Apakah Kita Masih dalam Pendidikan Tertindas?
Oleh: Mangifera Indica J.
Mahasiswa Pend. Sosiologi dan Antropologi
Universitas Negeri Padang
Editor: Ares Faujian
Pendidikan merupakan tonggak atau pilar terpenting di dalam upaya untuk mencerdaskan generasi muda penerus bangsa. Sebagaimana tujuan tersebut tertuang di dalam UUD 1945 pada alinea keempat yang berbunyi “mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Pada dasarnya, pendidikan merupakan sebuah komponen penting yang mampu menopang dan meningkatkan kualitas sebuah negara ataupun bangsa. Terkhusus di dalam pola intelektual generasi muda yang akan menjadi penerus ataupun pemegang tongkat estafet selanjutnya. Pendidikan bagi setiap insan merupakan sebuah komponen dasar yang menjadi jembatan penyambung dari perjalanan untuk menuju impian, harapan dan cita-cita di masa depan.
Realitas pada saat ini, menjadikan pendidikan sebagai elemen terpenting dalam usaha dan upaya menciptakan generasi-generasi hebat harapan bangasa. Bukan sekadar generasi yang pintar membaca, menulis dan berhitung. Namun sebenarnya melalui pendidikan, kita membicarakan bagaimana seorang insan mampu mengembangkan tiga komponen pencapaian dalam dunia pendidikan, yakni spritual, emosional dan intelektual. Hal inilah yang nantinya akan membangun generasi yang mandiri, kreatif dan inovatif.
Menurut UU No. 20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. Pendidikan merupakan hal yang sangat berpengaruh besar terhadap intelektual anak-anak muda atau generasi muda penerus bangsa di masa mendatang, secara otomatis generasi muda inilah yang akan menjadi pionir-pionir penerus bangsa.
Pendidikan di era saat ini bukan sekadar mempertanyakan “Apakah kamu bisa baca? Apakah kamu bisa nulis? Atau apakah kamu bisa berhitung?” Pada umumnya, konsep atau konstruksi yang ditanamkan pada masyarakat, guna pendidikan adalah untuk menjawab tiga pertanyaan tadi. Karena pendidikan bagi masyarakat awam pada umumnya hanya sebatas sarana untuk mencari kerja.
Padahal kalau kita kembali pada tujuan pendidikan, itu bukan poin utama dari sekolah atau pendidikan. Tapi pendidikan adalah cara atau sarana untuk menciptakan pemikiran yang kreatif, inovatif dan kritis. Salah satu pemecahan untuk menjawab tantangan di masa globalisasi dan modernisasi, di mana ilmu pengetahuan dan teknologi terus mengalami perkembangan dan perubahan.
Namun, ketika ketertindasan membajak dan menjajah realitas pendidikan, maka harapan dan cita-cita bangsa hanya akan menjadi angan-angan semata. Ini fakta dan realita yang berbicara, melihat bukti nyata yang terlihat jelas oleh mata. Bagaimana kita tidak mengatakan pendidikan saat ini masih dalam konteks pendidikan kaum tertindas? Ketika terlihat masih banyaknya sistem pembelajaran DSS (Dengarkan, Simpan, dan Salurkan).
Pada pendidikan abad ke-21 ini, sejatinya pendidikan dan pembelajaran akan terus mengalamai perkembangan dan perubahan. Realitas dan fakta di Indonesia saat ini tidak lagi berpusat dan terfokus pada kemampuan kognitif yang dimiliki oleh peserta didik. Namun juga berbicara pada keterampilan yang dimiliki peserta didik secara personal maupun sosialnya. Keterampilan tersebut pada kurikulum 2013 dikenal dengan 4C pembelajaran abad 21, yakni critical thinking, creativity, collaboration, dan communication.
Dilihat dari fakta dan realita pengaplikasian dari 4C pembelajaran abad 21 tidaklah berjalan sesuai dengan harapan dan keinginan. Sehingga yang terjadi masih tertindasnya pendidikan yang diharapkan. Sebagaimana kita kritisi antara harapan dan realita nyata dari kasus-kasus yang terjadi.
