Generasi Z Memilih Pertahankan Gawai Atau Jiwa Pancasila?
Oleh:
Syahrani Aprillia*
Editor:
Bryant Hadinata
Jika kamu memperhatikan teman-teman di sekolah, akan ada banyak karakter berbeda yang bisa kamu jumpai. Ada yang ramah kepada semua temannya tanpa membeda-bedakan yang biasa kita sebut dengan friendly, ada yang hanya bermain dengan kelompok pertemanan pilihannya yang terkenal di kalangan anak muda dengan sebutan circle, dan ada juga yang lebih memilih bermain dengan teman virtual-nya di gawai. Tipe orang yang seperti ini tidak bisa kita simpulkan sebagai seseorang yang anti sosial. Bisa saja ia hanya seorang yang pemalu di dunia nyata yang minder atau kurang percaya diri di hadapan teman-temannya, namun masih memiliki keinginan untuk bersosialisasi di dalam dirinya.
Segala bentuk pertemanan pada Generasi Z ini cukup complicated, karena tidak semua orang mau berkenalan atau bersosialisasi kepada orang baru atau mereka yang tidak memiliki karakter friendly dalam dirinya. Apakah hal ini berpengaruh pada sikap persatuan atau jiwa Pancasila mereka? Tentu saja. Kita bisa mengambil contoh, pada saat guru memberikan tugas secara berkelompok. Tipe orang dengan karakter friendly akan mudah membentuk kelompok atau bergabung dengan kelompok mana saja. Tipe orang dengan pertemanan circle akan memilih berkelompok dengan teman-teman pilihannya. Sedangkan, orang yang hanya memiliki teman secara virtual di gawai mereka akan sulit untuk membentuk, bahkan bergabung ke kelompok lain. Mereka bisa saja masuk ke kelompok orang dengan karakter friendly, namun mereka sendiri yang akan kesusahan mengimbangi energi orang-orang yang ada di kelompok tersebut.
Hal ini tentu saja akan mengikis sikap persatuan di dalam kelas jika orang-orang yang ada hanya terpaku untuk berteman dengan teman pilihannya tanpa mencoba untuk bersosialisasi kepada orang lain. Namun perlu digarisbawahi, tidak semua orang dengan pertemanan berbentuk circle tidak mau bersosialisasi dengan orang lain. Tergantung pada lingkungan pertemanan mereka, circle yang sehat tidak akan mengekang orang-orang di dalamnya untuk tidak membuka diri kepada orang lain.
Apakah sikap persatuan bisa berkurang hanya dari faktor karakter atau bentuk pertemanan? Tentu tidak. Ada faktor lain yang bisa menyebabkan jiwa Pancasila dalam diri kita berkurang. Contoh di atas adalah contoh dari faktor internal yang ada. Faktor internal tersebut berasal dari dalam diri manusia, seperti karakter atau sifat pada diri mereka. Faktor internal tersebut bisa diatasi dengan penanaman nilai Pancasila sejak dini atau pembangunan karakter melalui lingkungan keluarga, sekolah, atau masyarakat. Jika ada faktor internal, tentu saja ada faktor eksternal. Faktor eksternal berasal dari luar diri manusia, bukan dari sifat atau karakter dalam diri mereka. Contoh dari faktor eksternal ini sendiri bisa bersumber dari gawai.
Gawai merupakan alat penunjang pekerjaan atau alat komunikasi canggih. Kemajuan zaman menyebabkan teknologi ini sangat dibutuhkan tidak hanya oleh orang dewasa, namun anak-anak juga memerlukan gawai dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya. Bahkan, gawai bukan lagi disebut sebagai kebutuhan sekunder, namun berpindah menjadi kebutuhan primer. Dalam artian, gawai lebih diperlukan keberadaannya. Orang-orang rela berhemat, bahkan tidak makan sama sekali demi membeli jenis teknologi ini.
Dengan adanya kemajuan teknologi seperti ini, sangat membantu kita dan orang lain melakukan berbagai aktivitas. Walaupun salah satu faktor berkurangnya rasa persatuan generasi muda disebabkan oleh gawai, kita tidak bisa menutup mata bahwa kehidupan kita semakin maju dan berkembang karena adanya gawai.
Secara objektif, gawai adalah sebuah media massa yang digunakan untuk berkomunikasi. Fungsi gawai pada era modern ini tidak hanya digunakan untuk berkomunikasi, melainkan digunakan untuk membagikan informasi ke seluruh penjuru dunia hingga ke pelosok terdalam.
Informasi-informasi yang tersebar di dalam gawai tidak bisa kita telan mentah-mentah begitu saja. Banyaknya informasi yang tersebar tanpa tahu latar yang membelakangi benar atau tidaknya informasi tersebut dapat memengaruhi pola tingkah laku masyarakat. Tidak hanya itu, jiwa Pancasila di dalam diri kita juga dapat terpengaruh jika kita menerima berita atau informasi hoax. Selain dari informasi yang abu-abu, berbagai aplikasi seperti game atau aplikasi video populer yang digunakan anak muda dapat memengaruhi sikap nasionalisme dan nilai-nilai Pancasila di dalam diri. Sehingga, faktor eksternal dari berkurangnya rasa persatuan bukan seutuhnya berfaktor dari adanya gawai, namun apa yang ada di dalam gawai itu sendiri. Hal ini juga berdampak pada minimnya interaksi yang bisa dilakukan secara langsung karena kebanyakan orang berinteraksi menggunakan gawai. Karakter hingga bentuk pertemanan pada masa sekarang juga dipengaruhi oleh apa yang tersebar di dalam gawai, hingga dapat memengaruhi tingkah laku anak pada orang tuanya di rumah. Tak heran, keberadaan gawai tidak luput dari pandangan orang tua.
Pandangan orang tua pada gawai bagi anak mereka di Generasi Z ini cenderung negatif. Tetapi, tidak semua orang tua memiliki pola pikir yang sama. Karena dengan adanya teknologi maju seperti gawai tidak sepenuhnya memberikan pengaruh negatif kepada anak mereka. Buktinya, dengan adanya gawai memudahkan segala aktivitas, baik itu di sekolah ataupun di luar lingkungan sekolah. Anak mereka juga bisa belajar tidak hanya dari buku, namun bisa melalui internet atau berbagai aplikasi khusus pembelajaran. Karena itu, kita sebagai Generasi Z tidak boleh impulsif dalam mengambil gerakan. Contoh, gerakan berhenti penuh menggunakan gawai guna memupuk rasa persatuan dan kesatuan justru menghambat segala aktivitas dalam kehidupan sehari-hari. Kita sebagai Generasi Z Indonesia harus cerdas dalam mengambil langkah yang tepat jika ingin mempertahankan jiwa Pancasila.
Bagai makan buah simalakama. Dihadapkan oleh dua pilihan yang sulit, membuang gawai demi mempertahankan jiwa Pancasila atau membuang jiwa Pancasila demi mempertahankan gawai. Apakah kita memang harus memilih salah satu di antara dua pilihan sulit itu? Menurut Direktur Informasi dan Komunikasi Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Kementerian Kominfo, Drs. Wiryanto MA,Ph.D dalam sambutannya pada acara Forum Aksi #Pendekar (Pendidikan Karakter) menyampaikan bahwa perkembangan teknologi dapat memengaruhi budaya hidup dan karakter berkomunikasi di Indonesia.
Dalam sambutannya, beliau juga turut menyampaikan bahwa pemahaman akan nilai-nilai dan norma yang berlaku tentang bagaimana hubungan antar manusia dalam kehidupan sehari-hari mulai berkurang. Dilihat dari survei yang dilakukan pada tahun 2018 yang lalu, publik yang peduli pada Pancasila telah mengalami penurunan secara signifikan sejak 10 hingga 13 tahun terakhir di seluruh provinsi di Indonesia.
Karena itu, penting bagi kita untuk segera sadar akan ideologi dan dasar negara pada diri kita yang mulai menipis. Menipisnya jiwa Pancasila di dalam diri kita akan mengurangi sikap persatuan dan kesatuan yang ada. Itulah mengapa, diperlukan gerakan aksi nyata untuk mengatasi masalah ini tanpa harus membuang salah satu antara teknologi atau jiwa Pancasila dan gerakan yang dapat mempertahankan keduanya.
Gerakan SmaWGad merupakan inovasi sebagai pengatasan masalah kurangnya sikap persatuan dan tenggang rasa yang ditujukan untuk generasi muda. SmaWGad terdiri dari tiga kata yakni, Sma (Smart), W (With), Gad (Gadget). Sehingga makna dari nama gerakan ini adalah ‘pintar dengan gawai’ atau bisa disebut juga ‘pintar dalam menggunakan gawai’. Gerakan SmaWGad bisa dilakukan melalui dua cara, cara pertama melalui gawai itu sendiri dan cara kedua melalui pembangunan kesadaran akan pentingnya quality time bersama orang tersayang.
Dengan cara pertama, para Smawgaders bisa melakukan aksi persatuan sebagai sesama rakyat Indonesia dengan melakukan donasi bagi korban bencana alam atau masyarakat yang terkena musibah. Tidak hanya berdonasi untuk korban bencana alam atau yang terkena musibah, kita bisa membantu saudara kita yang kurang mampu. Aksi ini bisa dilakukan melalui sebuah website di internet, ‘wecare.id’ yang dibangun khusus untuk mengumpulkan dana bagi pasien atau masyarakat yang secara finansialnya kurang. Sedikit donasi bagi kita akan bermakna besar bagi mereka. Tidak hanya melalui website ini, kita juga bisa berdonasi atau membantu saudara kita melalui platform lain yang menyediakan jasa seperti ini.
Cara kedua dilakukan dengan membatasi waktu penggunaan gawai. Dengan cara ini, kita tetap bisa menggunakan gawai, namun waktu penggunaannya dikurangi agar kita tetap sadar bahwa ada kehidupan nyata yang harus kita jalani agar kita tidak terlalu terpaku pada dunia gawai kita. Kita bisa meluangkan waktu bersama keluarga atau mencoba hal baru bersama teman-teman. Dengan cara ini, kita bisa meluangkan waktu yang berkualitas bersama orang-orang yang kita sayangi, serta memupuk rasa persatuan di lingkungan keluarga tanpa harus membuang gawai.
Dengan dua cara tersebut, tujuan dari gerakan SmaWGad dapat tercapai. Pintar dalam menggunakan gawai berarti pintar dalam memakai media tersebut menjadi media yang dapat membantu orang lain dan pintar dalam mengetahui pentingnya membagi waktu saat bermain gawai dan saat bersama dengan keluarga.
Sehingga gerakan SmaWGad ini merupakan gerakan yang sesuai untuk kalangan anak muda yang tidak bisa lepas dari gawainya. Dengan gerakan ini, Generasi Z tetap bisa optimal menggunakan gawai dan membangun sikap persatuan dalam lingkungan keluarga ataupun masyarakat. Ayo jadi Smawgaders versi terbaikmu!
*Penulis adalah siswi SMA Negeri 1 Manggar
Referensi:
GLN. 2022. “Mendidik Anak di Era Digital”, https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/mendidik-anak-di-era-digital/, diakses pada 19 Oktober 2022 pukul 20.53
KOMINFO. 2019. “Jiwa Pancasila Penting di Era Perkembangan Teknologi, Harus Diamalkan dan Diperjuangkan”, https://www.kominfo.go.id/content/detail/20401%20/jiwa-pancasila-penting-di-era-perkembangan-teknologi-harus-diamalkan-dan-diperjuangkan/0/sorotan_media, diakses pada 21 Oktober 2022 pukul 20.28
Admin PMB BRIN. 2022. “Pentingnya Pancasila sebagai Alat Pemersatu Bangsa Pasca Kemerdekaan Indonesia Tahun 1945”, https://pmb.brin.go.id/pentingnya-pancasila-sebagai-alat-pemersatu-bangsa-pasca-kemerdekaan-indonesia-tahun-1945/?amp, diakses pada 21 Oktober 2022 pukul 20.59
Pusdatin. 2021. “Contoh Pengamalan Sila Ke-3 Pancasila di Lingkungan Keluarga”, https://bpip.go.id/berita/990/546/contoh-pengamalan-sila-ke-3-pancasila-di-lingkungan-keluarga.html, diakses pada 21 Oktober 2022 pukul 21.50
Sudono, Agus. 2016. “Gadget atau Gawai”, https://balaibahasajateng.kemdikbud.go.id/2016/03/gadget-atau-gawai/, diakses pada 23 Oktober 2022 pukul 00.17
.