Artificial Intelligence Membantai Pegiat Seni Sejati?
Oleh: Bryant Hadinata
Editor: Ares Faujian
Seperti yang kita tahu bersama, pengertian dari Artificial Intelligence (AI) singkatnya adalah kecerdasan buatan yang dibuat oleh manusia dan dapat menggantikan kecerdasan manusia itu sendiri berdasarkan kecanggihan teknologi. Contoh AI yang dapat kita pahami bersama adalah robot beserta semua program yang sudah diatur di dalamnya.
Mengapa AI diciptakan dan semakin canggih dari waktu ke waktu? Tentu saja salah satu alasannya adalah untuk memenuhi segala kebutuhan manusia yang semakin tinggi dari waktu ke waktu, dari generasi ke generasi. Dengan adanya AI, segala hal dapat menjadi lebih mudah. Ilmu pengetahuan terus berkembang. Banyak sekali pergerakan, penemuan, dan perubahan yang sudah terjadi. Tidak dapat dipungkiri kita akan bergantung pada kecanggihan teknologi yang ada di bumi ini.
Pada topik kali ini, penulis hanya akan membahas persoalan AI yang mulai semakin panas dan menjadi kontroversi di bidang seni rupa 2D, terutama dalam hal seni mendesain atau melukis secara digital melalui suatu perangkat (digital illustration/ art). Sama seperti membuat suatu ilustrasi di atas kanvas/ kertas, begitu pula dengan seni digital.
Perbedaannya, seni digital dibuat melalui suatu software atau aplikasi pada alat canggih yang kita kenal seperti android atau personal computer (PC). Tidak ada perbedaan mendasar dalam membuat karya seni baik itu melalui kertas (traditional illustration/art) maupun digital. Yang berbeda hanyalah cara seorang seniman atau pelukis menuangkan ide mereka dan membuat karya tersebut menjadi karya yang memiliki ciri khas tersendiri dan unik, serta murni hasil usaha dari seorang seniman atau pelukis itu sendiri.
Saat ini, terdapat satu masalah terpanas di antara masalah lainnya yang berhubungan dengan dunia tersebut. Masalah tersebut adalah terdapat AI yang dibuat oleh beberapa platform atau website yang secara otomatis dapat menghasilkan beberapa karya ilustrasi/ gambar hanya dengan cara cukup kita ketik atau deskripsikan suatu bentuk karya yang kita inginkan tersebut secara jelas.
Tentunya tanpa perlu lelah membuatnya. Dalam hitungan detik, karya tersebut muncul dan yang menjadi permasalahan berikutnya adalah terdapat beberapa pihak yang memang sengaja tidak memuat trademark atau dengan cara berlangganan salah satu aplikasi penyedia fitur tersebut, trademark bisa dihilangkan. Artinya, kita dapat mengakui atau mendapat hak cipta karya tersebut adalah hasil ciptaan kita tanpa harus lelah dengan proses pembuatan suatu karya pada umumnya.
Jelas sekali hal ini mengundang perdebatan. Bahkan, di media sosial seperti Instagram, sudah sangat ramai orang atau ilustrator baik itu amatir maupun profesional yang memasang tagar dengan tulisan “katakan tidak pada AI” dalam bidang mendesain suatu karya, ilustrasi, dan karya seni rupa 2D lainnya (#no to AI art).
Seorang programmer sekaligus ilustrator handal asal Singapura bernama Yi Chen Hock mengemukakan pendapatnya soal AI dalam akun Instagram-nya, dan mengatakan bahwa masalah terbesar dengan Al saat ini adalah data model yang dilatih tidak diatur. Hasil karya seni tersebut digunakan tanpa persetujuan dari banyak seniman yang telah menghabiskan bertahun-tahun kerja keras untuk mengasah keahlian mereka.
Setiap kali seseorang melatih gambar pada model, bisa jadi artinya mereka menyumbangkan gambar ke database Al. Artinya, jika Anda melatih seluruh karya seniman pada model hanya untuk mengeluarkan gambar sesuai gayanya, model tersebut sekarang memiliki informasi tersebut. Al hanyalah sebuah alat dan itu pasti akan sangat berguna dan kuat yang dapat membantu mempercepat proses penciptaan artistik. Namun, menurut Yi Chen Hock, sebagaimana adanya AI pada seni tidak boleh digunakan karena pada dasarnya menghilangkan seniman dan tidak mengembalikan apa pun ke mereka.
