Black Dahlia (Bagian 2: Family)
Oleh: Bryant Hadinata

“Lily, tolong petik mawar di kebun! Kamu lihat aja kalau ada bunga yang lain.”
Hari ini adalah jadwal memetik beberapa bunga. Tiba-tiba, ada seseorang yang memanggil.
“Kakak!”
“Wah, Hendra! Apa kabar, Hendra?”

Hendra adik tiriku yang imut dan mungil sering berkunjung setiap pekan dengan ibu kandungku. Ada apa gerangan mereka datang hari ini. Biasanya bukan di hari ini.
“Lily, gimana kabarnya?” tanya ibuku sambil tersenyum.
Berat rasanya untuk membalas senyumnya setelah mengalami apa yang telah terjadi dengan keluarga kami. Akan lebih baik jika yang datang bersama adalah ayahku. Tapi, ayah Hendra tentu bukan ayah kandungku.
Karena itu, aku memutuskan untuk tidak ikut tinggal bersama salah satu di antara mereka. Ini prinsipku. Ini jalan hidup yang aku pilih. Lagipula, ibuku juga tidak akan pernah bisa memaksaku untuk kembali dengannya. Ah, sudahlah, Lily. Semua telah berlalu.

“Kamu ngapain ke sini, Imelda?” tanya nenek pada ibu.
“Eh, itu…,” ibu tidak bisa menjawab.
“Kamu adu mulut lagi sama suami kedua kamu, kan?!” nenek spontan menebak apa yang terjadi tanpa fakta yang jelas.
“Bukan begitu, Bu. Kita cuma butuh waktu sendiri dulu aja.”
“Butuh waktu dari Hong Kong?! Kamu lihat itu anak kamu Lily?! Selama ini, kamu gak kasihan sama dia? Sekarang kamu lihat anak kamu itu Hendra! Kamu tuh, emang hobi bikin kesalahan yang sama berulang-ulang atau gimana?!” lagi-lagi nenek blak-blakkan.
.
Hendra langsung berlari ke arahku. Kemudian, aku pun segera memotong pertengkaran, “Ini, anu… Lily ke kebun dulu ya. Hendra mau ikut?”
“Mau-mau!” Hendra mengangguk dengan cepatnya.
“Oh, hati-hati ya! Lihat-lihat kalau jalan,” pesan ibu sebelum memulai kembali perdebatan antara ibu dan ibunya. Aku harap ibu dan nenek masih tetap berkepala dingin selama aku dan Hendra berada di kebun.
Lupakan soal tadi sejenak. Mari kita menenangkan diri sambil memetik bunga. Hendra tampak amat antusias dengan segala hal yang ada di kebun nenek. Sesekali bermain dengan kupu-kupu. Sesekali menganggu si Item. Sesekali melahap buah tomat kecil. Karena aku mengizinkannya. Ehh, tunggu dulu!!
“EHH! Hendra jangan dimakan!”
Satu gigitan kecil sudah terjadi.

Hening. Karena aku tahu dengan apa yang akan terjadi, aku langsung mengambil air minum dari keranjang yang selalu aku bawa.
“HUAAAA! KAKAK!! PEDASS!!!” Hendra menangis gara-gara menggigit cabai.
“Masa kamu udah besar nggak tahu kalau itu namanya cabai?”
Semakin menangis si Hendra, justru membuat wajahnya semakin imut. Sering kali, aku mencubit pipinya berkali-kali.
Setelah segalanya telah selesai diurus dan mawar juga sudah selesai dipetik, aku, Hendra, dan tentunya dengan Item bersantai di bawah pohon kersen tua milik nenek.
“Hendra gimana sekolahnya di SD? Lancar?”
“Iya. Ada cewek yang suka sama aku loh, Kak.”
“Waduh, serius? Hahaha! Terus gimana jadinya, tuh?” aku tak sabar mendengar jawabannya.
“Aku tolak,” jawab Hendra dengan nada datar.
“Kenapa?”
“Kata guru kita kan gak boleh pacaran,” Hendra menjawab dengan polosnya.
“Tapi, kamu suka balik gak sama cewek itu?”
“Iya sih,” lagi-lagi dengan lugunya Hendra menjawab.
“Ya ampun, ngakak! Hahaha! Tapi, benar kata gurumu. Jangan dulu. Nanti kamu gak bisa fokus di sekolah, loh. Terus-“
“Kakak aku mau tanya, Kak,” Hendra mengganti topik dengan tiba-tiba.
“Tanya apa?”
Mendadak suasananya menjadi sedikit tidak enak. Tampak terlihat dengan jelas dari raut wajah adik tiriku yang kecil ini. Hendra bertanya satu pertanyaan yang cukup membuatku pusing.
“Kak, aku boleh ikut tinggal sama Kakak, gak?” tanya Hendra sebagai calon korban kedua di keluargaku ini.
Sepertinya kondisi mereka sedang tidak baik-baik saja. Sebenarnya aku pun tidak peduli. Tapi, karena Hendra memang sangat suka bermain denganku, bagaimana mungkin aku tidak peduli. Ibu memang adalah ibuku. Walaupun, ia pernah gagal berprofesi sebagai ibu rumah tangga. Tapi, setiap orang juga memiliki kecenderungan yang sama. Mungkin untuk sementara, aku hanya bisa menjawab pertanyaan Hendra dengan, “Boleh. Tapi, kamu masih kecil. Masih harus diawasi sama orang tua.”
Maaf ya, Hendra. Bukan karena aku tidak mau berbagi AC denganmu. Tapi, ibu sudah pasti tidak setuju kalau anak yang satu ini pergi meninggalkannya.
Aku tidak tahu pastinya, tapi aku bisa merasakan. Aku rasa pandangan ibu adalah suami itu ialah yang terpenting dan harus yang sempurna. Aku yakin jika ditanya soal anak, ia juga menjawabnya dengan jawaban yang sama. Namun, tindakannya tampak seperti berbanding terbalik. Meskipun keluarga kami adalah benang kusut, tapi memang semua ini adalah perubahan yang tidak direncanakan. Atau mungkin, sudah tahu akan terjadi hal buruk, tetapi diabaikan konsekuensinya alias tutup mata sebelah. Tidak heran pada kenyataannya terdapat istilah pintar dan bodoh di dunia ini. Tapi, aku juga sadar aku tidak cocok untuk menjadi ‘jurinya’.
Padahal, aku pikir diriku sebagai pribadi yang fleksibel. Bukan doktrin. Tapi, entah kenapa sepertinya aku masih saja senang membuat diriku lelah hanya dengan berpikir berlebihan.
.
-Bersambung-
.
Ilustrasi: Bryant Hadinata
Bagian 1: https://belitungmuda.com/black-dahlia-bagian-1-chrysanthemums/