Annisa (Bagian 2)
Oleh:
Bryant Hadinata
“Tentu aku tidak mau ikut denganmu, Yen!” aku jawab tegas. Yeni pun membalas dengan santai, “Padahal, kamu tinggal buka itu, tuh, di kepala. Habis selesai kerja, pakai lagi.”
“Kamu pikir bisa seenaknya begitu?! Mending aku kerja kasar daripada kayak gitu!” aku sedikit tersulut. Aku tidak menduga Yeni akan berkata seperti itu, terutama kepada perempuan sepertiku. Hilang sudah rasa hormatku padanya.
“Ya udah, deh. Sorry kalau gitu. Tapi, ini kan duitnya gede. Maksud gue kan kamu pasti butuh banget kan. Tapi, kalau gak mau yaudah gak apa. Gak usah gitu juga kali,” Yeni benar-benar orang tersantai yang pernah kutemui selama ini.
“Iya, makasih. Mending aku cari yang lain aja.”
Yeni mengarah ke arah pulang. Sedangkan aku, tanpa arah. Di saat itulah aku merasa ingin pergi ke rumah sahabatku, Karen. Hanya dia satu-satunya sahabat yang merupakan sahabatku. Karen adalah orang yang mampu, tidak sepertiku. Tetapi, ia tidak pernah sama sekali merasa takut atau curiga denganku selama kami berteman. Saat aku di depan gerbangnya yang mewah, aku memanggil seperti biasa, “Karen!!”
Ia langsung menyambut. Entah kapan terakhir kali kami bermain bersama di rumahnya. Ibu Karen adalah seorang tukang jahit yang selalu banjir dengan pesanan. Tidak heran aku selalu melihat benang di rumahnya. Ditambah lagi, Ayah Karen bekerja sebagai manajer.
“Udah lama banget kamu gak main ke sini. Oh iya, kamu katanya gak mau lanjut, ya?” Tanya Karen yang terasa langsung menusukku.
“Sebenarnya aku gak lanjut. Aku mau langsung kerja. Tapi, masih bingung juga, sih. Ayah aku dipecat katanya. Jadi, pasti beban untuk bunda.”
“Serius??” Karen terkejut.
“Ya, kalau kamu gimana? Lanjut ke mana?” aku melempar balik bola.
“Oh, soal itu sama, sih. Belum tahu. Hahaha! Saran dari aku untuk kamu, gimana kalau cari beasiswa atau kesempatan gitu? Langsung kerja juga gak masalah. Itu terserah kamu. Apa pun aku tetap dukung-dukung aja,” Karen sungguh menyejukkan hatiku.
“Makasih, loh. Yaaa, aku juga tadi ada sedikit debat sama bunda,” curhat aku. Aku tidak ragu menceritakan semuanya kepada Karen dan begitu juga dengannya. Pertemanan kami sudah sejak kecil dan masih terasa hingga sekarang. Lalu, Karen kembali bertanya-tanya. Ia sendiri juga bercerita kalau dirinya sempat berdebat masalah universitas dengan ayahnya. Bingung dengan tempat yang tepat untukknya. Sedangkan, topik yang selalu kutemui selalu tentang biaya dan biaya. Selang beberapa menit, terdengar bunyi barang jatuh. Kami keluar dari kamar Karen dan menuju ruang tamu. Ibu Karen menjatuhkan patung model tubuh.
“Aku kira apaan, Bu,” lega Karen. Kami berdua pun mengambil kertas yang berserakkan. Di saat itulah, aku mengambil kertas yang tampaknya merupakan sketsa desain busana Muslim. Aku memberikan kertas itu pada ibu Karen.
“Terima kasih ya, Ann. Aduh, ibu bingung, nih sama model yang ini.”
“Memangnya ada apa, Bu?” spontan aku bertanya polos.
“Ini, Ann. Saya disuruh desain sesuai kreasi saya dari pelanggan. Saya justru bingung mau kayak gimana desainnya, Ann. Kalau nanti gambarnya dibilang jelek, malah ngulang lagi,” keluh ibu Karen. Sebenarnya, aku sangat suka menggambar hal-hal yang berbau desain. Tapi, aku tidak berani mengembangkannya, alias tidak percaya dengan diriku sendiri. Sampai tiba-tiba Karen berkata, “Annisa, tuh sebenarnya bisa gambar gitu, loh, Bu. Cuma dia suka malu-malu. Ann, coba kamu gambar, deh. Aku tahu kamu suka gambar desain.”
“Apaan? Aku gak berani kalau pesanan punya orang tahu.”
“Coba aja!!” paksa Karen. Ibunya langsung menyiapkan kertas kosong dan berkata, “Kamu coba gambar di sini dulu, Ann. Siapa tahu bagus kan? Gak apa, coba aja dulu. Ibu ngurus pesanan yang lain dulu.”
Terpaksa, aku mencoba memegang pensil dan penghapus. Aku mulai berkreasi. Di temani Karen di dalam kamarnya, aku mencoba menuangkan ide, sekaligus membantu ibunya. Inspirasi selalu saja masuk dan keluar begitu saja. Dengan begitulah, aku menuangkan ideku. Jujur, aku menikmatinya. Sambil menggores-gores pensil, dengan penghapus yang berulang kali kugunakan, Karen mendekat dan berteriak, “Wihhhhh!!! Boleh juga itu, Ann!” kertasnya langsung ditariknya dan Karen pergi ke arah ibunya.
