Catatan Perjalanan
Oleh :
Mohammad Fadhillah
Editor :
Ares Faujian
Perkenalkan saya Mohammad Fadhillah, biak (orang) Belitong asli berasal dari Kelapakampit. Saya tumbuh dan besar di lingkungan keluarga yang sederhana, dengan Ayah seorang PNS dan ibu sebagai ibu rumah tangga. Boleh jadi, karena mereka berdualah tulisan yang saya beri nama “catatan perjalanan” ini jadi berbaris-baris hingga huruf terakhir. Karena doa mereka jualah, jalan hidup saya terbuka lebar sampai saat ini. Jalan yang kita tempuh tampak mudah padahal sebenarnya dimudahkan.
Cerita ini saya awali dari perjalanan saya sebagai seorang siswa SMA yang saat itu sedang bingung hendak ke mana jalan hidup ini diarungi. Kesempatan untuk sekolah ke jenjang kuliah bukan tak ada, namun bisa dibilang sulit. Sementara Abang saya saat itu sedang menempuh studi. Saya paham kondisi keuangan akan lebih parah jika saya juga studi dengan biaya dari orang tua.
Tahun 2009, internet belum masif seperti saat ini. Di mana anak-anak SD sudah lihai berselancar dengan gawai mereka. Kala itu masa masih sulit, atau lebih tepatnya otak kami masih terkungkung di tempat sempit yang bernama Pulau Belitung. Padahal, banyak informasi kesempatan studi di tempat bergengsi di luar sana.
Saya pun tak berpasrah diri, salah satu informasi yang saya dapat adalah pembukaan penerimaan Praja (Mahasiswa) IPDN. Nama sekolah kedinasan yang akrab kan? Saya ikut tes IPDN di Bangka sampai kemudian dinyatakan lolos sampai tes psikologi dan dipanggil kembali untuk tes kesehatan.
Namun, takdir yang tertulis berkata lain. Kesempatan lain yang saya ambil. Syukur Alhamdulillah, bak gayung bersambut. Kegalauan pun akhirnya menemukan pintu keluar. Di mana Pemerintah Belitung Timur saat itu di tahun 2009 membuka program Beasiswa Utusan Daerah bekerja sama dengan IPB.
Sebenarnya bukan hanya program ini, program beasiswa ke Sekolah Tinggi Perikanan Jakarta juga ada. Ketika itu pun saya mendaftar dan lolos. Namun pada akhirnya, saya mendaftar di dua program studi di IPB, yaitu Teknologi Pangan dan Biologi. Dan alhamdulillah saya diterima di prodi kedua, yakni Biologi.
Tidak tahu harus gembira atau sedih. Karena memang kedua prodi tersebut saya juga tidak paham dengan detail. Murni hanya intuisi saja. Nah, hal ini sejatinya tidak patut untuk dicontoh bagi remaja yang ingin melanjutkan ke jenjang perkuliahan. Seharusnya yang benar adalah, petakan dan rencanakan dengan baik apa yang teman-teman sukai atau minati sejak awal. Lalu pilihlah prodi dengan pikiran dan pertimbangan yang matang. Karena pada proses ini penting sekali sebagai upaya memilih minat dan prodi yang tepat kedepannya.
Bulan Juli 2009, saya berangkat dengan beberapa rekan ke kampus IPB di Darmaga Bogor. Kampus yang kini punya sejuta kenangan bagi saya. Di kampus inilah saya banyak belajar. Anak dan juara kelas ‘kampung’ yang entah dari desa yang tak terkenal ini kini harus sekelas dengan para juara kelas lainnya dari daerah-daerah tersohor di Indonesia.
Apakah saya minder dengan kondisi seperti itu? Minder? Buat apa? Juru kunci (juara bontot) di antara orang pintar kan masih terhormat dalam benak saya, hehe. Tapi, dulu saja saya cukup pede dengan kondisi yang seperti itu. Harusnya anak-anak Belitong sekarang mestilah harus merasa sejajar dengan anak-anak Indonesia lain. Karena tidak ada yang tidak mungkin jika kita bersungguh-sungguh dalam berusaha.
Ilmu Biologi yang saya pelajari di IPB ibarat cerita kehidupan. Dosen-dosen menceritakan semua jenis bentuk kehidupan kepada kami, baik dari yang tak kasat mata sampai yang besar tak terkira. Memang terasa begitu luas karena cakupan ilmu Biologi memang demikian bukan spesifik bidang terapan tertentu.
Setelah mulai peminatan untuk tugas akhir. Saya memilih ke lab (laboratorium) Mikrobiologi, ilmu tentang jasad renik. Di lab tersebut saya mengasah kemampuan tentang eksplorasi senyawa bioaktif dari bakteri juga terkait kajian molekulernya tingkat DNA. Sepertinya saya sudah menemukan di bagian mana yang akan saya fokuskan kedepan.
Semasa kuliah, alhamdulillah ada kesempatan untuk ikut di kompetisi Biologi Sintetik tingkat Asia di Hong Kong mewakili Indonesia saat itu. Kompetisi itu bernama International Genetically Engineered Machine (iGEM) digagas oleh iGEM Foundation MIT. Selain itu, saya juga pernah terpilih sebagai delegasi dari Indonesia untuk program 100 Youth Visit China tahun 2013 dari Kemenpora RI. Di program tersebut kami mengunjungi Beijing, Anhui, dan Guang Dong.
Di akhir masa studi di IPB, saya kemudian berniat untuk melanjutkan studi lagi ke jenjang S2. Saya awali dari mencari informasi tentang beasiswa yang kira-kira saya mampu untuk ikuti. Ada beberapa kandidat akhirnya, yaitu beasiswa MEXT (Monbusho) dan LPDP.
Kala itu, saya coba dua beasiswa tersebut dan akhirnya didapat dengan nilai TOEFL ITP saya yang pas-pasan yaitu 553, umumnya syarat 550 untuk mendaftar beasiswa ke luar negeri. Hasil TOEFL itu adalah hasil tes TOEFL yang ketiga, setelah sebelumnya hanya mendapat nilai 543 dan 533.
Waktu pendaftaran dua beasiswa tersebut hampir bersamaan. Saya lantas masukkan saja berkas keduanya. Selanjutnya saya ikuti prosesnya dengan seksama. Yang namanya ingin sekolah gratis ya pasti banyak yang mau kan? Makanya jangan heran jika peminat “beasiswa” pasti banyak juga calon peminangnya.
Tapi, jangan terlalu dipikirkan. Selama persiapan kita maksimal, hasil apa pun tentu itu yang terbaik. Sebaliknya, jika tidak all out persiapannya, kita cendrung menyesal di akhir nanti. Yuk, semangat!
Setelah beberapa waktu berlalu. Pengumuman yang ditunggu-tunggu itu pun tiba. Beasiswa LPDP pun yang lebih dulu mengumumkan hasilnya. Alhamdulillah, ada nama saya di antara kawan-kawan lain yang juga lolos ketika itu. Tujuannya adalah University of Tokyo. Seperti pilihan yang saya tulis saat mendaftar.
Setelah pengumuman itu, beasiswa MEXT juga memanggil untuk wawancara di kedutaan besar Jepang. Namun, setelah menimbang-nimbang. Saya akhirnya mengirimkan e–mail pengunduran diri ke panitia beasiswa MEXT dan memilih LPDP. Seiring perjalanan sampai keberangkatan di September 2015. Karena pertimbangan tertentu, universitas tujuan saya juga berubah menjadi Kyushu University di Kota Fukuoka. Kota ke-6 terbesar di Jepang, terletak di bagian selatan tepatnya di Pulau Kyushu.

Mengapa memilih Jepang? Ini pertanyaan yang beberapa kali saya terima bahkan dari profesor saya, yang biasa saya panggil sensei. Alasan sebenarnya ada beberapa. Pertama, tujuan utama memang ingin belajar di bidang keilmuan saya. Namun, ada banyak hal lain yang ingin dipelajari misalnya bagaimana kehidupan penduduk Negeri Sakura, serta keunikan orang-orang di negara ini yang sering kita lihat seperti ketertiban, malu, bekerja keras, sampai ke hal-hal kecil lainnya. Selain itu, lokasi Jepang yang masih tidak terlalu jauh dari kampung halaman, yaitu 6 jam perjalanan sudah sampai rumah. Sehingga tidak perlu sampai berpuluh-puluh jam sesak dalam sebuah perjalanan pulang.

Tentunya tidak semua yang kita anggap baik di negeri orang bisa kita copy-paste di tempat kita. Sebagai contoh, saya pernah meriset alih teknologi nanobubble untuk mempertahankan kesegaran ikan hasil tangkapan di laut. Penerapannya di Jepang dan di Indonesia jauh berbeda, sehingga butuh penyesuaian yang tidak serta merta bisa langsung digunakan begitu saja. Hal ini termasuk hal-hal lain yang saya amati di sana.
Untuk studi S2, saya mengambil konsentrasi di bidang fermentasi dan rekayasa genetika pada bakteri di bawah bimbingan Prof. Kenji Sonomoto. Alhamdulillah, saya bisa selesaikan dalam waktu 2 tahun dengan baik.

Rasanya banyak cerita menarik di Jepang selama studi. Termasuk saya pernah diminta menjadi muadzin saban Jum’at di Masjid Fukuoka, menjadi penyiar radio Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Jepang cab. Fukuoka, piknik saat sakura mekar, naik gunung, dan menjelajah Jepang dengan murah pakai kereta lokal di musim panas.
Benar memang kata guru saya dulu, Prof. Nurul Taufiqurochman dari LIPI yang juga lulusan Jepang mengatakan “Selamat datang di dunia mimpi (Jepang)”. Memang kalau terlalu lama di Jepang seperti mimpi, dan alam nyatanya adalah tanah air kita. Bercandaan orang Indonesia di sana (Jepang), “Kalau terlalu lama di Jepang, kemampuan bertahan hidup saat pulang ke Indonesia jadi rendah”. Akibat terlalu enak dengan semua sistem yang sudah pakem. Yah, negeri kita memang tidak sempurna tapi kalau bukan kita yang membangunnya, siapa lagi?
Setelah selesai studi, saya pulang kembali September 2017. Kemudian tidak lama bergabung dengan East West Seed Indonesia sampai sekarang. Di tempat saat ini saya bekerja sebagai Molecular Biologist untuk membantu pengembangan benih sayuran bermutu tinggi di Indonesia.
Salah satu contoh saja, saat ini tantangan pengembangan varietas tanaman, misalnya cabai butuh waktu minimal 4-5 tahun sampai bisa rilis ke petani. Padahal, kebutuhan akan varietas yang tahan Gemini Virus sudah sangat ditunggu sekali. Tidak ada varietas yang tahan menyebabkan panen gagal dan harga tidak stabil di pasar, bahkan sebagian petani enggan untuk menanam karena takut rugi.
Untuk mempercepat proses tersebut adalah dengan teknologi marka molekuler. Dengan teknik khusus kita meriset penanda DNA apa yang bisa membedakan varietas yang tahan dan tidak untuk penyakit tertentu. Ini kemudian digunakan untuk seleksi di tahap awal seedling sehingga tidak perlu dipindah tanam dan ditunggu sampai terserang. Tentu secara ekonomi ada nilai yang bisa dihemat dan secara waktu harapannya lebih cepat.
Contoh lain misalnya saya meriset penanda molekuler untuk tomat dengan daya simpan 1 bulan lebih dari merah sempurna hingga busuk. Lebih lama 2 minggu dari yang biasa di pasar. Sifat ini terjadi karena mutasi alami di tomat yang bermanfaat bagi pedagang sehingga tomat yang dijual segar lebih lama dan meminimalkan tomat yang dibuang karena busuk sebelum laku di pasaran.
Meski demikian, sebagai seorang yang bekerja di bidang biologi molekuler, kita banyak atau bahkan terlalu banyak menjadi pengguna dari teknologi temuan orang lain. Saya melihat banyak sebenarnya hal yang kita bisa mulai inovasikan untuk menciptakan alat dan bahan yang digunakan di dunia molekuler melihat kebutuhan pasar dalam negeri dan internasional di riset cukup tinggi. Ini jadi tantangan bagi saya dan kita semua ke depan.
Sedikit berbagi tentang tren untuk ilmu Biologi Molekuler kedepan sepertinya akan terfokus ke dua hal. Pertama, bagaimana membuat manusia lebih sehat dan bagaimana membuat kualitas dan kuantitas makanan kita lebih baik dan banyak. Untuk hal pertama, saat ini sudah mulai dikembangkan personalized medicine, yang artinya setiap orang akan punya profil untuk pengobatan yang tepat berdasarkan data DNA yang dia miliki. Setiap orang khas untuk dirinya sendiri. Misalnya orang tersebut akan merespon baik obat atau terapi A tapi tidak dengan obat atau terapi B dan seterusnya.
Nah, aplikasi lainnya biologi molekuler ialah erat kaitannya dengan pemuliaan tanaman maupun hewan agar lebih tahan terhadap penyakit dan menghasilkan produk lebih banyak. Bayangkan sekitar 8 milyar lebih orang di bumi yang terus memerlukan makanan sementara lahan pertanian semakin sedikit. Suatu saat jika tidak ada inovasi kita akan kesulitan dalam mendapatkan bahan makanan.
Sekian sepenggal cerita pengalaman hidup saya. Dari jalan yang telah ditapaki, mustahil tanpa doa dan kasih sayang orang tua. Setiap kita punya jalan yang berbeda. Maka, seperti pesan Pak Habibie, jadikan diri kita unggul di bidang kita masing-masing dan bersinergi positif untuk kemajuan Indonesia.
Biak Belitong BISA!
keren sekali… sangat menginspirasi… salam kenal juak dari kamek biak tanjong.
Alhamdulillah. Selamat menulis. Ditunggu tulisannya.