Eksistensi Perempuan dalam Organisasi PGRI (Bagian 1)
Oleh:
Eki Piroza
Guru PPKn SMPN 3 Kelapa Kampit
Sekretaris PC PGRI Kelapa Kampit
Editor:
Ares Faujian
Persatuan Guru Republik Indonesia atau biasa disingkat PGRI merupakan sebuah organisasi yang menaungi profesi Pendidik dan Tenaga Kependidikan dari berbagai jenjang di Indonesia. Di tahun 2020 ini, PGRI memasuki usia 75 tahun, usia yang sama dengan Kemerdekaan Republik Indonesia. Usia tersebut juga melukiskan berbagai sejarah panjang PGRI dalam dunia pendidikan terutama berkaitan dengan menentukan arah pendidikan bagi Indonesia.
Dalam internal organisasi, PGRI sendiri dalam rentang usia yang bisa dikatakan “senior” tersebut sudah dipimpin oleh berbagai tokoh-tokoh hebat, dan setiap dari pemimpin tersebut selalu meninggalkan legacy bagi organisasi. Memasuki era 2000an, terlihat hal unik dalam tubuh organisasi PGRI, yakni semakin intensnya peranan anggota (perempuan) dalam mengelola Organisasi, sebagai contoh, terlihat dari dominannya perempuan dalam hal pucuk pimpinan PGRI baik di tingkat pusat (pengurus besar) sampai dengan ke tingkat wilayah dan daerah. Tentunya hal tersebut sangatlah unik dan bisa menjadi bahan diskusi yang berkelanjutan. Penulis yang juga merupakan bagian dari PGRI sangat tertarik untuk mengangkat tema ini, sehingga kemudian mencari data dari berbagai sumber untuk membuat tulisan ini.
Sejarah Panjang PGRI
Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) adalah organisasi dengan yang menaungi guru, sebelum bernama PGRI awalnya organisasi ini semasa penjajahan Pemerintah Kolonial Belanda bernama Persatuan Guru Hindia Belanda (PGHB), umumnya menaungi guru pribumi. PGHB sendiri berdiri sejak 1912, organisasi ini bersifat unitaristik yang anggotanya terdiri dari para guru bantu, guru desa, kepala sekolah, dan penilik sekolah. Dengan latar belakang yang berbeda-beda, mereka umumnya bertugas di sekolah desa dan sekolah rakyat angka dua.
Tidak mudah bagi PGHB memperjuangkan nasib para anggotanya yang memiliki pangkat, status sosial dan latar belakang pendidikan yang berbeda. Kesadaran kebangsaan dan semangat perjuangan yang sejak lama tumbuh mendorong para guru pribumi memperjuangkan persamaan hak dan posisi terhadap pihak Belanda. Hasilnya antara lain adalah kepala HIS (Hollandsch-Inlandsche School/Sekolah Rendah), yang dulu selalu dijabat oleh orang Belanda, satu per satu pindah ke tangan orang Indonesia. Semangat perjuangan ini semakin berkobar dan memuncak pada kesadaran dan cita-cita kemerdekaan. Perjuangan guru tidak lagi berfokus pada perbaikan nasib, namun lebih luas dari hal tersebut, yakni telah memuncak menjadi perjuangan nasional menuju kemerdekaan.
Pada tahun 1932 PGHB diubah menjadi PGI (Persatuan guru Indonesia), perubahan ini mengejutkan pemerintah Belanda karena ada kata ‘’Indonesia’’ yang mencerminkan semangat kebangsaan dan hal itu tentunya tidak disenangi oleh Belanda. Kemudian setelah Indonesia Merdeka, PGI menyelenggarakan Kongres Guru Indonesia pada tanggal 24-25 November 1945 di Solo. Melalui kongres ini, dengan semangat proklmasi 17 agustus 1945, PGI berubah nama menjadi PGRI (Persatuan Guru Republik Indonesia) hingga sekarang.
PGRI Penggerak Pendidikan Indonesia
Pendidikan di Indonesia, dalam rentang waktu 75 tahun kemerdekaan Republik Indonesia telah mengalami berbagai macam transformasi seperti kebijakan mengenai satuan pendidikan, pengembangan SDM kependidikan, serta kurikulum tentunya. PGRI bagian dari pendidikan telah banyak berkontribusi dalam pengembangan Pendidikan di Indonesia, di antaranya seperti mendorong pemerintah untuk melaksanakan kegiatan dalam pelaksanaan program penguatan kapasitas guru melalui Program Pendidikan Guru (PGG) yang telah banyak menghasilkan guru-guru berkualitas sesuai dengan bidangnya masing-masing.
Di sisi lain dalam hal pengembangan kapasitas guru untuk skala internasional, PGRI juga berhasil menjadi inisiator berdirinya Asean Council of Teachers pada tahun 1978, hingga kemudian bergabung Asosiasi Guru Korea Selatan sehingga penamaan perhimpunan pun berubah menjadi ACT+ 1 (ACT+ KFTA). Di mana perhimpunan ini merupakan organisasi guru negara se-kawasan Asia Tenggara ditambah dengan Korea Selatan. Melalui perhimpunan ini setiap guru bisa saling belajar ke negara anggota tentang pelaksanaan pendidikan sebagai studi komparatif.
Perempuan dan PGRI
PGRI sebagai organisasi melaksanakan kongres nasional sebagai forum tertinggi organisasi. Kongres pertama dilaksanakan pada tahun 1945 di Surakarta (Solo) hingga sekarang. Selama rentang waktu tersebut pergantian kepemimpinan di tubuh PGRI berlangsung dengan lancar dan selaras dengan kepentingan anggota PGRI se-Indonesia. Bahkan sejak kongres I PGRI yang dilaksanakan di Surakarta, ditetapkan bahwa penempatan perempuan dalam mengisi organisasi menjadi cacatan penting bagi setiap tingkatan kepengurusan dengan ketentuan minimal 30% anggota PGRI dari segala tingkatan dari mulai tingkatan pusat (PB) sampai dengan tingkatan cabang (PC) wajib melaksanakannya sebagaimana tertuang dalam Anggaran Dasar (AD) dan Anggaran Rumah Tangga (ART) Organisasi. Titik awal perempuan mencapai pucuk pimpinan tertinggi di PGRI terjadi Pada tahun 2017, di mana saat itu ketua PB PGRI Dr. Sulistyo, M.Pd meninggal dunia sehingga harus digantikan oleh Prof. Dr Unifah Rosyidi sebagai Plt. Ketua Umum yang kemudian ditetapkan dalam kongres berikutnya (Kongres ke XXII Juli 2019 di Jakarta) dan beliau masih menjabat sampai sekarang.
Diraihnya pucuk pimpinan tertinggi PGRI oleh Ibu Prof. Dr Unifah Rosyidi, M.Pd semakin menginspirasi anggota perempuan lainya, untuk lebih eksis dan mengabdikan diri terhadap PGRI yang diposisikan sebagai wadah perjuangan Guru. Sebagai contoh beberapa pucuk pimpinan PGRI daerah yang penulis ketahui dipegang oleh perempuan yakni Ketua PGRI Prov Bangka Belitung (Dra. SR. Kunlistiani) dan Ketua PD PGRI Kabupaten Belitung Timur (Nurhidayah, S.Pd). Dan beberapa posisi strategis lainya di dalam tubuh organisasi PGRI banyak juga di isi oleh perempuan. Hal ini sangatlah beralasan karena memang isu gender mendapat perhatian serius terutama kaitannya dalam penempatan komposisi kepengurusan di PGRI.
Dasar Hukum tentang Gender tertuang di dalam Peraturan Presiden No 59 tahun 2017 tentang pelaksanaan pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan, juga tujuan RPJPM (Rencana Pembangunan Jangka Panjang Menengah) tahun 2010 yakni negara menjamin semua anak laki-laki dan perempuan untuk memiliki akses terhadap perkembangan dan pengasuhan anak usia dini, pendidikan pra sekolah dasar dan berkualitas, dan juga tertuang di dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs tahun 2030) dari tujuh belas item tujuan di antaranya tujuan ke-5 adalah tentang kesetaraan gender. Kepemimpinan perempuan PGRI hanya dapat dilaksanakan oleh pemimpin perempuan PGRI. Kepemimpinan merupakan kemampuan seseorang atau pemimpin perempuan untuk mengelola, mengatur, membuat jaringan serta membuat sebuah keputusan (policy of organisation).
Di masa sekarang, pandangan mengenai perempuan dan laki-laki dalam menempati beberapa jabatan tertentu yang bersifat strategis dalam sebuah organisasi menjadi hal yang tidak dipertentangkan, dan memang bukan hanya di PGRI perempuan eksis dan menggapai pucuk pimpinan tertinggi organisasi. Di beberapa organisasi lainya yang penulis ketahui banyak juga ‘digawangi’ oleh perempuan. Meskipun di Indonesia budaya patriarki sangat dominan (di mana kepemimpinan politik, otoritas moral, hak sosial) tetapi nyatanya di beberapa aspek kehidupan hal itu sudah tidak terlihat. Apalagi memasuki era 4.0, sudut pandang jenis kelamin tidak menjadi faktor penentu melihat kepemimpinan seseorang, zaman ini kompetensi lebih diutamakan dalam melihat kepemimpinan seseorang.
Kemajuan yang sangat pesat di bidang teknologi informasi diperkirakan akan terus meningkat pada masa-masa mendatang. Pada tahun 2021 diperkirakan 30 milyar perangkat yang akan terhubung secara nirkabel. Teknologi informasi memasuki semua aspek kehidupan dan dikenal dengan IOT atau Internet Of Think. Peranan perempuan PGRI pada era ini menjadi tolak ukur keberhasilan organisasi di masa yang akan datang. Karena pada era ini yang tidak dapat menyesuaikan diri pada era disruption ini akan menghilang dengan sendirinya. Seorang pemimpin harus memiliki tingkat kecerdasan yang lebih tinggi dan mampu memberdayakan anggota.