Digitalisasi, Era Siti Nurbaya di Masa Pandemi (Sebuah Refleksi Era Digital di Hari Pendidikan Nasional)
Oleh:
Ares Faujian
Pemred Media Kaya Muda Belitung (KMB)
Masa pandemi Covid-19 memberikan cerita ironi. Di mana, gejolak massa yang berduyun-duyun masuk karantina dan rumah sakit. Termasuk pula jadi anak rumahan dan hanya bisa gigit jari terkungkung dengan tagar #dirumahaja.
Bagai kisah kasih Siti Nurbaya, romansa era kali ini memaksa kita untuk erat memeluk digitalisasi. Fase yang sebenarnya diharapkan, namun lambat untuk dilakukan jika tak ada pandemi.
Ada banyak makrifat yang bisa dipetik di masa ini, seperti edukasi hidup sehat dan solidaritas antarmasyarakat. Walaupun memang secara nyata, penyebaran virus ini adalah bentuk masalah sosial global yang secara umum masyarakat merasa terbebani. Seperti, akses transportasi yang menjadi terbatas, meningkatnya kriminalitas, laju logistik yang terbata-bata, kegiatan belajar mengajar yang LDR-an (Long Distance Relationship), dampak “pegawai yang di rumahkan”, dan masih banyak lagi.
Namun, kita tak boleh menutup mata. Kata pepatah, “Ada badai pasti ada hujan. Ada hujan pasti ada pelangi”. Artinya, ada masa kita diberikan cobaan, cobaan untuk kita demi memperbaiki diri.
Esensi pepatah tersebut sederhana namun sarat makna. Karena ada sebuah masa yang berat. Akan tetapi, kita diajarkan untuk menjadi literat. Ya, terpaksa menerima karena situasi, dan menjadi pemelajar digital di era pandemi.
Semua elemen masyarakat dipaksa untuk harus bisa. Harus mau menguasai digitalisasi. Di mana, ragam aktivitas masyarakat era pandemi ini berbasis “From Home”, yaitu work from home dan study from home. Bekerja dan belajar dari rumah. Artinya, pembelajaran masa darurat ini mengajarkan kita bahwa belajar itu bisa dari masa saja dan kapan saja. Termasuk bekerja, kecuali kerja kategori lapangan.
Yang menjadi renungan kita bersama adalah, apakah perubahan harus selalu melalui paksaan? Apakah kita sadar, ketika keluarga Corona bertamu ke Indonesia, kita lekas menyesuaikan diri dengan paksaan menuju digitalisasi?
Menurut penulis, ini adalah PR besar bagi bangsa kita. Karena sejatinya kita sadar bahwa digitalisasi itu penting, dan pemerintah juga sudah menggaungkan ihwal program ini dari jauh hari.
Lalu, apa yang terjadi? Kita seolah merasa belum butuh, terkesan santuy, dan masih autis menikmati zona aman serta zona nyaman masing-masing. Kita belum bisa seutuhnya melihat tujuan ke depan, mengenai peluang dan tantangan di masa depan.
Memang untuk keluar dari zona aman dan nyaman itu tidaklah mudah. Seseorang yang sudah menikmati kebahagiaan temporernya akan sulit move on dari lingkungannya. Apalagi sudah mengakar dari waktu ke waktu. Hingga menutup peluang untuk mempelajari hal-hal baru.
Era revolusi industri 4.0 manusia dituntut untuk dinamis. Dan digitalisasi adalah kunci di masa ini. Bagaimana kita mau maju ketika bangsa lain sudah belajar melalui ribuan e-book di tablet sekolahnya, namun kita masih membaca dari buku-buku yang itu juga tak pernah diganti? Bagaimana kita mau guru yang kompetitif, jikalau para pendidik ini masih malas belajar dan alergi digitalisasi? Mau diapakan nasib bangsa ini nanti?!
“Belajar dari Covid-19” merupakan tema yang tepat di Hari Pendidikan Nasional tahun 2020. Yang mana, esensi seremoni Hardiknas kali ini mengajarkan kita bahwa, “Untuk pertama kalinya, guru-guru menyadari bahwa pemelajaran bisa dilakukan di mana saja, dan orang tua menyadari betapa sulitnya tugas guru”. Begitulah kutipan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI, Nadiem Makarim, di Hardiknas 2 Mei 2020.
Namun kembali lagi, apakah semua ini harus terjadi melalui situasi keterpaksaan? Lalu, bagaimana cara kita mencintai digitalsiasi tanpa pandemi? Atau, bagaimana cara membuka pikiran kita untuk menerima hal-hal baru tanpa harus menghilangkan jati diri?
Semoga tulisan ini menjadi bahan pemikiran kita bersama, demi menyongsong masa depan yang tak bisa kita perkirakan nantinya. Selamat Hari Pendidikan Nasional tahun 2020! Digitalisasi harga mati, masa pandemi kita koreksi diri.