa, agama, etnis, suku dan budaya. Maka dari itu, sah saja jika Indonesia bisa dikatakan negara kaya akan keberagaman dengan dilengkapi dengan hasil bumi yang melimpah. Yang luar biasa dari pada itu, bagaimana Indonesia mampu untuk menyatukan perbedaan yang ada dan dapat hidup berdampingan secara rukun.
Bila kembali jauh kebelakang, memang tidak sedikit peristiwa pergesekan dan pertikaian antarsuku dan agama yang mengakibatkan pertumpahan darah. Selanjutnya, ada juga beberapa ormas tertentu yang menyuarakan bahwa, Indonesia harus menjalankan sistem pemerintahan dengan khilafa, bahkan sebagian kecil dari mereka mengklaim negara kita adalah negara thaghut yang tidak sesuai dengan syariat Islam.
Persoalan-persoalan yang penulis sebut di atas, merupakan persoalan klasik yang seharusnya sudah lama usai semenjak lahir dan merdekanya Indonesia. Tapi tidak menutup kemungkinan, persoalan tersebut akan kembali muncul kepermukaan, yang tentunya akan mengkhawatirkan bagi kerukunan antar umat beragama dan bangsa.Kurangnya pemahaman terkait ideologi Pancasila inilah sering kali menjadi penyebab utama perselisihan itu.
Sejarah Awal Perumusan Ideologi
BPUPKI atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia merupakan awal perumusan prinsip dasar negara merdeka yang dipimpin langsung oleh Presiden Soekarno. Pada waktu itu, ada beberapa usulan-usulan terkait prinsip negara merdeka.
Pada penyampaian usulan-usulan, Muhammad Yamin menyampaikan 5 prinsip dasar merdeka. Kemudian selang dua hari di rapat kedua, Prof. Dr. Mr. Soepomo mengusulkan 4 prinsip dasar. Lalu, di keesokan harinya pada tanggal 1 Juni 1945 di rapat ke-3, giliran Presiden Soekarno yang menyampaikan 5 ide atau prinsip dasar merdeka, yakni lima (panca) dasar (sila).
Prinsip-prinsip yang kini dikenal dengan Pancasila ini, dulu berisi sila-sila sebagai berikut: 1) Sila pertama “Kebangsaan”; 2) Sila kedua “Internasionalisme atau perikemanusiaan”; 3) Sila ketiga “Demokrasi”; 4) Sila keempat “Keadilan sosial”; dan 5) Sila kelima “Ketuhanan Yang Maha Esa”. (https://kompaspedia.kompas.id/baca/infografik/kronologi/sejarah-pancasila-sebagai-dasar-negara)
Hasil dari perumusan usulan-usulan tersebut, kemudian ditampung dan untuk kesempurnaannya dibentuklah panitia delapan (8). Panitia ini bertugas mengevaluasi dan mengidentifikasi kelayakan nilai prinsip dasar tersebut bagi negara. Hasilnya adalah, 1) Sila pertama yang berbunyi “Ketuhanan, dengan mewajibkan menjalankan syariat Islam”; 2) Sila kedua “Kemanusian yang adil dan beradab”; 3) Sila ketiga “Persatuan Indonesia”; 4) Sila keempat “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan”; 5) Sila kelima “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”.
Pada gelaran rapat selanjutnya, sila pertama mendapatkan protes dari pada anggota sidang yang bernama J. Latuharhary. Ia menyampaikan keberatannya terkait sila pertama yang akan berdampak tidak baik bagi pemeluk agama lain, yang seolah-olah menganggap agama lain tidak diperhitungkan. Kemudian sila pertama kembali direvisi menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Akhirnya, terbentuklah Pancasila dengan sila-sila yang telah sama-sama kita ketahui sampai saat ini.
Pancasila dan Al-Qur’an
Direvisinya sila pertama yang kemudian diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”, memang diawali dari protes peserta sidang. Tapi, yang lebih penting di balik protes itu adalah, sila pertama sebelum direvisi tersebut itu sebenarnya tidak sesuai dengan ajaran syariat Islam yang toleran, yakni berbuat adil dan menghargai sesama antarpemeluk agama.
Sebagai pemeluk agama mayoritas muslim yang saleh, kita harus menghargai para pemeluk agama yang minoritas. Bukan karena jumlah banyaknya, tapi karena ajaran Islamlah kita bisa belajar proses menghargai. Kepada lintas agama, Allah tidak serta-merta menyeru menistakan. Justru Allah melarang untuk menghina dan pilih kasih.
