Banjir dan Tantangan Mengendalikan Kebiasaan Memanfaatkan Potensi Alam
Oleh:
Arief Kurnia
Praktisi Teknik Sipil
Editor:
Ares Faujian
“La banjir mati lampu pula!”, ini adalah pesan singkat di status salah seorang warga terdampak banjir. Yang mana, dalam beberapa bulan pada setiap tahun permasalahan banjir ini selalu saja menjadi trending topic yang menghiasi berbagai media massa.
Membaca tulisan singkat itu dalam kendaraan menuju kantor cukup membuat penulis berpikir. Kita tidak bisa lepas dari banjir selama garis sempadan sungai masih diminati oleh banyak orang sebagai lokasi tempat bernaung. Berbanding terbalik dengan ruang terbuka hijau yang semakin menurun.
Menganalisa rencana pembangunan sudah hampir 5 tahun penulis lakukan sebagai bagian dari tugas pokok yang merupakan praktisi di bidang teknik sipil. Mulai dari menjadi konsultan perencana pola jaringan irigasi, perencana bangunan air, potensi air baku terhadap kontur tanah, sampai kepada merancang penampang saluran yang efektif dalam pemanfaatan sumber air baku dan aliran air permukaan (surface water flow).
Jika tahun sebelumnya pekerjaan penulis masih di intervensi oleh perencanaan bangunan umum. Tahun ini pertemuan dengan dunia sumber daya air pecah. Sejak awal tahun 2019 lalu, pekerjaan penulis mulai fokus ke satu bidang sumber daya air ini. Di mana, hal itu menyebabkan penulis turun langsung ke lapangan hampir setiap hari menindaklanjuti laporan masyarakat, melihat potensi air baku, ataupun potensi daya rusak air untuk dijadikan bahan evaluasi dan perencanaan kedepan.
Perlu sedikit kita ketahui, daya rusak air adalah daya rusak terbesar bagi dunia infrastruktur dibandingkan gempa, longsor, ataupun daya rusak lainnya. Hal ini dibuktikan dengan pernyataan Direktorat Sungai pada 1994 yang menyatakan bahwa kerugian dan kerusakan akibat banjir adalah sebesar 2/3 dari semua bencana alam yang terjadi. Setiap tahun lebih dari 300 peristiwa banjir menggenangi 150.000 ha dan merugikan sekitar 1 juta orang. Bahkan, The World Bank Group, sebuah institusi yang menjadi partnership bagi banyak negara di dunia menyatakan bahwa “Water scarcity affects more than 40% of the global population. Water-related disasters accounts for 70% of all deaths to natural disaster”.
Tentunya permasalahan daya rusak air ini diakui sebagai daya rusak terbesar. Bukan hanya bagi kalangan praktisi engineering, melainkan sampai kepada kalangan masyarakat umum terutama yang terdampak. Jika kita sedikit merenung kepada topografi alam, kita akan sadar bahwa sejak bumi ini diciptakan, sampai saat ini topografi selalu membentuk suatu pola yakni adanya daerah tinggi dan rendah. Bedasarkan pola tersebut, terbentuklah arah aliran air dari hulu sampai kehilir. Dari sekitar 251 juta tahun yang lalu tepat sebelum kepunahan dinosaurus dan bumi membentuk benua besar Pangea, yang sampai saat ini pola tersebut masihlah sama.
Penulis seringkali me-review beberapa kasus banjir yang katanya berhasil diatasi di wilayah lain, lalu membacanya, membahasnya panjang, berkali-kali, bahkan sampai menjadi referensi berpikir dalam reimagine solusi setiap permasalahan banjir yang terjadi. Seperti penanganan banjir sederhana di Curitiba (Brasil), sampai kepada penanganan dengan biaya tinggi yang sepertinya tidak mungkin dilaksanakan di pulau Belitong ini seperti di Tokyo (Jepang), Rotterdam (Belanda) dan kampung tetangga kita Kuala Lumpur di Malaysia tuntas penulis baca. “Selama nda dilarang, nda ade salahnye kite berimaginasi,” begitu pikir saya.
Namun setelah sekian lama membaca dan mempelajari solusi penanganan banjir di “kampung lain”. Ada suatu faktor yang tidak bisa lepas dari suksesnya penerapan penanganan banjir di suatu wilayah. Yakni adanya kesadaran masyarakat akan berbahayanya daya rusak air, sehingga melahirkan kebiasaan yang solutif dalam mengatasi aliran air berlebih akibat kolaborasi antara curah hujan tinggi dan air laut pasang. Ihwal ini mulai dari hal sederhana seperti membuang sampah tidak pada tempatnya (terutama jangan di sungai dan saluran drainase), gotong royong membersihkan saluran air di rumah masing-masing, sampai solusi akhir yakni membebaskan diri sendiri dan keluarga dari banjir dengan cara pindah ke dataran yang lebih tinggi. Apabila sadar tinggal di wilayah dengan kontur pengadas (pengepul air dari sekitar).
Kita paham bahwa kontur wilayah terbentuk secara alami. Sedangkan tempat bernaung adalah pilihan masing-masing pribadi. Memang faktor ekonomi seringkali menentukan keputusan. Namun, selama itu bisa didiskusikan dengan penentu kebijakan, mengapa tidak? Tidak sedikit yang kehidupannya jauh lebih baik karena memilih pindah dari lokasi yang cenderung membuat rugi. Karena bukan hanya sakit hati, rugi materi adalah konsekuensi yang akan membuat frustasi.
Mantap!! menyadarkan masyarakat sambil memberikan wawasan, lanjutkan !!
By Marteen Roy
Luarbiasa pak arief !!!
By Ben Ahmad
Ditunggu tulisan selanjutnye tentang infrastruktur mas bro
By Budiman
Sip…
By Rudi Harianto