Genie (Bagian 2)
Oleh: Bryant Hadinata
Cahaya yang terang menyinari kamarku. Sumber cahaya itu adalah dari dalam lemari itu. Apa ini cahaya ilahi? Itu artinya, apa aku sudah mati? Atau ini hanya mimpi? Tapi, ini semua sungguh terasa sekali. Sudah pasti ini bukan mimpi. Atau mimpi? Aku masih ragu. Aku benar-benar membeku saat ini.
“Kenapa kau diam saja? Siapa namamu?” kata makhluk cantik ini berbicara kepadaku. Suaranya pun terdengar nyata yang membuatku semakin yakin kalau ini bukan mimpi. Aku pun menjawabnya pelan, sambil memastikan aku masih hidup dan ini nyata, “E, Eugene…”
“Baiklah, Eugene. Mulai sekarang kita adalah teman. Aku ingin mengajakmu melihat-lihat tempatku berasal. Apa kau mau, Eugene?” Genie membujukku untuk masuk ke dalam dunianya yang berada di dalam lemari antik itu. Aku rasa aku sudah tidak waras. Bagaimana mungkin lemari ini adalah portal yang tembus ke suatu tempat? Apa jangan-jangan aku memang tidak bermimpi dan sekarang aku akan dipaksa masuk ke dalam dunia jin oleh hantu gadis cantik ini? Di dalam pikiranku setelah gadis bernama Genie ini muncul dari lemariku ialah bingung, ragu, dan ketakutan yang dicampur aduk menjadi satu, diselubungi dengan pikiran yang tidak dapat membedakan mana yang nyata dan mana yang bukan.
Baiklah, karena aku adalah anak yang polos, penurut, terlebih lagi gadis yang sejak awal muncul ini masih belum dapat ditebak apakah dia hantu atau manusia ini sangat cantik jelita membuat perasaan merindingku menurun, pada akhirnya aku pun mencoba masuk ke dalam lemari mengikuti gadis ini, Genie. Tanpa rasa peduli lagi terhadap perasaan ini mimpi atau bukan. Begitu aku mengangguk untuk ikut dengannya, tanganku langsung ditarik oleh gadis ini ke dalam lemari yang terasa sangat, sangat luas bukan main.
Aku tak dapat melihat apa-apa. Bukan karena gelap, tetapi karena kabut putih yang amat tebal. Kabutnya terasa seperti embun pagi. Dingin sekali. Walaupun dingin, tetapi kabut ini sukses membuat tubuhku merasa tenang dan mengantuk yang di mana sudah 1 pekan ini aku yang masih hanyalah anak-anak sudah dapat merasakan kehadiran Insomnia. Mungkin karena ayahku. Kembali lagi aku mengungkit namanya.
Beberapa detik kemudian, kabut itu menghilang. Sontak semuanya gelap gulita. Aku merasa seperti di ruangan yang luasnya hanya seukuran tubuhku. Aku meraba depan tubuhku, rupanya itu adalah pintu. Aku mendorong pintu itu dan aku kembali merinding.
Aku berada di suatu tempat semacam rumah kecil yang sangat unik, semuanya tampak terbuat dari kayu. Aku yakin sekali segala jenis kayu telah melengkapi tempat ini. Genie ternyata sedang berdiri di tempat yang aku yakin adalah dapur. Dapurnya menyatu dengan ruang yang aku yakin adalah ruang tamu. Tidak ada pintu yang aku kira adalah pintu kamar tidur atau kamar mandi. Hanya ada pintu untuk keluar. Uniknya lagi, ruangan ini berbentuk lingkaran tak beraturan. Langit-langitnya cukup tinggi untuk sebuah rumah yang tergolong kecil.
Genie pun menyiapkan sesuatu yang aku rasa itu adalah teh. Kemudian, ia menenangkan raga dan jiwaku dengan menghidangkan teh yang warnanya saja sangat unik, dapat berubah warna dari putih menjadi kuning dan pastinya itu adalah aneh. Kami duduk di tempat duduk yang terbuat dari kayu yang sangat licin seperti kaca. Aku berusaha memberanikan diriku untuk meneguk teh yang Genie hidangkan. Rasanya sangat aneh seperti rupanya. Tapi manis dan jika aku terus meneguk tehnya, aku merasa ketagihan.
“Pasti kau masih sangat kaget, kan? Tidak apa, anggap saja rumah sendiri sambil melihat semuanya. Oh ya, ini rumahku. Luar biasa bukan? Walau sempit, tapi rumah ini kokoh. Karena kita berada di dalam pohon raksasa.”
Aku langsung tersedak dan bertanya, “Apa??”
Genie kembali melanjutkan, “Iya, benar. Oh ya, bukan hanya rumahku yang unik. Teh yang kau minum sekarang pun terbuat dari air liur…”
Mulutku langsung menyemburkan segala isinya dan kembali bertanya, “Apaa?!”
Aku tersedak untuk kedua kalinya dan bagi Genie itu lucu.
“Hahaha, kau ini gampang sekali dipermainkan! Tentu saja tidak. Tehnya terbuat dari bunga dandelion.”
Tetap saja aku bertanya ‘apa’. Karena aku penasaran, aku pun bertanya, “Maksudmu teh ini berasal dari akar atau daunnya? Aku tidak pernah mendengar sebelumnya jika teh ini berasal dari bunganya.”
“Tentu tidak. Ini dari bunganya langsung.” jawab Genie dengan yakinnya.
Di sini entah aku yang bodoh atau dia yang bodoh. Tetapi, teh ini memang sangat manis dan nikmat. Aromanya sangat memiliki ciri khas. Bahkan, aku sampai lupa kalau sepertinya ini semua mungkin hanyalah mimpi fantasi yang sedang aku alami.
Jika memang ini mimpi, aku cukup menikmatinya. Meminum teh yang aneh tapi enak, dikelilingi segala perabotan unik yang terbuat dari kayu berwarna cerah, dengan suasana cerah di luar pohon ini sambil ditemani kawan baruku yang bernama Genie. Aura cantiknya keluar saat ia tersenyum tipis. Terlepas dari hal yang membuatku merinding sebelumnya di kamarku yang membuatku memikirkan hal yang berlebihan.
Genie pun kembali mengajakku ke suatu tempat. Ia mengajakku untuk keluar. Kali ini aku sangat semangat untuk mengikutinya.
“Ayo, kita keluar untuk berjalan-jalan! Tapi, sebelum itu, kamu harus memakai ini di punggungmu.” ajak Genie sambil memberikanku sepasang benda tipis bening yang tampak seperti sayap capung. Ukurannya melebihi punggungku. Iya, aku tahu, ini tidak masuk akal bukan? Tapi, memang itulah yang aku lihat dengan mataku.
“Apa ini?”
Genie pun menjawab, “Ini sayap capung terbuat dari sutra. Kau tidak tahu?”
Tentu saja aku bertanya balik, “Ini bukan lelucon lagi seperti teh tadi, kan?”
-Bersambung-

Ilustrasi Gambar: Bryant Hadinata
Bagian 1: https://belitungmuda.com/genie-bagian-1/
Bagian 3: https://belitungmuda.com/genie-bagian-3/
Bagian 4: https://belitungmuda.com/genie-bagian-4/