Allah berfirman: “dan janganlah kamu memaki sesembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa dasar pengetahuan. Demikianlah, kami jadikan setiap umat menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Allah tempat kembali mereka, lalu dia akan memberitahukan kepada mereka, apa yang telah mereka kerjakan”. (QS. Al-An’am: 108)
Selain Allah melarang untuk menghina karena perbedaan agama, Allah juga melarang pilih kasih karena berbeda keyakinan. Ada sebuah ayat yang turunnya disebabkan (asbab an-nuzul) oleh sabda Nabi Muhammad SAW. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Ibnu Abbas ia berkata:
Nabi bersabda: “janganlah kalian bersedekah kecuali kepada yang seagama denganmu” (HR. An-Nasa’i). Dari sabda Nabi inilah sebab Allah menurunkan firman-Nya yang berisikan teguran terhadap Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman: “bukanlah kewajibanmu (Muhammad) menjadikan mereka mendapatkan petunjuk, tetapi Allah-lah yang memberi petunjuk kepada siapa yang Dia kehendaki. Adapun harta yang kamu infakkan, maka (kebaikan) untuk dirimu sendiri. Dan janganlah kamu berinfak kecuali untuk mencari ridha Allah … (QS. Al-Baqarah: 272)
Kemudian dari teguran itu diriwayatkan oleh Ibnu Abbas Nabi Muhammad SAW kembali bersabda: “bersedekahlah kalian semua kepada umat beragama”. Dalam peristiwa ini, Nabi Muhammad bukan ingin menunjukkan keegoannya sebagai Nabi dalam berdakwah. Bukan juga lebih memilih pada muslim semata. Akan tetapi, perbuatan Nabi tersebut agar umat selain muslim dapat masuk dan memeluk agama Islam. Tentunya hal ini dibantah dan dipertegas oleh Allah, karena urusan hidayah adalah urusan Allah, sedangkan bersedekah tidaklah harus sesama muslim. Artinya, kepada umat beragama lain pun kita boleh bersedekah dan akan mendapatkan kebaikan (pahala).
Menyangkut hadits di atas, menurut perawi Hakim, “Hadits ini sahih isnadnya, namun Bukhari dan Muslim tidak mengeluarkannya.” Adz Dzahabi mengisyaratkan dalam At-Talkhish bahwa hadits tersebut sesuai syarat Bukhari-Muslim.
Peristiwa asbab an-nuzul ayat tersebut memberikan pelajaran bagi kita semua, untuk menjaga kerukunan antarumat beragama dan juga saling kasih. Allah menciptakan perbedaan bukan untuk dihina apalagi dimusuhi, dan tidak juga untuk memaksakan kehendak untuk memeluk Islam agar tidak dimusuhi. Perbedaan yang ada, pada hakikatnya akan memberikan banyak maanfaat bagi kelangsungan hidup sosial, dan untuk urusan hidayah merupakan hak preoregatif Allah, kita berdakwa hanya sebatas menyampaikan kebenaran dengan cara yang ma’ruf.
“Kebhinekaan Tunggal Ika”, berbeda-beda tetap satu jua yang merupakan semboyan negara Indonesia adalah sejalan dengan ajaran agama Islam. Di mana ihwal ini dimaksudkan untuk saling mengenal satu sama lain dan hidup bersosial.
Firmannya: “wahai manusia! Sungguh kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa. Sungguh Allah Maha Mengetahui, Meneliti”. (QS. Al-Hujurat: 13).
Diturunkannya ayat tersebut, dikarenakan perbuatan penduduk Makkah yang menghina sahabat Bilal bin Rabbah ketika berada di atas ka’bah, kala hendak mengumandangkan azan. Sebagaimana yang penulis kutip dari sebuah tulisan ilmiah oleh Senata Adi Prasetia dalam buku Tafsir Kebangsaan (M. Najih Arromadloni, dkk, Tafsir Kebangsaan, 2021), sebagian kecil penduduk mekkah berkata “ahaza ba’dul aswadi yuadzinu ‘ala zhaharal ka’bati” (budak hitam inikah yang di atas ka’bah itu?).
Peristiwa asbab an-nuzul dan ayat di atas banyak memberikan pelajaran bagi kita. Pertama, terciptanya manusia dari tanah dan dari diri yang satu, yakni Adam dan Hawa. Kedua, menegaskan bahwa dalam ajaran agama Islam tidak mengajarkan diskriminasi terhadap suku ras, budaya dan agama. Ketiga, manusia memiliki harkat dan martabat yang sama, kemuliaan pada diri manusia itu adalah yang paling bertakwa.
Kenyataanya, perbedaan memang harus dijalani dan tidak perlu dihindari. Karena perbedaan bukanlah hal yang buruk, melainkan di balik itu terdapat berjuta kenikmatan dan juga jalan bagi muslim untuk menjadi manusia yang paling bertakwa. Kata li ta’arafu dalam ayat QS. Al-Hujurat: 13 mempunyai arti untuk mengenal, tidak hanya sebatas mengetahui alamat dan nama saja. Menurut pendapat Husen yang dikutip oleh Ulya N. Rahma, lita’arafu juga memiliki makna saling memahami tradisi, pemikiran, adat-istiadat, (M. Najih Arromadloni dkk, Tafsir Kebangsaan, 2021).
Penulis juga ingin menambahkan, menghormati dengan memahami ajaran pemeluk agama lain apalagi budayanya tidaklah menjadikan kita umat muslim sebagai pemeluk agama tersebut. Sebagaimana mahasiswa/ wi muslim mempelajari agama-agama di Fakultas Ushuluddin jurusan perbandingan agama-agama. Bahkan, hal itu dapat menambah dan menguatkan keimanan setelah semakin nampak kebenaran.
Baca Juga:
Yang Disalahpahami
Ada yang berkata ideologi Pancasila tidak perlu dijadikan dasar negara, karena Pancasila merupakan buatan manusia dan Pancasila juga bukan al-Qur’an. Adapun dalil yang mereka gunakan, Allah berfirman: “siapa yang tidak menetapkan hukum berdasar apa yang diturunkan Allah maka mereka itulah orang-orang kafir/ zalim fasik.” (QS. Al-Maidah: 44-45-47).
Kita sepakat ayat Al-Qur’an adalah kalam Allah dan sudah pasti kebenarannya. Namun kitalah sebagai manusia yang memiliki kelemahan, pemahaman yang rendah, dan malasnya untuk membaca dalam memahami ayat-ayat Al-Qur’an.
Pancasila dan ideologi yang disalahpahami ini perlu diluruskan. Sila pertama sampai sila kelima sama sekali tidaklah bertentangan dengan ajaran Islam. Bahkan, nilai-nilai Pancasila dan Bhineka Tunggal Ika menjalankan ajaran Islam itu sendiri, serta sesuai dengan apa yang dimaksud pada ayat di atas. Dan kafir atau kekufuran pada ayat tersebut, tidak akan menyentuh muslim selama di dalam hatinya ia mengakui Ketuhanan Yang Maha Esa. Walaupun tidak menetapkan hukum menyangkut sebagian dari syari’at yang ditetapkan Allah.
Sebagaimana muslim meninggalkan kewajiban shalatnya, selama ia tetap mengakui shalat lima waktu itu hukumnya wajib, maka tidaklah dinamakan kafir (keluar dari agama Islam). Namun kafir yang dimaksud pada ayat itu adalah berupa kecaman yang keras atas kelalaiannya dari ketetapan hukum.
Kiranya, uraian ini dapat membuka mata cakrawala kita mengenai ideologi, dan tidak menganggap Pancasila sebagai produk gagal yang bertentangan dengan ajaran agama Islam, begitu pun dengan ajaran agama-agama lain. Hal ini dikarenakan, nilai-nilai yang terkandung di dalam Pancasila tidak cukup sebatas untuk diketahui, namun untuk dimengerti dan dipedomani. Terutama banyak unsur-unsur tersirat yang sejalan dengan Al-Qur’an.
Di usia 76 tahun yang sudah tidak muda lagi, Indonesia terus berupaya membangun negara agar lebih berkembang dan mampu bersaing dengan negara-negara besar dunia. Tidak hanya itu, upaya ini juga harus diiringi dengan menjaga keamanan dan stabilitas umat beragama, guna hidup sejahtera dan damai sentosa.
Dari banyaknya cita-cita para leluhur dan pendiri bangsa dahulu. Dalam mengisi kemerdekan ini, hendaklah kita menjaga keragaman dan keberagamaan. Karena berbeda itu adalah suatu kekuatan untuk menjadikan Indonesia yang lebih tangguh, berdaulat dan bermartabat, yang sebenarnya nilai-nilai itu sudah tertuang lama dalam ideologi Pancasila. Wallahu a’lam. Merdeka!
Baca Juga: