Genie (Bagian 1)
Oleh: Bryant Hadinata
Suara gemercik air hujan masih dapat kudengar. Sambil menunggu Tom, aku pun dengan santai mencicipi kopi Americano ini yang di mana aku sangat menyesal membelinya. Aku penasaran dengan rasanya, tetapi saat aku meminumnya, oh gawat, tidak cocok untukku. Mau bagaimana lagi? Semoga kopi Tom lebih enak untukku. Sudah 5 menit berlalu, Tom akhirnya muncul melambaikan tangan dengan hebohnya dari jendela luar cafe. Hal yang terlintas di kepalaku adalah semoga semua orang di sini memakhluminya.
Tom duduk di depanku. Kami memulai percakapan kami.
“Haha, akhirnya kita bisa membahas ini. Aku sudah sangat tidak sabar. Bahkan, tadi pagi saja karena terlalu semangat, aku sampai lupa kalau aku punya istri. Hahaha!” kata Tom si tukang ngawur penuh tawa canda.
“Hm, baiklah. Karena semangatmu tinggi, bagaimana kalau kita batalkan saja pertemuan hari ini?”
“Boleh jika kau ingin melihatku membuatmu malu di cafe ini.”
“Haha, aku bercanda.” aku pun tertawa kecil sambil meminum segelas kopiku dengan terpaksa.
“Eugene, ayo cepat ceritakan. Tentang buku yang kau tulis ini. Aku tak menyangka diam-diam bukumu laris manis terjual. Aku juga sangat kagum dengan kisahmu walaupun fiksi. Tapi, aku masih bingung apa benar kisahmu itu fiksi? Itulah kenapa kau wajib menceritakan segalanya kepadaku.” kata Tom sudah tidak sabar.
Ya, aku pun tidak menyangka tulisanku yang aku curahkan itu bisa menjadi salah satu buku favorit masyarakat luas. Sudah saatnya aku menceritakan semuanya kepada Tom tanpa peduli ia akan kagum atau tidak, percaya atau tidak, sedih atau tidak kepada ceritaku ini. Aku pun membuka topik ini dengan Tom. Soal buku karanganku yang berjudul ‘Genie’.
Tentu orang pasti bertanya, siapakah Genie dalam buku milikku ini? Aku pun bingung harus mulai dari mana. Mungkin akan lebih baik jika aku menceritakan semuanya dari awal suatu kejadian yang tak akan pernah hilang dalam memoriku sampai aku pergi dari dunia ini sekalipun.
Sama seperti saat ini, hujan turun perlahan dari langit putih abu-abu. Saat aku masih kecil, benar-benar kecil, seorang bocah ingusan, aku berada di dalam mobil bersama ibuku. Ayahku tidak ikut karena selamanya dia tidak akan ikut ataupun kembali kepada kami.
Aku masih kecil dan belum boleh tahu terlalu banyak tentang semua itu. Begitulah yang ibuku katakan. Kami menuju ke suatu tempat seperti apartemen kecil dan sempit melalui jalan yang sempit pula seperti hati ayahku saat itu. Tak lama, kami berhenti. Ibuku bersuara,
“Eugene, ini tempat tinggal baru kita.”
Sempit, kumuh, hampir tidak layak. Tapi, setelah masuk ke dalamnya, oh, tidak buruk. Hanya luarnya yang buruk. Seperti pikiran ayahku pada ibuku, bedanya ia tidak melihat ke dalam. Ya ampun, kenapa aku terus menyebutnya.
Setelah membereskan segalanya, ibuku pun seperti biasanya, harus pergi ke Rumah Sakit untuk bekerja di bidangnya. Setiap malam seperti ini sudah amat biasa untuk anak sepertiku. Bedanya di malam ini dan seterusnya, aku tidak akan melihat ayahku duduk melamun di meja makan. Lagi-lagi, aku menyebutnya. Ah, sudahlah.
Aku pun masuk ke kamarku. Sebenarnya ada satu hal yang aneh sejak aku masuk. Ada lemari antik di depan ranjang tidur. Dirantai, tetapi tidak digembok. Aku belum membuka isinya. Rasa penasaran untuk membukanya sudah pasti meningkat. Setelah aku membuka rantainya, aku pun mulai dengan perlahan membuka pintu lemari antik jelek ini.
Kosong.
Apa? Kosong? Lalu, untuk apa rantai ini? Tidak ada manusia penghisap darah di sini. Entahlah, mengapa pemilik sebelumnya tidak mengeluarkan lemari ini. Tentu saja rasa tertarikku seketika hilang dan aku pun bersiap untuk tidur ditemani sinar bulan yang berusaha mencari celah untuk menyinari ruang kamarku dari jendela dengan pemandangan beton apartemen dan lampu kota padat penduduk penuh karbon monoksida.
Baru saja aku duduk di pinggir ranjangku, tiba-tiba lemari antik itu bersuara halus. Suara kayu yang diinjak bisa kurasakan. Nyata sekali. Bocah sepertiku saat itu tidak mungkin tidak berlari keluar dari kamar. Itulah insting menyelamatkan diri. Aku sungguh ketakutan. Tetapi, aku tetap berusaha memberanikan diriku untuk kembali ke kamarku. Aku mulai membuka pintu dengan pelannya untuk mengintip suasana, meskipun jantungku tidak dapat berdetak pelan dengan suasana seperti ini. Kosong sunyi memang tidak ada siapa-siapa selain ragaku.
Akhirnya, aku pun memberanikan diriku sedikit lebih tinggi dengan membuka setengah pintu kamarku. Masih kosong. Masih hening. Masih tampak angker. Lemari antik jelek itu pun tidak berubah dari posisinya. Ya, sepertinya itu hanya halusinasi. Aku pun baru ingat, ibuku berpesan untuk memindahkan pakaian milikku dari koper ke lemari yang sepertinya maksudnya adalah lemari kosong ini. Beberapa menit berlalu, tidak ada yang terjadi. Aku pun mengambil beberapa pakaianku untuk dimasukkan ke dalam lemari. Aku pun membuka lemari antik di kamarku.
“AHHH!!” pada akhirnya aku pun berteriak dengan kencangnya seperti anak perempuan setelah melihat isi dari lemari yang semula dirantai dan kosong itu ialah gadis perempuan berambut coklat keemasan, dan lebih menyeramkannya lagi adalah dia bisa menyapa. Bukan mimpi. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri. Melihat sosok hantu wanita. Ya! Ini pasti hantu, jin, atau semacamnya.
Aku enggan melanjutkan jeritan pecundangku karena…
Karena gadis yang ku perkirakan adalah hantu ini sangat, sangat cantik. Aku tidak tahu apakah orang-orang bisa memvisualisasikan sosok gadis ini atau tidak di pikiran mereka. Gadis ini sangat cantik. Cantik sekali parasnya. Kulitnya yang persik sudah pasti tampak sangat halus sehalus sutra. Rambutnya jangan ditanya lagi. Matanya sangat berkilau sehingga auranya pun berkilau. Ia mengenakan gaun putih bersih berkilau pula yang sangat cocok untuk perawakannya. Amat cocok untuk tubuh mungilnya. Bibirnya berwarna cherry sangat sempurna. Demi Tuhan, memangnya ada sosok hantu gadis seindah ini, ya Tuhan? Tidak pernah aku melihat sosok hantu seperti itu. Bahkan, aku hanya berspekulasi tanpa bertanya terlebih dahulu apakah ia hantu atau nyata seorang manusia berparas cantik. Karena apabila ia manusia, aku pun sudah bisa menebak awal dan akhir cerita dari perjalanan asmaraku kelak saat dewasa nanti.
“Aku Genie. Senang sekali bertemu denganmu!” Oh Tuhan, hanya satu kata untuk mendeskripsikan suaranya.
–Bersambung-

Ilustrasi Gambar: Bryant Hadinata
Bagian 2: https://belitungmuda.com/genie-bagian-2/
Bagian 3: https://belitungmuda.com/genie-bagian-3/
Bagian 4: https://belitungmuda.com/genie-bagian-4/