“Woyyy!! Belum selesai!!” aku mengejarnya.
Kemudian, Karen menunjukkan kertas pada ibunya dengan sketsa setengah jadi itu. Aku sebenarnya sangat pemalu jika gambarku selalu ditunjukkan kepada orang-orang. Apalagi Karen yang tiba-tiba seperti tadi membuat orang kaget.
“Bu! Ibu!! Gimana hasilnya??” Karen menunjukkan gambarku di depan mata ibunya.
Aku membalikkan badan. Malu. Dasar Karen! Beberapa detik sunyi. Kenapa ibu Karen tidak merespon? Aku tidak tahu. Selang beberapa detik kemudian,
“Ini bagus banget, sih. Tapi, kayaknya masih ada yang kurang. Gak apa, deh. Nanti saya yang lanjutkan. Udah dibantu aja, ibu udah syukur. Terima kasih, Ann,” ibu Karen merespon padaku.
“Yaa, padahal bagus banget kalau menurut aku. Tapi, yaa, namanya juga coba-coba.”
“Kamu seenaknya ngambil tadi! Bikin deg-degan tahu!! Udah tahu aku orangnya pemalu!” sebel diriku. Karen terus bercanda denganku. Aku pikir bidangku adalah menggambar. Namun, tampaknya itu hanya lah hobi sampingan semata.
Tetapi, kejadian awal yang merubah hidupku 180 derajat terjadi di keesokan harinya, tepatnya di sore hari. Aku yang sedang pasrah dengan segalanya, di mana mungkin aku harus menuruti perintah bunda, mendadak di saat itu, Karen berlari ke arah rumahku dan berkata sambil ngos-ngosan, “Ann… Ibu aku mau ketemuan sama kamu!”
Tentu saja aku bingung. Panik. “Hah? Ada apa?”
“Ayo, cepetan ke rumah aku dulu! Izin dulu, gih, sana! Penting, nih!” Karen membuat suasana yang mendadak memacu jantung.
Sesampainya di sana, ibu Karen langsung menyambutku. Saat itulah, ibu Karen berkata, “Ann, jadi begini. Desain kamu yang kemarin.”
“Iya, Bu. Kenapa, ya?” aku menelan ludah.
“Desain kamu itu, bikin pelanggan kaget. Karena menurut dia, bagus banget. Pelanggan saya lebih suka desain kamu daripada desain saya. Hahahaha…”
“Hah? Tapi, saya pikir ibu gak kasih tunjuk.”
“Kemarin pas pelanggannya di sini, dia gak sengaja ngelirik ke kertas kamu. Ibu taruh di meja sini. Dan ternyata, desain kamu dibilang lebih cocok. Sungguh gak nyangka, loh. Nah, terus maksud saya, kata Karen kamu kan lagi nyari kerja, mau gak kerja sama saya untuk desain busana gitu?” sungguh semua ungkapan ibu Karen terasa tidak ada sama sekali yang negatif. Aku yang masih ngos-ngosan dan terkejut langsung menjawab iya. Apa pun itu, yang penting aku bisa kerja yang benar. Minimal bisa membantu keluargaku. Ibu Karen kembali menyambung, “Oh iya, untuk gaji, ehhh, bentar,” sambil mengeluarkan gawainya dan membuka kalkulator, ibunya Karen langsung menunjukkan angka-angka manis.
“Hahh?! Serius, Bu? Segitu banyaknya??” rasanya aku ingin berteriak mengucap syukur.
“Iya, segini. Karena bahannya bukan murahan punya, loh, Ann. Kebetulan banget saya lagi cari orang yang bisa bantu saya. Untuk sekarang ini, saya kewalahan ngurus pesanan desain sama soal jahit yang segitu banyaknya. Kalau nyuruh Karen bantu saya, mah, bisa-bisa bangkrut saya.”
“Ahhhh, jangan ngungkap aib, dong, Bu.” Karen malu. Aku pun tertawa kecil. Aku tidak tahu lagi harus berekspresi seperti apa. Kembali Karen berkata, “Ini kesempatan bagus, Ann. Memang benar, rezeki itu gak akan ke mana-mana. Semua memang sudah mempunyai jalannya masing-masing. Kalau kamu kerja sama ibu, bisa-bisa setiap hari kita main bareng di sini.”
“Ngak gitu juga, Karen,” ibu Karen memotong. Kami pun tertawa kecil. Setelah itu, aku langsung ingin segera mengabarkan berita gembira ini kepada ayah dan bunda. Setibanya aku di rumah, aku langsung mencari bunda atau ayah.
“Bunda??” aku melihat bunda yang sedang menangis. Aku kembali panik.
“Bunda kenapa?” Tanya diriku.
“Ayah pergi dari rumah gak pulang-pulang, Ann,” bunda langsung bangkit dari ranjangnya.
“Masa?! Emang tadi ayah gak ada beritahu mau ke mana?” aku kembali bertanya dengan rasa sesak.
“Bunda tadi keliling nyari sana-sini tetap semua bilang gak tahu ayah pergi ke mana! Terserah, lah!! Kalau emang mau kabur ninggalin keluarganya sendiri, yaudah lah! Pergi aja!!” bunda berbicara sendiri. Sepertinya kesempatanku untuk sedikit saja aman dari rasa sesak pilu masih perlu dipertanyakan.
Bersambung
Pic by Pinterest
One Comment