Dinamika Sosial Dunia Penyiaran: Memulai Siaran Berkualitas Dari Sekolah
Oleh: Gabriele Claresta Zou*
Editor: Ares Faujian
.
Di era modernisasi dan globalisasi, perkembangan televisi mengalami transformasi yang tidak terduga. Kini, televisi tidak hanya berbentuk layar yang besar, namun sudah bisa kita genggam dan bawa kemana-mana. Ya, semua bisa diakses melalui gadget atau gawai.
Kita semua hidup dalam dunia serba digital. Dimana, kita hidup 24 jam bergantung pada gawai dan bahkan anak di bawah lima tahun pun sekarang sudah bisa mengakses handphone dan menonton televisi digital. Lalu, apa artinya semua ini? Itu berarti keberadaan dunia penyiaran sangat dekat dengan kita dan sangat penting bagi kita juga untuk memerhatikan kualitas isi dari suatu penyiaran. Siaran mendidik atau siaran tidak mendidik, ihwal ini akan sangat memengaruhi masa depan bangsa Indonesia.
Secara garis besar, dunia penyiaran seperti televisi termasuk juga radio memiliki 3 fungsi, yakni informasi, edukasi dan hiburan. Ketiga fungsi itu harus saling bersinergi dan berhubungan untuk menyajikan tontonan yang sehat bagi generasi bangsa. Pada kenyataannya, survei indeks kualitas program siaran televisi oleh Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) tahun 2016 mengungkapkan bahwa, indeks kualitas program siaran televisi secara umum masih di bawah standar kualitas yang ditetapkan KPI. Hal ini terlihat pada tayangan infotainment, sinetron hingga variety show.
Kita menyadari, sebenarnya banyak konten-konten positif edukatif yang dapat ditayangkan di televisi. Tak sedikit generasi muda yang punya karya dan prestasi yang dapat memotivasi dan menjadi pelajaran bagi teman-teman pemirsa televisi. Namun sayangnya, mereka jarang tersorot. Mereka pun akhirnya kalah eksis dengan drama Korea, termasuk pula berita gosip selebriti Indonesia. Padahal, ilusi-sensasi itu tak memenuhi kriteria siaran berkualitas yang dicita-citakan.
Tidak hanya tentang berita kasus-kasus selebriti, namun juga sinetron-sinetron Indonesia semakin memperkeruh keadaan penyiaran di nusantara. Seperti salah satu sinetron yang pernah ramai dibicarakan kala itu, yakni “Suara Hati Istri: Zahra”. Sinetron ini tidak mencerminkan perwujudan dari UU No.16 Tahun 2019 tentang Pembatasan Usia Perkawinan, karena siaran ini berisi anak yang berusia 15 tahun sebagai istri ketiga dan dipoligami.
Tidak hanya itu, hal lainnya diperparah dengan keberadaan selebriti Indonesia tertentu yang tidak berhasil menjadi contoh untuk masyarakat Indonesia, yang notabene mereka memiliki pengikut atau fans setia. Cerminan hal yang tidak baik ini misalnya kasus perselingkuhan, penggunaan narkoba, video porno, dan pelanggaran Undang-Undang yang lain. Sosok idola pun akhirnya menjadi figur yang negatif untuk dicontoh bagi para pengikutnya.
Saat ini bagi mereka (selebriti dengan kasus tertentu), mendapat hukuman bukan lagi menjadikannya efek jera. Namun, menjadi sebuah upaya pansos (panjat sosial) yang menjadikannya pintu gerbang tawaran-tawaran pekerjaan yang lebih baik. Jadi, bagaimana masyarakat Indonesia bisa mendapatkan role model yang berkarakter positif?
Begitu banyak stasiun televisi yang berlomba-lomba untuk menyajikan program yang disukai publik. Hal ini dilakukan demi menaikkan rating, walaupun ada sebagian stasiun televisi yang mengesampingkan kualitas konten yang diproduksi. Karena bagi sebagian stasiun televisi, bad news is a good news.
