Bumi Langit Pariwisata Belitong
Oleh: Bahrul Ulum*
Editor: Bryant Hadinata
.
Masa pandemi COVID-19 di Indonesia memang sudah mencapai valley phase, terlebih di Belitung Timur. Angka kasus aktif COVID-19 dapat dihitung dengan sebelah tangan saja. Kini pemerintah sedang menggalakkan program Pemulihan Ekonomi Nasional khususnya di bidang pariwisata. Belitung Timur yang tentu saja merupakan bagian dari kawasan pariwisata Pulau Belitung, serta kawasan Geopark Belitong tentu ikut memulihkan diri agar sesuai dengan visinya saat ini, yaitu “Bangkit dan Berdaya”.
Belakangan ini, Belitung Timur sedang gencar menghidupi pariwisatanya kembali dengan mengedepankan isu “menjual budaya”. Dalam dialog dengan pemerintah terkait pariwisata, para pelaku pariwisata menyuarakan ide dan semangat ini dengan asumsi, Belitung Timur berada dalam garis start yang sama dengan daerah pariwisata lain.
Terkait gagasan ini, tentu isu menjual budaya lalu penyetaraan Belitung Timur berada di garis start yang sama nampaknya hanya sebuah argumen untuk menyemangati diri sendiri atau untuk menyatakan diri bahwa pariwisata kita baik-baik saja. Sebab pada kenyataannya, jika Belitung Timur berada di garis start yang sama, kenapa Bali sudah mulai pulih seperti sebelum pandemi? Kini wisatawan mancanegara sudah masuk ke Bali setelah dicabutnya larangan kunjungan wisatawan mancanegara, terlebih lagi kini adanya presidensi G-20 di Bali.
Belitung Timur di mata pelaku pariwisata dipandang harus menggunakan nilai budayanya untuk dijual kepada wisatawan, berbeda dengan tetangganya satu pulau yaitu Belitung yang mengunggulkan potensi alam dalam pariwisatanya. Sebagaimana kita tahu, di Provinsi Kepulauan Bangka Belitung sendiri, Belitung Timur merupakan daerah penyumbang sertifikat Warian Budaya Tak Benda (WBTB) terbanyak setiap tahunnya. Belum lagi adanya “budaya ngopi” yang menjadi ragam budaya dalam Unesco Global Geopark (UGG) Belitong. Dalam hitam di atas putih tentu Belitung Timur akan menang untuk pemajuan pariwisata berbasis kebudayaan, namun kenyataannya tidak.
Belitung Timur menyiapkan desa wisatanya untuk menyambut para tamu, namun bagian-bagian yang tidak pernah dipikirkan adalah bagaimana caranya tamu tersebut sampai ke Belitung Timur dengan kondisi gerbang masuknya ada di Belitung? Ya, adakah nota kesepakatan dengan Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia (ASITA)atau Asosiasi Pelaku Pariwisata Indonesia (ASPPI) untuk membuat Belitung Timur harus ada dalam daftar perjalanan wisata seluruh pelaku usaha perjalanan wisata, sebab Belitung Timur seperti seorang gadis yang terus bersolek, namun kekasih yang ditunggu tidak kunjung datang.
Pemasaran wisata harus terus berjalan, mulailah berpikir bisnis dalam pengembangan usaha, sebab sekalipun isu yang dijual adalah budaya, dalam konotasi menjual berarti harus ada biaya produksi untuk membuat produk wisata berbasis budaya, sedangkan pelaku kebudayaan berbasis hiburan adalah seniman. Dalam tulisan sebelumnya “Ironi Seni Sejuta Pelangi”, sudah disampaikan bagaimana nasib dan arah seni di Belitung Timur. Jika ironi-ironi tersebut tuntas, seniman bisa berdikari seperti kabupaten tetangga tanpa berharap anggaran instansi pemerintahan, tentu isu menjual budaya dapat berjalan dengan lancar, sebab investasi dalam seni pertunjukan pada dasarnya lumayan menjanjikan dan dapat mengundang wisatawan.
Belitung Timur nampak seperti bumi langit jika dibandingkan dengan Belitung dalam sektor pariwisata. Secara perencanaan, Belitung memiliki target kunjungan wisatawan setiap tahunnya, sedangkan Belitung Timur tidak. Penulis pernah mencari tahu data amenitas wisata di Belitung Timur yang dipegang oleh instansi terkait, sayangnya penulis mendapat data yang tidak update dari instansi tersebut. Ketua ASPPI, Agus Pahlevi, pernah mengatakan dalam obrolan santainya di Desa Lalang, “Tidak ada daerah yang miskin jika serius mengurus pariwisata. Tunjukkan denganku jika ada.”
Dalam ucapan tersebut, beliau menekankan kata fokus, yang berarti jika daerah tersebut mengangkat isu pariwisata dan tetap miskin, artinya daerah tersebut tidak fokus dalam pembangunan pariwisata.
Belitung Timur dapat menempatkan diri pada posisi kabupaten lain yang fokus dalam pariwisata. Seperti disinggung sebelumnya di atas, Beltim dapat membuat kesepakatan atau perjanjian kerjasama dengan organisasi profesi pariwisata untuk melibatkan Belitung Timur dalam destinasi kunjungan mereka setidaknya 30%. Beltim harus belajar realistis seperti Belitung dan tidak hanya belajar, Beltim juga harus langsung bergerak. Sebab jika hanya belajar, kita hanya akan pintar, tetapi tidak ada gunanya.
*Penulis adalah pelaku seni di Kab. Belitung Timur
Foto: freepik.com