Annisa (Bagian 1)
Oleh:
Bryant Hadinata
Pagi-pagi sekali setelah sholat subuh, aku menyiapkan panci kecil yang siap untuk menyeduh air. Lalu, bunda memanggil, “Annisa, di mana panci kecil?”
“Lah, ini aku udah rebus air, Bun,” jawab pelan diriku.
“Ohhh, ok. Bunda ke pasar dulu buat bahan pempek, ya,” kata bunda sambil membawa tas anyaman miliknya. Aku pun membalas. Beberapa menit, bunda kembali bersuara dengan nada tanya, “Ann, kamu yakin memang tidak mau kuliah? Ibu-ibu di pasar pada tanyain. Setelah SMA ini, kamu mau lanjut ke mana? Bagi Bunda, kamu bisa aja kuliah tahun depan dan untuk duit-,” saat itulah aku memotong percakapan.
“Nggak, Bun. Tidak perlu. Annisa tidak mau kuliah,” aku jawab dengan nada yakin dan tegas.
“Oklah.”
Setelah itu, bunda tidak berkata panjang lebar. Aku tetap tidak peduli apa kata teman-teman, guru-guru, maupun ibu-ibu rumpi di pasar yang bertanya kenapa aku tidak kuliah. Mereka sudah tahu kondisi keluargaku. Kami ini miskin! Aku menyadari semua ini. Aku ini tidak begitu cerdas dibandingkan anak lain di sekolah. Sedangkan, bagaimana jadinya nanti aku kuliah dengan biaya yang fantastis? Aku tidak mau semua ini jadi semakin sulit. Lebih baik aku membantu Ibu berjualan pempek atau membantu Ayah mencari kayu untuk dijual walaupun aku perempuan. Yang penting, uang untuk bertahan hidup tetap terjamin dari semua itu.
Aku tidak sadar aku menangis lagi. Aku langsung mengusap air mataku dan mematikan kompor. Seperti biasa aku menyajikan kopi untuk Ayah. “Ayah, ini kopinya,” panggil aku.
“Oh iya. Makasih,” ayah langsung menyeruput kopi. Padahal, masih panas. Lalu, Ayah mengajakku untuk mengobrol.
“Nyari duit kok gini amat, ya. Ayah bingung sekali mau kerja apa yang bagus,” keluh Ayah. Aku pun bertanya soal pekerjaannya.
“Memangnya kenapa dengan kerjaan sekarang? Aku sebenarnya bisa bantu untuk cari kayu. Kan tinggal tebang, kasih ke bos, selesai. Duitnya juga masih bisa untuk kita.”
“Bukan itu masalahnya. Ayah dipecat,” sontak jawaban ayah benar-benar sangat mengagetkan.
“Hah?! Kok bisa? Emang kenapa?” aku langsung ke inti.
“Ayah kemarin pas bawa kayu, kan jalannya licin. Ya, jadinya Ayah jatuh. Nih, lukanya masih ada di sini,” Ayah menunjukkan luka dan memar di punggung sebelah kanannya. Aku sangat ingin menangis. Ketakutan.
“Ayah kenapa baru bilang sekarang?!” aku marah. Aku langsung ambil sesuatu untuk mengobati luka dan memar di punggung Ayah.
“Udah gak sakit mau diapain?” tolak Ayah.
“Tetap harus diobatin, Yah! Terus kenapa bisa sampai dipecat?”
“Di situ kan dekat jurang. Semua kayunya ya… udah pasti jatuh ke jurang. Untung Ayah gak jatuh ke bawah,” Ayah menjawab dengan santainya sambil menyeruput kopi. Pikiran yang ada di kepalaku semuanya langsung bercampur aduk membuat kepalaku pusing. Apa salah kami sampai harus mengalami semua ini?
Kembali, Ayah berkata, “Pokoknya, Ann, kamu harus kuliah. Jangan sampai kamu dapat kerja kasar. Berat untuk kamu. Atau kalau mau, kamu langsung kawin aja. Tapi, harus orang yang sholeh dan bisa cari nafkah,” Ayah pasrah.
Aku tidak dapat merespon apa-apa dengan semua kata yang Ayah ucapkan. Saat ini juga, aku langsung berpikir dua kali tentang kuliah, bukan tentang kawin muda tentunya. Aku tidak mau menyia-nyiakan masa mudaku dengan langsung menikah. Tidak dulu. Aku belum berbuat apa-apa untuk ayah dan bunda.
Saat aku mengambil gawaiku, aku terus mencari informasi tentang kuliah. Mungkin ini adalah paket internet terakhir yang kugunakan setelah mendengar Ayah dipecat. Mungkin juga aku akan segera menjual gawai butut ini. Saat aku mencari dan terus mencari, aku justru semakin pusing. Soal beasiswa, aku rasa aku bisa. Tetapi, tempatnya selalu yang jauh. Bahkan, aku bukan siswa yang pintar di kelas. Aku siswa golongan bodoh saat di kelas. Aku bahkan tidak paham bakat milikku sendiri.
