Fenomena Khong Guan dan Jebakan Euforia Timah di Bangka Belitung
Oleh: Ares Faujian*
Menjadi narasumber pada kegiatan Pemberdayaan Komunitas Penggerak Literasi Se-Babel (7 s.d 9 Juni 2022), membuat penulis termotivasi untuk menulis tulisan ini. Penulis tergelitik ketika salah satu peserta kegiatan yang diselenggarakan oleh Kantor Bahasa Babel ini mengungkapkan hal nyeleneh. Dimana, kata “Khong Guan” terlontar begitu saja dari mulut seorang guru ini kala menanggapi sebuah gambar yang penulis presentasikan.
Gambar presentasi ini berisi foto sebuah keluarga utuh, yakni ayah, ibu, dan dua anaknya. Namun sayangnya, ayah dari keluarga tersebut keluar dari bingkai foto untuk memeluk wanita lain. Alhasil, analogi dan imajinasi “Khong Guan” terucap dari peserta lelaki bernama Dwi ini, hingga ruangan kegiatan pun menjadi pecah dengan gelak tawa.
Ide menulis pun langsung terlintas di pikiran penulis. Dimana, “Khong Guan” yang telah diucapkan tadi menjadi gagasan yang penulis angkat dan direlevansikan dengan fenomena sosial yang terjadi di Bangka Belitung, yakni fenomena sosial perceraian dengan angka yang tinggi di Indonesia.

Jadi, masih ingatkah kita dengan nama Khong Guan? Biskuit yang sudah ada sejak tahun 1940-an ini memiliki kemasan kaleng bergambar keluarga di meja makan, namun tak utuh. Lalu, siapa anggota keluarga yang hilang? Ya, sosok seorang lelaki (ayah) tak nampak pada kaleng yang berwarna dominan merah ini. Lantas, ke mana dia pergi? Tentunya ihwal ini masih menjadi cerita misteri ketika iklan atau makanan ini beredar marak ketika lebaran tiba, bahkan menjadi meme.
Di Bangka Belitung, kasus keluarga tak utuh “Khong Guan” ini berada pada peringkat 5 pada level nasional (bangka.tribunnews.com, 2021). Kabar berita ini pun menjadi tren di beberapa media massa lokal hingga nasional pada tahun lalu, dan membuat gerah para petinggi di pemerintahan Bangka Belitung.
Ada beberapa faktor penyebab fenomena perceraian di Bangka Belitung ini. Menurut Susanti melalui data dari news.detik.com (2019) selaku Kepala Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak Kependudukan Pencatatan Sipil dan Pengendalian Penduduk Keluarga Berencana Prov. Bangka Belitung pada saat itu, ia menyebutkan bahwa, sebagian besar perceraian perkawinan ini karena adanya gugatan cerai istri. Selain itu, perceraian ini juga dipengaruhi kondisi ekonomi keluarga yang tidak baik. Tidak hanya itu, masalah sosial ini terjadi rerata dari pasangan suami istri yang menikah pada usia dini.
Ada korelasi positif antara kasus perceraian dan kasus pernikahan dini di Bangka Belitung. Karena usia yang belum matang untuk membina rumah tangga, sehingga perceraian pun akan sangat mudah terjadi. Kondisi yang belum matang ini bisa dipicu oleh perihal ekonomi yang belum mapan, tingkat pendidikan yang belum mumpuni, hingga kondisi mental (psikologis) yang belum siap karena usia menikah yang terlalu muda.
Dilansir oleh rri.co.id (2021), kasus pernikahan dini di Bangka Belitung pada tahun 2020 meroket dari peringkat 8 ke peringkat 1 dari 34 provinsi di nusantara. Angka putus sekolah atau drop out (DO) sebanyak 2.348 dari total 112.000 siswa pun digadang-gadang menjadi latar belakang pernikahan dini di Negeri Serumpun Sebalai terjadi.
Sebenarnya, ada penyebab yang lebih mendasar lagi ketika berbicara perceraian dan pernikahan dini. Ya, ini terkait harga jual timah yang sedang melambung tinggi beberapa tahun ini. Kok, bisa?
Timah saat ini menjadi salah satu ladang perekonomian utama di Bangka Belitung, jika kita berbicara cara cepat dan besar untuk mendapatkan uang. Masifnya lokasi penambangan timah ini bisa dibuktikan secara visual dari pesawat terbang ketika Anda keluar ataupun masuk ke Bangka Belitung. Dimana, pemandangan hijau namun berlobang-lobang putih ialah hal yang lazim ditemukan dari atas bumi, dan itulah hasil karya para penambang timah di tanah Melayu ini. Plus, efek banjir karena rendahnya daya resap tumbuhan berkat galian lobang timah di beberapa daerah jika hujan tak kunjung berhenti 1 hingga 2 hari, seperti di sebagian daerah Pangkalpinang, Tanjungpandan, hingga Belitung Timur pada tahun 2017.
Dengan adanya dampak-dampak ini, mengapa sampai saat ini eksplorasi timah tak juga berhenti ataupun berkurang signifikan? Bahkan, malah bertambah sejak harga timah melonjak hingga 200 ribu lebih per kilogram. Yang mana, sehari saja bisa lebih dari 5 kg didapatkan dari hasil menambang timah ini, bahkan ada yang sampai belasan kilogram. Lalu, siapa yang salah atas meningkatnya euforia timah ini?
Kini, tidak hanya orang dewasa yang banyak melakukan pekerjaan dengan hasil menggiurkan ini. Anak usia sekolah atau remaja pun tidak sedikit ikut berpartisipasi. Bahkan, mereka rela putus sekolah gegara jebakan uang instan yang bisa didapatkan dalam hitungan hari, bahkan hitungan jam pada kegiatan menambang ini. Tak ayal, angka putus sekolah melonjak dan pernikahan dini besar kemungkinan terjadi karena uang sudah mudah didapati.
Yang paling parah, praktik prostisusi juga bisa dilakukan. Karena pembagian uang dari hasil timah (berkelompok) ini biasanya dibagikan di kafe remang-remang. Sehingga, apa yang terjadi? Uang yang sudah dibagikan tadi ada kans tersalurkan melalui hiburan malam di kafe tersebut, baik berupa meminum minuman keras sampai menggunakan jasa wanita penghibur. Informasi ini pun penulis dapatkan dari beberapa murid penulis yang dulunya pernah melakukan praktik menambang pada tahun 2021.
Memang tidak semua penambang melakukan hal-hal yang seperti ini. Namun, beberapa indikasi perceraian juga didapati dari eksistensi penambangan timah dan kafe remang-remang ini. Misalnya terjadi perselingkuhan dengan wanita kafe.
Orang dewasa yang sudah mapan saja bisa bercerai gara-gara wanita ini. Apalagi muda-mudi yang melakukan pernikahan dini, yang notabene secara tingkat pendidikan dan psikologis mereka kurang siap untuk seusianya. Lantas, apakah fenomena Khong Guan ini akan menjadi tradisi di Bangka Belitung?
Penulis menghimbau, agar pemerintah dan kita sebagai masyarakat memperhatikan serius fenomena ini jangan sampai menjadi subkultur menyimpang. Apalagi berbicara penambangan timah saat ini. Tentunya, efek berantai akan sangat dirasakan dan didapati di kemudian hari. Tidak hanya dari dampak lingkungan saja, namun dampak sosial, budaya (kebiasaan), hingga dampak masa depan bangsa juga dipertaruhkan dengan adanya fenomena ini. Termasuk pula besar peluang menggunakan narkoba dan zat adiktif lainnya.
Semoga tulisan ini menjadi pengetuk hati dari hati-hati yang bernurani dan pengingat bagi pemerintah, keluarga, dan pemerhati pendidikan (sekolah). Salam semangat membangun peradaban!
*Penulis adalah Guru Sosiologi SMAN 1 Manggar dan Agen Penguatan Karakter Kemdikbud-Ristek RI