Black Dahlia (Bagian 1: Chrysanthemums)
Oleh: Bryant Hadinata

Menjual bunga di tengah perdesaan adalah jalan hidup yang muncul secara spontan di akhir cerita hubungan kedua orang tuaku. Namaku sama seperti bunga lily. Ya jelas namaku Lily. Beberapa orang bilang itu artinya aku orang yang periang. Tangguh? Itu keharusan. Bukan karena jenis kelamin.
Aku tinggal bersama nenekku yang sudah sangat tua dan sangat cerewet sambil menjaga toko bunga kami yang kecil ini di desa terpencil yang jauh dari kota. Bahkan, pulau tempat kami tinggal sangat kecil. Semuanya memang berbanding terbalik dengan Jakarta. Jujur, setelah dipikir lagi, sepertinya aku lebih suka tinggal di Jakarta dengan orang tuaku sebelum kami semua pindah ke pulau ini. Tapi, hatiku juga ikhlas untuk tinggal bersama nenek di sini. Selama masih ada AC. Haha!
Prinsip hidupku sangat simpel dan sederhana. Aku berencana untuk kuliah di bidang kesenian apabila aku bisa. Namun, ayah memilih berpisah dengan kami, yang di mana aku spontan memilih tinggal bersama nenek sambil menjaga toko bunga dan tentunya sambil menikmati hidup ini dengan bunga-bunga yang indah. Ya, bisa dibilang aku terpaksa mengubur dalam-dalam impianku tiga tahun lalu yang sudah tersusun itu. Tidak apa. Karena aku tahu, sebenarnya hidup manusia seperti bunga. Ada beragam macam jenis yang bisa kita temukan dan yang tidak bisa kita temukan seumur hidup kita. Terkadang, satu jenis bunga memiliki beragam warna pula. Wah, ternyata aku bijak, ya!

“Lily, tolong petik mangga di kebun! Harusnya kemarin dipetik. Keburu dimakan monyet nanti,” ngoceh nenek.
“Haduh, Nek! Ini aja aku baru selesai susun rangkaian bunga.”
“Kamu ini dibilangin malah bantah terus! Kalau gitu Nenek yang ambil! Nenek tuh udah tua masih mau ini dan itu, pinggang sakit, asam urat-“
“OK-OK! Tenang! Aku yang pergi.”
“Jangan lama-lama di kebun ya. Anak gadis kek kamu gak boleh lama-lama sendirian di dekat hutan.”
“Ya Tuhan, Nek! Apa hubungannya?! Tadi suruh ke kebun, sekarang malah bikin Lily takut.”
“Dibilangin masih aja suka ngelawan! UDAHLAH! Nenek aja yang pergi! Orang tua kalau suruh apa nurut! Gimana kamu mau punya suami kalau sikap kamu-“
“Stop,” aku kabur sebelum terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.
Kebun nenek amat luas. Penuh beragam macam tanaman dan tentunya beragam macam bunga dapat ditemukan. Saat aku ingin memetik mangga terakhir, si Item datang. Kucing jantan liar yang gemuk. Sudah lama aku tidak bertemu dengannya. Kasihan si Putih, kucing betina yang nenek rawat selalu menunggu kehadirannya. Aku tidak bisa memelihara Item karena satu kucing saja sudah mampu membuat nenek mengoceh soal kotoran dan biaya makanan kucing.
Setelah memetik mangga aku berbaring di atas rumput sejenak sambil merasakan kesejukkan angin sepoi-sepoi, yang di mana bahasa daerah sini menyebutnya dengan ‘demun’. Si Item tidur di perutku. Mendengkur dengan lembut. Terkadang, hal sepele saja sudah cukup untuk mengisi kebahagiaan kita.

Saat aku pulang dengan mangga yang banyak, nenek tampak sedang mencari sesuatu.
“Lily, pesanan bunga untuk Bu Sinta di mana ya?”
“Loh, kan di kolong meja.”
“Pantas nggak ketemu dari tadi! Nenek gimana bisa lihat kalau ada di kolong?! Itu Gama anaknya Bu Sinta nanti mau datang ambil bunganya.”
Pesanan Bu Sinta adalah bunga melati yang kering dan krisantemum. Aku juga sudah mendengar kabarnya kemarin kalau nenek Gama sudah meninggal dunia. Gama adalah anak dari orang kaya di desa ini. Ayahnya sangat kaya. Pengusaha kaya yang sukses dan seorang juragan tanah. Apa yang kurang dalam hidupnya masih menjadi misteri menurut gosip emak-emak di pasar.
Namun, satu hal yang orang tua Gama harus tahu. Gama anak yang menyebalkan. Menjengkelkan. Tidak sopan dan pendiam sungguh beda tipis dalam dirinya. Satu RT sepertinya membencinya. Termasuk aku. Beruntung aku memang masih sabar menghadapinya. Tak lama, Gama datang mengambil bunga.
“Ini bunganya. Adalagi?”
Tidak ada jawaban. Aku tahu dia tidak bisu. Dia sendiri pun tahu. Saat Gama membayar bunganya, ia melempar uangnya begitu saja ke meja kasir dan pergi. Kesabaranku sudah habis dengannya.
“Kurang ajar! Kamu tuh nggak sopan loh, Gama! Sadar gak sih?”
Jawabannya sama. Tidak ada jawaban.
Aku selalu berharap ia tidak pernah berbelanja di toko ini. Apa mau dikata?
“Gama mana?” tanya nenek yang baru saja dari kamar mandi.
“Udah bayar.”
“LOH? KOK BAYAR?!” nenek langsung mengambil uang yang berserakan di meja dan mengejar Gama.
“Gama! Bunganya gratis! Saya lupa ngomong sama Lily. Oh ya, nanti saya juga mau ke rumah kamu sebentar lagi. Memang ya, yang namanya umur kita nggak pernah tahu. Padahal, usianya lebih muda dari saya.”
“Hmm,” Gama bersuara dan setelah itu percakapan mereka berakhir. Tunggu dulu, apa itu yang namanya percakapan?
Kemudian, nenek pun kembali.
“Itu anak emang aneh ya! Minta ampun aku,” aku mengeluh pada nenek.
“Ya, namanya juga Gama. Sikap dia dari dulu selalu begitu. Tapi, sebenarnya dia anaknya baik, loh.”
“Halahh! Baik dari Hong Kong. Nenek harusnya lebih cerewet di depan dia daripada sama aku tahu. Moga-moga kalau Lily siap nikah, nggak dapat suami kek dia, Nek.”
“Idih! Belum tentu Gama mau sama kamu.”
Aku memilih untuk menyambung perdebatan tidak jelas ini nanti malam.
Kembali lagi, namanya juga pelanggan. Kita harus sabar menghadapi semuanya. Tapi, pengecualian untuk Gama.
.
-POV GAMA-


-Bersambung-
Ilustrasi: Bryant Hadinata
Ditunggu lanjutannya. Bikin penasaram
By Yenny