Suara kedatangan bunda terdengar. Ingin rasanya aku beritahu yang terjadi pada Ayah sekarang juga. Sampai tiba-tiba bunda bertanya, “Ayah biasanya udah berangkat. Kok udah jam segini belum berangkat, ya?” tanya bunda yang memaksaku untuk menjawab.
“Ayah dipecat, Bun.”
“Hahh?!! Kenapa?!” bunda bertanya kepadaku, tetapi langkah cepat kakinya mengarah ke Ayah. Terdengar suara perdebatan kecil. Tentu saja Bunda sangat terkejut melebihi aku.
Saat adonan untuk membuat pempek dibuat, aku bisa melihat wajah yang frustasi dari bunda. Sebagai seorang anak, apalagi hanya aku satu-satunya seorang anak penentu masa depan dari Ayah dan Bunda, tidak mungkin tidak merasa tertekan. Masing-masing selalu menutupinya dengan wajah yang tampak baik-baik saja. Masing-masing selalu merenung apa yang harus dilakukan supaya kehidupan kami bisa tetap baik-baik saja.
Selalu kami panjatkan doa. Dan aku sendiri, tidak pernah mengabaikan lima waktu penting untuk bermunajat kepada-Nya. Berharap akan titik terang. Walaupun, aku atau mungkin mereka juga sudah pasrah dengan keadaan seperti ini.
Lalu, Bunda kembali bersuara pelan, “Ann, boleh Bunda ngomong sesuatu?”
“Iya? Apa, Bun?” balas aku pelan.
“Kamu…mau gak, kalau…. Bunda titip di rumah paman?” pertanyaan Bunda tidak terprediksi.
“Hah? Kenapa gitu, Bunda? Apa ini soal ekonomi kita?? Bunda gak perlu takut Annisa kenapa-kenapa, Bun. Annisa di sini lagi terus cari lowongan. Rumah paman jauh banget dari sini.”
“Ann, kalau sama paman, kamu lebih terjamin daripada di sini, Ann. Di sana juga mungkin lebih gampang cari kerja dibandingkan di sini.”
“Tapi, kotanya jauh banget dari sini, Bun. Aku tetap mana mau ke sana. Paman aja jarang dekat sama saudaranya sendiri masa iya a-,” sontak aku terdiam karena bunda memotong.
“Bunda cuma mau yang terbaik!!” untuk pertama kalinya aku melihat bunda naik pitam.
“Bunda gak mau nanti kita di sini makin susah, sengsara, kamu juga kena imbasnya! Kamu masih muda, Annisa. Di sana mungkin kamu bakal lebih luas pergaulannya dan bisa dapat kerjaan yang bagus. Bunda gak mau kamu gak punya masa depan, Ann. Apalagi kamu bilang tidak kuliah!” Bunda langsung pergi ke kamarnya.
Sedangkan aku terdiam menangis.
Hening. Aku yakin Ayah mendengarkan perdebatan kami. Tapi, Ayah memilih untuk diam.
Aku tidak tahu apa semua pilihan ini benar atau salah. Atau mungkin tidak ada yang benar atau salah. Aku pun keluar sebentar untuk mengatasi keresahan di hati ini. Seperti biasa aku berjalan keliling kampung. Sampai datanglah Yeni dari arah depanku dengan wajah sumringah.
“Ehh, Annisa? Gimana kabarnya?” tanya Yeni sambil membawa selembar kertas.
“Baik.”
“Oh iya? Eh, ngomong-ngomong gue dapat kerjaan, nih! Lu boleh ikut gua kalau mau,” Yeni langsung membuat mataku terbuka lebar.
“Kerja apa? Pas banget daripada kita nganggur habis lulus.”
“Ini kerjanya!” Yeni menunjukkan selembaran kertas itu.
Aku tidak begitu paham maksud lowongan itu karena aku tidak terlalu pandai bahasa Inggris. Aku pun bertanya, “Ledi eskort apa, sih? Sama ini, nih, ehh, somm-lier ehh, lier-lier apa gitu,” tanya aku yang terlalu lugu.
“Ah parah, masa kamu gak tahu? Nih, aku kasih tunjuk di internet,” Yeni mengeluarkan gawai, mengetik istilah asing itu dan menunjukkan artinya kepadaku.
“Hahhh?!! Kamu mau kerja kayak gini?!!!” aku heboh sendiri.
“Hahaha, aku dapat info ini dari sepupu. Belum tahu, sih, tempatnya legal atau ngak. Soalnya bos mereka katanya, tuh, orang luar negeri. Hihi! Gajinya pasti besar, Ann! Ikut aja, nanti aku tinggal kontak nomor mereka aja. Justru katanya makin banyak cewek, makin bagus. Hihi!” Yeni santai sekali dengan semua kata-katanya yang membuatku tidak berhenti menggelengkan kepala.
Sudah terbukti, cari duit memang susah sekali. Bahkan, Yeni sampai harus menutup mata sebelah kanan dan hanya membuka sebelah kiri. Saat ini, aku hanya perlu memilih. Iya atau tidak. Jawaban mudah, tetapi begitu sulit untuk ditentukan.
Bersambung
Pic by Pinterest