Seni hasil Al masih sangat perlu diatur. Sampai saat itu pun, kita tidak boleh melatih gambar tambahan pada Al atau menggunakan seni Al. Beberapa orang setuju dengan pernyataannya ini. Namun, beberapa orang menganggap pendapat yang menolak AI dalam bidang seni digital adalah berlebihan. Karena contohnya adalah hampir seluruh manusia memiliki handphone atau ponsel canggih. Bukankah hal tersebut termasuk ke dalam kecerdasan buatan alias AI? Jika mereka menolak AI, itu artinya sama saja mereka tidak boleh menyentuh ponsel, komputer, dan teknologi canggih lainnya.
Penulis melihat hal ini sebagai posisi netral. Karena pada dasarnya, AI yang apa pun itu bentuknya hanyalah dibuat mengikuti perkembangan zaman dan kemungkinan terbesar kita membutuhkannya untuk mempermudah segala kebutuhan yang berhubungan di masa depan.
Namun, dalam topik kali ini, rasanya memang tidak pantas jika kita sebagai ilustrator atau desainer seni rupa 2D mengakui karya kita merupakan buatan tangan kita sendiri dan kita memiliki hak cipta karya tersebut, padahal pada kenyataannya karya tersebut dibuat berdasarkan program pada AI. Ditambah lagi, sebenarnya AI dalam beberapa prosesnya membuat suatu karya yang kita inginkan telah mengambil data informasi atau referensi beberapa karya/ ilustrasi/ gambar hasil dari beberapa penggiat seni secara acak yang sudah tersebar selama ini di dunia digital. Tidak heran AI dianggap ilegal atau plagiator handal dalam bidang seni dan tampak seperti membantai seluruh seniman sejati satu per satu.
Namun, menurut penulis dan penulis pun yakin menurut beberapa orang berpendapat bahwa masih ada sisi positif yang dapat dikembangkan dari penuhnya sisi negatif pada AI. Kita tidak dapat selalu melihat segala sesuatu dari satu perspektif saja. Masih ada perspektif lainnya yang mungkin tidak disadari. Penulis sebagai self-taught illustrator pun pernah beberapa kali menggunakan AI sebagai referensi pencahayaan atau warna dalam membuat suatu ilustrasi pada komik digital. Tidak jarang menggunakannya sebagai referensi untuk membuat suatu model. Namun, tentu penulis tidak pernah membuat karya tersebut berdasarkan AI yang kemudian menipu publik dengan mengatakan saya membuat ini dengan usaha saya sendiri. Beruntungnya, hampir seluruh software mempunyai fitur untuk merekam proses pembuatan ilustrasi sebagai bukti nyata yang dapat digunakan sebagai pembuktian “kemurnian” suatu karya.
Membuat gambar pada AI memang cukup mengasyikkan. Contoh lain yang berhubungan adalah dalam hal fotografi. Foto wajah kita dapat dirubah menjadi kartun atau bergaya apa pun itu dan tampak sangat unik berkat bantuan AI. Berdasarkan sisi positif dan sisi negatif tersebut, beberapa pihak aplikasi galeri karya seni atau ilustrasi pun telah menyediakan kategori spesial untuk seni yang dibuat dengan AI (AI Art). Cara seperti ini bisa dikatakan sebagai cara yang sangat terbaik untuk dilakukan di tengah canggihnya teknologi dan kontroversi yang ada, yaitu menerimanya dan melihatnya dengan bijaksana.
Membuat karya dengan kecanggihan AI sebagai referensi mungkin tampak seperti mendukung plagiator secara tidak langsung. Namun, dalam mencari ide suatu karya seni, sering kali kita membutuhkan referensi dari orang lain atau dari berbagai hal lainnya.
Segala faktor saling berpengaruh. Semua ini tergantung pada manusia itu sendiri. Karena kecerdasan buatan pun tidak mungkin ada tanpa kecerdasan manusia. Jika ditanyakan apakah AI dapat menggantikan seluruh seniman yang ada? Sudah jelas hampir seluruh seniman atau ilustrator menjawab hal itu adalah mustahil. Karena seni yang sejati adalah suatu karya seni hasil dari seseorang yang menuangkan segalanya dengan tulus.
Semua orang dapat menjadi seniman sejati. Apa pun itu bidang seninya. Dan jawaban penulis pun sama seperti jawaban di atas. Dan lagi, AI pun sudah mulai mendapat kategori khusus yang dipisahkan dari gaya seni pada umumnya. Sama artinya dengan mendapat toleransi. Jadi, semua ini sebenarnya hanyalah permainan pikiran. Karena sebenarnya semua masalah itu hanya dapat diselesaikan dengan satu solusi, yaitu kebijaksanaan manusia dalam mengembangkan suatu kecerdasan.