Idealnya, kita, bangsa Indonesia memerlukan lebih banyak acara televisi seperti “Mata Najwa”, “Hitam Putih” atau acara-acara pencarian bakat. Namun, bukan berarti rakyat Indonesia tidak membutuhkan asupan hiburan. Sebaiknya, hiburan yang disajikan tetap memperhatikan ketiga fungsi tersebut tanpa menghilangkan satu unsur pun.
Kita harus terus meningkatkan kreativitas dan inovasi dalam memproduksi siaran-siaran positif bagi berbagai kalangan, termasuk kalangan kaum muda. Salah satunya adalah program siaran yang telah dilakukan oleh SMA Negeri 1 Manggar, yaitu SMONE4U BROADCAST, dimana program ini sudah mulai dilaksanakan sejak tahun 2021 hingga saat ini.
SMA Negeri 1 Manggar melalui Broadcasteam-nya sudah memulai produksi siaran digital yang berkualitas dan edukatif bagi masyarakat. Misalnya, program Podcast 4U yang rutin rilis di setiap pekan. Selain menghadirkan siswa, alumni, dan guru inspiratif sekolah, program ini juga akan mendatangkan figur publik dan figur berprestasi lainnya, seperti Bupati Belitung Timur, Ketua DPRD Belitung Timur, Kepala BNN Kab. Belitung, Kepala Ombudsman Prov. Kep. Bangka Belitung, DPRD Prov. Kep. Bangka Belitung, dsb. Fungsi tokoh-tokoh ini adalah sebagai trigger (pemantik) agar kegiatan bisa lebih masif secara internal (sekolah) dan eksternal (luar sekolah).
Tentunya hal ini akan banyak mendapatkan tantangan. Namun, kolaborasi adalah salah satu kunci agar program bisa konsisten berjalan. Artinya, program literasi komunikasi ini bisa melibatkan OSIS, komite sekolah, pengawas sekolah, pemerintah, hingga peran orang tua pun jua harus disertakan. Semua elemen berintegrasi dengan generasi muda adalah sebuah upaya solutif guna mempermudah jalannya proses, disertai dengan pengawasan bersama agar rasa kesadaran dan rasa memiliki masa depan generasi tumbuh, dan terinternalisasi sebagai jati diri bangsa.
Pengawasan siaran pada level remaja bisa dilakukan dengan mengambil bagian di Parlemen Remaja sebagai wadah berpendapat dengan menggunakan kacamata perkembangan zaman. Hal ini dapat membantu DPR RI dalam menyusun atau merevisi Undang-Undang agar tetap dapat menyesuaikan dengan globalisasi. Parlemen Remaja dapat menjadi agen untuk melakukan pengawasan dan penyampai kritik dan saran kepada pemerintah.
Sebagai ekspansi di kalangan pemuda, kita bisa bekerja sama dengan pemeritah setempat (daerah) untuk melakukan sosialisasi tentang tontonan yang berkualitas ini. Sosialisasi yang dibawakan pun tetap harus memperhatikan cara penyampaian agar remaja dapat dengan mudah menerapkannya.
Sudah saatnya kita buka mata. Marilah kita memilih siaran yang mencerdaskan dan tidak mudah terpengaruh konten negatif, termasuk mewaspadai berita hoaks. Kita harus terus melakukan pengawasan terhadap program televisi dan selayaknya memperkaya konten siaran kreatif positif dengan memproduksi siaran mandiri.
Lalu, dari mana itu semua dilakukan? Tentunya sekolah bisa menjadi salah satu pusat siaran lokal (satuan pendidikan) yang bisa mengedukasi minimal untuk levelnya sendiri, termasuk menjadikan konten siaran tersebut sebagai bahan atau media pembelajaran bagi guru di kelas.
.
*Penulis adalah Parlemen Remaja DPR-RI Dapil Prov. Kep. Babel Tahun 2021 dan Siswa SMA Negeri 1 Manggar
Gaby adalah asset prestasi sekolah smone4U……punya siswi berpestasi seperti ini dan mampu berfikir inovatif,
Konten di podcast4U di tunggu,, hehehehe
Human Ordinary