Anak Kampung Tengah
Oleh:
Dewi Putri Ramadona
Jika mengenang masa laluku, aku termasuk anak yang diberikan hidayah-Nya. Aku berada dalam suka-cita dan terkadang meneteskan air mata sendiri saat merasa terharu. Ya, dulu waktu SD, aku termasuk anak yang dilahirkan dari keluarga yang memadai, untuk ukuran biaya sekolah. Yang lebih menyakitkan kedua sahabatku, hidup dengan keadaan yang pas-pasan, namun betapa indahnya pengertian terhadap pendidikan yang tinggi.
“Jangan sia-siakan masa di sekolah, bantu dan dukung mereka mengejar impiannya, betapa sulitnya hidup kita tanpa sekolah di zaman dahulu, jangan biarkan itu terjadi pada anak kita”. Kata-kata itu selalu keluar dari mulut seorang kepala sekolah pada rapat orang tua di SD-ku. Rangkaian kalimat itu tidak lain, hanya untuk mengubah pola pikir masyarakat di desaku. Tapi itulah kenyataannya. Sebagian orang tua hanya mendengar saja, sebagai angin lewat. Sesudahnya para orang tua pulang dan langsung bekerja seperti biasa tidak menghiraukan perkataan itu.
Kuakui, tak ada kata pantas aku menceritakan semua ini. Tapi aku ceritakan ini, sebagai rasa gembiraku karena aku mampu keluar dari kemelutan saat itu. Kini aku duduk di kelas 11 (XI) di salah satu sekolah favorit di kotaku. Sebuah impian yang selalu terhalang karena adat dan tradisi di daerahku. Mungkin memang kurangnya motivasi bahwa pendidikan itu sangat penting. Boleh jadi, apa yang aku alami juga dialami oleh anak-anak seusiaku di tempat lain.
Oh iya, namaku Lina. Aku lahir dan tinggal di pelosok desa. Aku memiliki 2 sahabat laki- laki bernama Robi dan Regi yang selalu ada di saat suka dan duka. Dari dulu temanku hampir cowok semua. Karena itu aku pemberani dan sedikit tomboi. Berhubung desaku terpencil dan jauh dari hiruk piruk perkotaan, maka tradisi dan adat-istiadatnya masih sangat kental. Tapi, yang namanya pendidikan hampir semua orang di desaku kurang beruntung untuk merasakan bangku sekolah.
“Dulu tidak ada sekolah di desa ini”. Begitulah jawab orang-orang dulu yang kutanyai sekarang.
Sebenarnya aku tidak puas dengan jawaban itu. Dalam benakku pasti di kecamatan ada, walaupun di desa ini tidak ada. Tapi kalau pertanyaan itu kuajukan, pasti mata-mata akan melotot melihatku. Sudah dipastikan jawaban mereka “Tahu apa kamu anak kecil!”. Yang sudah tersimpan di kepalaku tentang jawaban itu. Kebiasaan di desaku bahwa perkataan orang tua adalah mutlak. Menetang orang tua adalah tabu, dan dianggap kurang ajar.
Meski sekarang desaku mulai berkembang. Namun pola pikir masyarakat di sini kebanyakan menganggap pendidikan hanya sebagai sesuatu beban dan tidak penting. Tetapi berbeda dengan aku dan dua sahabatku. Tidak tahu kenapa kami senekat ini. Tentang pendidikan kami yang berada di SMA favorit kotaku, membuat kami ingin mengubah pola pikir masyarakat tentang pentingnya pendidikan di masa sekarang. Seperti biasa, kami duduk di bawah pohon jambu monyet tempat tongkrongan kami, membincangkan sesuatu yang mungkin berguna untuk kami serta masyarakat sekitar.
“Bagaimana kalau kita bantu memotivasi anak-anak di sini tentang pendidikan?” Robi sambil memegang kepala menatap ke arah langit.
“Ah? Gimana caranya?”.Jawabku reflek.
“Kita punya buku bekaskan dari SD sampai SMP? Fiksi atau non fiksi”. Sambut Robi antusias.
“Punya, memang buat apa?” Tanya Regi nada bingung.
“Begini, di desa ini mungkin kurang motivasi pendidikan karena kurangnya dukungan. Bagaimana kalau kita buat perpustakaan mini. Yaa.., setidaknya walaupun mereka tidak menepuh pendidikan tetapi mereka tidak begitu tabu mengenal buku dan tulisan?” Jawab Robi dengan senyum manis penuh ide.
“Bagus sekali ide ini“ Jawabku tersenyum lebar.
“Terus perpustakaan itu di mana?” Sambut Regi yang sedikit bingung.
“Bagaimana kalau di gudang Ayah Lina? Tempat itu luas dan kosongkan?“ Kata Regi dengan nada merayu.
“Benar juga, nanti aku rayu Ayahku untuk menyerahkan kunci gudang itu”. Kataku singkat sedikit bercanda.
Sudah kusangka, Ayahku pasti memberikan kunci gudang itu, tetapi anehnya kenapa begitu cepat untuk memberikan tanpa aku membujuk sedikitpun. Itu tidak penting, yang sekarang harus dilakukan memberitahu sahabat konyolku tentang ini. Kemudian sesegera mungkin membersihkan gudang untuk perpustakaan mini ini.
“Reg, Rob… Gimana kita sudah hampir selesai membersihkan buku-buku ini, namun kira-kira kita kasih nama apa perpustakaan ini?” Kataku kepada mereka.
“Hmmm…. Bagaimana kalau Perpustakaan Anak Kampung Tengah?” Jawab Regi penuh semangat.
“Kenapa begitu Reg?” Sambut Robi penasaran.
“Kamu tau kan bahwa desa terpencil ini biasa di bagi menjadi 3 bagian, ujung tengah dan bebak, begitulah desa kita menyebutnya. Kita berada di tengah kampung dan perpustakaan ini berada di tengah kampung, maka dari itu kita beri nama Perpustakaan Anak Kampung Tengah, bagus kan?” Jawab Regi dengan menggemulaikan jari menjelaskan.
“Oke aku setuju!”
Mungkin akhir-akhir ini telah berbeda, Ayahku telah didatangi dua orang laki-laki yang tidak aku kenal. Membawa map plastik berwarna merah, yang membuat aku penasaran dan memutuskan menguping pembicaran itu. Terdengar yang tak jelas, namun aku mendengar kata hutang-hutang. Benar atau tidak kata itu telah dibuktikan, tempat perpustakaan kami hancur karena Ayahku terlilit hutang. Membiarkan surat tanah itu diambil rentenir untuk menebus hutang. Tak kuasa menahan air mata, akhirnya jatuh dengan sendirinya melihat itu, aku menyaksikan kehancuran itu bersama sahabatku, impian yang ingin kami bangun selama ini ternyata hanya sekejap untuk menjatuhkannya.
“Maafkan Ayah nak.” Ayahku menghampiri penuh sesal.
“Tidak ada yang perlu di sesali yah. Selama kita yakin Tuhan ada pasti kita akan keluar dari suram ini. Kita harus berusaha dan disertai doa pula agar cepatnya impian indah tercapai. Ayah lupa selalu memberi tau aku, bahwa mimpi itu tidak selamanya indah, kita tidak dapat menolak mimipi buruk yang terjadi”. Aku tersenyum dan berbalik badan untuk pulang.
Sahabatku yang selalu ada ini, membantuku keluar dari masalah ini. Akhirnya kami bertiga mengikuti lomba karya ilmiah untuk mendapatkan hadiahnya berupa uang serta beasiswa pendidikan untuk kuliah. Suka-duka dalam pembuatan karya ini, jatuh bangun, bergadang malam, hingga mengejar sumber data yang amat sulit di temui, akhirnya membuahkan hasil membawa pulang predikat Juara 1.
Menjadi motivator di desaku adalah kebanggan bagi kami. Kebanggaan yang muncul dari rasa kepuasan atas hasil proses panjang yang di dalamnya melibatkan kerja keras, kesabaran, kedisiplinan dan mental pantang menyerah. Bersyukur adalah cara terbaik untuk berterimakasih atas pencapaian ini.
-Tamat-
*Cerpen
Sangat memotivasi, kerennn✨
Chintia Milanda
Sangat inspiratif, dan teruslah berkarya agar bisa memotivasi diri dan lingkungan sekitar.
By Firdausy Utami
Motivasi bangett ?
By Qothrun