Critical thinking atau keterampilan di dalam berpikir kritis. Adalah sebuah hal yang berkaitan dengan bagaimana seorang peserta didik mampu dan bisa berpikir secara cepat dan tepat di dalam menyelesaikan sebuah permasalahan yang terjadi. Pola berpikir kritis sebenarnya bertujuan untuk melatih peserta didik mencari sebuah kebenaran akan informasi yang didapatkan.
Hal ini berkorelasi pada pembelajaran di dalam kelas. Di mana seharusnya peserta didik tidak hanya sekadar mendengarkan, menyimpan dan menyalurkan segala bentuk informasi yang disampaikan oleh guru. Namun, pada fakta dan realitanya masih banyak peserta didik yang hingga saat ini hanya sekadar diam tanpa berani berargumentasi selama proses belajar mengajar berlangsung.
Creativity atau keterampilan di dalam berpikir kreatif. Adalah sebuah hal yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk berkarya tanpa harus terikat atau terkekang oleh aturan-aturan yang membatasi pergerakan peserta didik di dalam mengaktualisasikan diri mereka. Namun pada permasalahan yang terjadi di dunia pendidikan saat ini, kebanyakan guru masih memaksakan peserta didik untuk bisa dan mampu menguasai semua mata pelajaran. Padahal setiap peserta didik itu memiliki, minat, bakat dan kemampuan yang berbeda yang tidak bisa disama ratakan.
Collaboration atau keterampilan di dalam berkerja sama. Adalah sebuah kemampuan yang diharapkan bisa dimiliki oleh setiap peserta didik untuk mampu dan bisa berkerja sama dengan siapa pun di dalam kehidupan sosialnya. Namun pada fakta dan realitanya masih banyaknya peserta didik yang tidak mampu berkerja sama dengan baik.
Terlihat di dalam sebuah kelas yang masih terbagi kelompok-kelompok kecil, yang notabennya mereka hanya mampu dan bisa bekerja dengan satu kelompok mereka saja. Ditambah lagi dengan situasi dan kondisi saat ini, sistem pembelajaran online membuat peserta didik tidak bisa mengenal secara intens satu sama lain di dalam kelas, yang dampaknya pada solidaritas dan kerja sama kelompok yang kurang.
Communication atau keterampilan peserta didik di dalam berkomunikasi. Adalah sebuah hal yang berkaitan dengan kemampuan peserta didik untuk menyampaikan ide dan gagasan secara cepat, tepat, jelas dan mudah untuk dipahami oleh orang lain. Yang mana komunikasi ini juga berkaitan dengan karakter peserta didik yang sopan dan santun, baik kepada orang yang lebih tua (guru, orang tua, dll), terhadap sesama (teman sebaya), dan juga kepada yang lebih muda.
Kecenderungan yang terjadi, banyaknya peserta didik yang tidak berkomunikasi dengan sopan dan santun. Hal ini terlihat dari beberapa kasus yang terjadi yakni, guru yang memberikan informasi kepada peserta didik melalui media sosial (grup WA, google classroom, dan lain sebagainya), jarang sekali direspon oleh peserta didik dan juga banyak peserta didik yang membalas informasi tersebut dengan tidak sopan. Ini berkaitan erat dengan etika dari seorang peserta didik.
Baca Juga:
Di balik sebuah permasalahan pasti ada solusi untuk pemecahan dan ada cara yang bisa dilakukan. Ada beberapa upaya yang bisa kita lakukan di dalam menghadapi dan menyikapi permasalahan yang terjadi.
Pertama, memaksakan peserta didik untuk berani berargumentasi, sekalipun apa yang mereka sampaikan itu salah. Setidaknya guru telah memberikan sebuah stimulus keberanian kepada peserta didik untuk mampu melawan rasa takut dalam berargumentasi. Karena tanpa dipaksa untuk berani, kebiasaan itu akan terus tertanam kuat pada setiap peserta didik.
Tidak hanya itu, menghargai ataupun memberikan reward kepada peserta didik yang berani berargumentasi ini adalah salah satu bentuk stimulus terbaik dalam meningkatkan keberanian peserta didik, sekalipun argumentasi itu salah. Sederhananya yang salah kita benarkan dan yang benar kita sempurnakan.
