Annisa (Bagian 3)
Oleh:
*Bryant Hadinata
Baru saja aku menghirup napas untuk melanjutkan cerita, tiba-tiba,
PRANGG!! Gelas yang mahal pecah.
“Hen!! Hati-hati, dong!!” aku menegur Hendra.
“Gak sengaja, Bun. Hihi!” Hendra langsung dengan sigap mengambil sapu dan serokan. Kemudian, setelahnya ia langsung kembali duduk bersama kami bertiga.
“Terus, Bun… Kakek ke mana?” tanya Heni polos.
“Kakek ternyata ada titip surat di dekat pintu depan. Baru ketahuan malam harinya. Duhh, waktu itu nenekmu udah nangis, ternyata kakek itu pergi mencari kerjaan lain. Makhlum, waktu itu kondisi kita memang benar-benar rumit. Kakek kalian, tuh orangnya ulet, gigih, maunya terus kejar sampai berhasil. Yaa, tapi sayangnya, waktu itu kakek sampai malam yang udah dikira kabur, hahaha, sayangnya gak dapat kerja.”
“Jadi, bergantung sama Bunda, dong?” tanya Hendra.
“Hmm, yaa, waktu itu sepertinya, mungkin iya. Dan akhirnya hingga beberapa tahun, hingga sekarang, jadi deh seperti ini,” jelas aku pada putra dan putri kembar kesayanganku. Baru saja aku ingin menutup kisahku, Heni bertanya, “Bunda bisa ketemu ayah itu gimana ceritanya, Bun???”
“Ehhh, kalian masih SD. Nanti kalau kalian udah agak gede baru bisa paham.”
“Ahh, Bundaaaa~~~” merengek kedua anakku. Tidak ada kisah antara aku dan Yusuf. Yang aku tahu, Yusuf waktu itu adalah siswa berprestasi di sekolah. Tetapi, siapa sangka, di antara banyaknya perempuan yang mengidolakannya, ia justru memilih satu di antara duri-duri, yaitu ya, aku. Sudah cukup bahas masa lalu. Sekarang aku harus mengurus pekerjaanku sebagai desainer sejati.
Banyak sekali orang yang berperan pada kesuksesan karirku. Tanpa orang tua, tanpa sahabatku, tanpa siapapun, bagaimana pun juga, mungkin aku tidak akan sesukses ini. Menjadi desainer internasional bukanlah ekspektasiku. Tetapi, itu adalah hasil dari usaha dan doa yang selalu kupanjatkan sejak dulu. Tentunya hal itu juga merupakan hasil dari hobiku. Memang benar kata mereka, usaha tidak akan menghianati hasil. Segalanya memang sudah diatur oleh Yang Maha Kuasa. Tetapi, bagaimana jika memang rasanya sudah terpuruk sekali? Ya, aku pernah merasakannya. Masa kegelapan akan selalu muncul. Masa terang pasti akan muncul setelahnya. Semua terus berulang dan berulang. Itulah kenapa hal seperti itu membuatku sempat melupakan masa depan dan hanya terpaku dengan masa sekarang, pada saat itu.
Tetapi, kita tidak bisa terus berada di satu titik yang nyaman. Dunia ini terlalu luas. Di saat aku masih memiliki energi, masih peduli dengan masa depan, maka aku akan terus berusaha di masa yang sedang kujalani. Seperti orang tuaku. Buktinya, sekarang aku sudah mahir bahasa Inggris. Haha. Ilmu pengetahuan terus berkembang dan rasanya juga sama seperti luasnya semesta, tidak akan ada habisnya.
Setidaknya aku sudah amat bersyukur untuk semua hasil ini. Semua kembali lagi kepada diri kita sendiri. Hal yang terus senantiasa aku ingat adalah semua ini hanyalah sekejap, sementara, tanpa kita sadari. Waktu terus berlalu. Aku tidak mau terlambat mengejar waktu. Saat-saat aku benar-benar terpuruk bersama orang tuaku, itu semua hanya sementara. Saat-saat masa kecilku, itu semua juga sementara. Bahkan, saat ini, tanpa terasa waktu terus berputar, bumi terus berotasi dan berevolusi, pasti semua akan berlalu dengan cepat. Hingga akhirnya kita bisa terus melihat masa depan berikutnya. Kesempatan ini sebenarnya bukan untuk disia-siakan, tetapi untuk digunakan sebaik-baiknya. Tetapi, masih banyak juga yang tidak sadar akan kesempatan. Seperti yang aku katakan, semua ini memang tergantung pada diri kita sendiri.
Tak lama, Yusuf pulang dari gedung perusahaannya,
“Ayah pulang!! Hen dan Hen, ayah bawa donut, nih!”
Anak-anak langsung dengan cepatnya berlari ke ayah mereka, mengambil donut, dan menghilang dalam sekejap. Semoga ada sisa donut untukku. Hahaha.
“Biasanya lembur. Tumben.”
“Aku kan cepat kalau kerja, Bun.” Yusuf langsung memelukku.
“Aduh, apaan, Yah?!”
“Isi daya dulu sama istri masa gak boleh?” Yusuf mulai kembali berkata romantis.
Terkadang, aku rasa bersyukur mendapatkan segala hal yang sempurna ini masih belum cukup. Aku harus terus berkarya dan terus berbuat apa yang menjadi kewajiban. Itulah diriku yang sebenarnya.
Saat aku berada di tempat kerja, seseorang yang sepertinya adalah perempuan asal luar negeri datang bersama seorang asisten. Aku tersenyum hangat, mereka berbisik,
“The girl that named Annisa, is that her?”
Aku menjawab iya, sambil mendekati mereka tanpa ragu. Rupanya mereka orang yang sempat menawarkan pekerjaan penilaian fashion desainer di Turki. Lagi-lagi, aku harus keluar negeri. Aku harap kali ini saat aku bertugas, suamiku tidak membuat telur dadar setengah kurang matang untuk anak-anak.
Aku pun kembali menjelaskan dan meyakinkan kepada mereka, iya, akulah yang bernama Annisa.
SELESAI
*Penulis adalah Duta Literasi SMA Negeri 1 Manggar tahun 2019 dan Siswa Inspiratif SMA Negeri 1 Manggar tahun 2019
Pic by Pinterest
One Comment