Badan Permusyawaratan Desa: Penyeimbang dan Pengawal Pembangunan di Desa
Oleh:
Eki Piroza
Guru PPKn SMPN 3 Kelapa Kampit
Editor:
Ares Faujian
Desa merupakan lapisan pemerintahan yang langsung bersentuhan dengan masyarakat. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya kedudukan dan keberadaan desa dalam konstalasi pemerintahan, karena dari desalah awal terbentuknya masyarakat politik dan pemerintahan di Indonesia. Sistem dan mekanisme penyelenggaraan pemerintahan daerah pun tergantung dan ditentukan oleh pemerintahan di desa, sebagai bagian dari pemerintah daerah (kebijakan bottom up imbas dari reformasi).
Membahas tentang desa sangatlah menarik. Banyak aspek yang bisa dibahas terutama mengenai berbagai lembaga yang ada di desa, dan tentunya mengenai peran dan fungsinya. Salah satunya lembaga yang penting ihwal ini adalah Badan Permusyawaratan Desa atau disingkat BPD.
Uniknya, sewaktu penulis mencari berbagai literatur guna mendukung tulisan ini, sangat sedikit sekali ditemukan referensi yang mendukung serta tidak banyaknya tulisan yang membahas mengenai BPD. Hal yang berbanding terbalik dengan berbagai lembaga di desa lainya seperti BUMDes, Karang Taruna, dan lain-lain. Penulis sebenarnya sejak lama ingin menulis tema ini. Hal ini dikarenakan orang tua penulis merupakan anggota BPD di sebuah desa Kabupaten Belitung Timur, sehingga semangat itulah yang menjadi titik awal inspirasi tulisan ini.
BPD “Parlemen” di Desa
BPD merupakan lembaga perwujudan demokrasi dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. BPD dapat dianggap sebagai “parlemen”-nya desa. BPD sendiri ialah lembaga di desa yang semakin eksis terutama pada era otonomi daerah di Indonesia (pasca reformasi).
BPD bukanlah lembaga pertama yang berperan sebagai lembaga penyalur aspirasi masyarakat di tingkat desa. Melainkan perbaikan dari lembaga sejenis yang pernah ada sebelumnya, seperti yang terdapat dalam UU No. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. Di mana disebutkan adanya Lembaga Musyawarah Desa (LMD), hingga kemudian reformasi terjadi dan mengubah lembaga tersebut seiring semakin meningkatnya kebutuhan akan kehidupan yang demokratis.
Keanggotaan BPD adalah wakil dari penduduk desa bersangkutan berdasarkan keterwakilan wilayah yang ditetapkan dengan cara musyawarah dan mufakat. Adapun masa jabatan BPD sama dengan masa jabatan Kepala Desa (Kades) yakni 6 tahun (sesuai UU No. 6 tahun 2014 tentang Desa). Masa jabatan tersebut bisa dilanjutkan melalui pemilihan kembali untuk 1 kali masa jabatan berikutnya. Selain itu, pimpinan dan termasuk anggota BPD tidak diperbolehkan merangkap jabatan sebagai Kades dan Perangkat Desa.
Pelantikan/peresmian anggota BPD ditetapkan dengan keputusan Bupati, yang mana sebelum memangku jabatannya ia wajib mengucapkan sumpah/janji secara bersama-sama di hadapan masyarakat dan dipandu oleh Bupati. Sedangkan untuk susunan organisasi seperti menetapkan ketua, wakil ketua, dan anggota, BPD melaksanakan rapat khusus secara internal.
BPD memiliki fungsi menetapkan peraturan desa bersama Kepala Desa, menampung dan menyalurkan aspirasi masyarakat. BPD juga memiliki wewenang antara lain:
- Membahas rancangan Peraturan Desa (Perdes) bersama Kepala Desa.
- Melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan Perdes dan Peraturan Kepala Desa (Perkades).
- Mengusulkan pengangkatan dan pemberhentian Kepala Desa.
- Membentuk panitia pemilihan Kepala Desa.
- Menggali, menampung, menghimpun, merumuskan dan menyalurkan aspirasi masyarakat.
Dengan banyaknya wewenang yang dimiliki tersebut, sangat tepatlah kiranya jika BPD menyandang predikat sebagai ‘Parlemen Desa’. Hal ini juga diperkuat di dalam aturan teknis mengenai BPD yang tertuang dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) tahun 2016 yang ditandatangani oleh menteri saat itu, Bapak Tjahjo Kumolo.
Implementasi Permendagri No. 110 Tahun 2016 Tentang BPD
Keberadaan BPD semakin dikuatkan sebagai lembaga permusyawaratan di tingkat desa, penguatan BPD merupakan amanah dari UU Desa. Secara yuridis, tugas BPD mengacu kepada Permendagri No. 110 tahun 2016. Dalam prakteknya, BPD menjadi penyeimbang bagi Kepala Desa (eksekutif di desa) serta mengawal aspirasi (usulan) terutama mengenai pembangunan dari masyarakat mulai dari tingkat dusun (Musdus) sampai dengan Musrenbangdes (Musyawarah Perencanaan Pembangunan Desa). Sehingga ditetapkan melalui Musdes RKPDes (Rencana Kerja Pemerintah Desa).
Hal ini didasarkan karena semenjak reformasi desa telah berubah total, yang awalnya hanya menjadi obyek kini menjadi subyek pembangunan. Yaitu, dengan ditandai melalui banyaknya dana yang masuk ke desa dari berbagai sumber, salah satunya yakni Dana Desa. Pengawasan ini menjadi perlu karena dengan pengawalan yang baik akan menciptakan tata kelola kerja yang efektif dan efisien.
Kerjasama Kepala Desa dan BPD sangat diperlukan dalam mengelola pemerintahan. Kehadiran BPD dalam pemerintahan desa dengan fungsi dan kewenangannya diharapkan mampu mewujudkan sistem Checks and Balances dalam penyelenggaraan pemerintahan Desa. Berikut pula pola hubungan sejajar antara BPD dan Kepala Desa dalam penyelenggaraan pemerintahan desa sebagaimana konsep Sharing of Power diatur dalam peraturan perundang-undangan. Namun faktanya di lapangan masih sering ditemui terdapat beberapa contoh pelaksanaan yang diwarnai oleh praktek-praktek hubungan kerja yang kurang harmonis dan mengarah kepada terjadinya konflik.
Salah satu unsur ketidakharmonisan ini terjadi karena adanya egosektoralantar dua elemen tersebut. Hal ini disebabkan karena adanya keinginan untuk memberikan kebijakan yang terbaik bagi penyelenggaraan pemerintah desa. Permasalahan tarik-menarik kepentingan antara Kepala Desa dan BPD menurut penulis hal itu adalah sebagai pembelajaran politik bagi penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan saling menghormati dan menghargai serta mengesampingkan arogansi masing-masing demi kemajuan desa.
Dinamika BPD sebagai Wadah Aspirasi Masyarakat
Sistem Checks and Balances memang memungkinkan terjadinya gesekan. Namun semua itu terjadi karena memang seperti itulah dinamika dalam menyeleggarakan pemerintahan. Hanya saja diharapkan skalanya jangan sampai meluas. Karena ditakutkan akan mengakibatkan terhambatnya pembangunan di desa, terutama yang berkaitan dengan kebutuhan masyarakat.
Penyaluran dana dari pemerintah pusat kepada desa setiap tahun menunjukkan tren peningkatan. Tentunya dengan semakin bertambahnya saluran dana tersebut maka dibutuhkan pengawalan yang semakin ketat, dan diharapkan APBDes (Anggaran pendapatan Belanja Desa) tersusun dengan baik, tepat sasaran sesuai dengan kebutuhan prioritas warga desa.
Sebagai akhir tulisan ini, penulis sangat mengharapkan BPD harus tetap komitmen menjadi sarana penyalur aspirasi masyarakat desa dan menjadi alat kontrol masyarakat terhadap kinerja Kepala Desa. Karena keberhasilan pembangunan di Desa tidak hanya mengandalkan peran Kepala Desa dan Perangkatnya saja, akan tetapi para anggota BPD juga memiliki peran penting sebagai penyerap dan penyampai aspirasi warga. Sebagaimana tujuan akhir yakni demi terwujudnya titik kesejahteraan bagi masyarakat Desa.