Kedua, tidak memaksakan peserta didik harus bisa pada semua mata pelajaran sesuai kriteria dan idealnya indikator pencapaian setiap mata pelajaran. Cukup dengan hanya mereka memahami tanpa harus bisa seutuhnya. Karena setiap peserta didik punya potensi, bakat, dan minat yang berbeda, yang tidak bisa kita sama ratakan.
Pada kasus ini, poin terpenting adalah pemahaman guru akan karakter, potensi dan lingkungan dari masing-masing peserta didik tersebut, agar langkah-langkah yang dilakukan tepat pada porsinya. Intinya, dukung dan berikan motivasi sesuai dengan potensinya masing-masing.
Ketiga, passion mengajar seorang guru, yakni kembali pada model, metode dan cara seorang guru di dalam melakukan sebuah pengajaran di kelas. Hal ini sebenarnya berkaitan pada stimulus yang diberikan guru kepada setiap peserta didik dalam mengembangkan 4C dalam diri mereka masing-masing. Karena apabila sebuah rangsangan atau stimulus yang diberikan guru itu menarik, unik dan mengesankan bagi peserta didik, maka partisipasi peserta didik juga akan meningkat. Pada tahap ini, kenyamanan dan kecintaan adalah poin utama di dalam peningkatan semangat belajar peserta didik itu sendiri.
Keempat, mengutamakan karakter di dalam memberikan nilai bukan dari kecerdasan intelektual. Sederhananya, intelektual bisa mereka dapatkan tidak harus dari guru yang mengajarkan, tetapi google lebih bisa memberikan semua pengetahuan untuk meningkatkan intelektual pada setiap peserta didik. Namun, karakter berbicara tentang pembiasaan yang dilakukan.
Apa saja yang bisa dilakukan dalam meningkatkan karakter peserta didik? Berikut beberapa hal yang bisa dilakukan oleh seorang guru, antara lain:
- Memberikan pemahaman pada peserta didik tentang pentingnya kejujuran dan percaya dengan potensi yang mereka miliki. Seperti dalam mengerjakan tugas mandiri tanpa harus mencontek punya teman lainnya.
- Menjadi seorang guru yang benar-benar digugu dan ditiru. Seperti berkomunikasi dengan sopan dan santun terhadap sesama guru, dan begitu juga berkomunikasi dengan peserta didik, serta tunjukan sifat, sikap dan perilaku yang benar-benar mencerminkan diri sebagai seorang guru.
- Menilai peserta didik bukan dari hasil akhir. Tetapi, nilailah peserta didik dari proses dan karakternya selama kegiatan pembelajaran berlangsung.
Kelima, perbanyak kegiatan pembelajaran kelompok baik daring maupun luring. Hal ini bertujuan meningkatkan kemampuan peserta didik dalam berkerja sama. Selain itu, guru bisa melakukan perputaran anggota kelompok, tidak hanya dalam satu kelas yang sama tapi bisa dilakukan dengan kelas yang berbeda. Hal ini dilakukan agar nantinya peserta didik tidak hanya bekerja sama dengan kelompok itu saja, tetapi juga bisa bekerja sama dengan semua orang. Korelasi dari penerapan pembelajaran kelompok adalah mereka bisa saling memahami satu sama lain dan bisa menyatukan pemikiran yang berbeda dalam satu tujuan.
Fakta dan realita yang hadir akan permasalahan dunia pendidikan pada saat ini adalah sebuah masalah yang menjadi PR kita semua. Tidak hanya pemerintah, sekolah, guru, dan peserta didik saja. Pada halnya keluar dari ketertindasan adalah keharusan yang perlu dilakukan. Karena insan yang menyesuaikan diri akan kondisi dan situasi adalah insan yang tidak mampu mengubah realitas. Penting bagi insan terbebas dari belenggu ketertindasan pendidikan, keluar dari zona keterpurukan, menciptakan realitas pembebasan. Hakikat ini yang perlu kita tanamkan pada setiap insan, meraih kesuksesan dan menciptakan kebebasan. Menumpas tuntas pendidikan kaum tertindas.
Baca Juga: