Genie (Bagian 5-Terakhir)
Oleh: Bryant Hadinata
“Eugene, aku sangat ingin mendengarkan ceritamu lebih banyak lagi. Tapi, aku harus pergi ke suatu tempat sebentar lagi. Ya, sebenarnya aku tinggal membaca bukumu saja. Tapi, tentu lebih menarik mendengarnya langsung dari penulisnya. Hahaha!”
“Oh ya, ada satu cerita tentang perjalanan kami yang tidak bisa aku lupakan sebenarnya. Eh, aku rasa lebih baik kau membacanya saja nanti di bukuku.”
“Apa itu?! Kau tahu aku orang sibuk luar biasa. Aku takut aku tidak bisa membacanya nanti. Ceritakan saja langsung sedikit lagi. Aku penasaran.” kata Tom kepadaku.
Aku menyesal menawarkannya bagian akhir dari cerita yang kekanak-kanakkan ini. Aku sendiri sepertinya belum siap untuk mengulang kembali kisah ini. Tapi, aku rasa tidak apa untuk merasakan sedikit rasa pahit. Karena rasa pahit itu sendiri akan berguna untuk batinku. Ya, aku rasa.
Kami kembali ke dalam ceritaku. Tapi, kami melompat langsung ke bagian yang tidak akan pernah aku lupakan. Semua perjalanan yang aku lakukan bersama Genie di negeri fantasinya adalah kebahagiaan yang langka. Hingga suatu hari, terjadi sesuatu yang tentunya adalah kesedihan yang pasti akan muncul pada setiap kesempatan. Itu wajar dalam hidup.
Seperti biasa, Genie memandu penerbangan kami berdua. Ia menunjukkan suatu padang luas yang penuh dengan bunga. Banyak sekali jenis bunga-bunga kecil menghiasi padang yang luasnya terasa tak terhingga. Bunga dandelion, bunga hydrangea, bunga poppy, bunga yarrow, kembang sepatu, hingga bunga matahari dapat terlihat oleh mataku. Rasanya semuanya ada di sini. Tentu pertanyaannya, bagaimana bisa? Ya, namanya juga negeri fantasi. Tapi, tempat yang dipenuhi oleh berbagai macam jenis bunga ini jauh lebih mirip seperti surga yang diceritakan oleh orang pada zaman dahulu kala.
Genie memetik beberapa ratu bunga. Ia memberikannya kepadaku. Aromanya sangat harum. Aku pun membalasnya. Dengan inisiatifku sendiri, aku mengambil beberapa bunga kecil untuk dirangkai dan disambung. Genie tampak penasaran dengan apa yang aku rangkai. Aku membuat mahkota bunga. Setelah selesai, aku menunjukkan karyaku kepada Genie. Aku memakaikan mahkota bunga itu di atas kepalanya. Genie amat terkejut dari raut wajahnya. Aku pun berkata kepadanya, “Genie, kau satu-satunya teman yang setia. Aku tidak pernah memiliki teman sepertimu, yang amat periang, menyejukkan hati, dan lembut. Aku harap kita bisa terus seperti ini.”
Kalimat itu sempat menjadi kalimat terakhir yang aku sampaikan pada Genie. Tiba-tiba, pertama kalinya Genie menangis tepat di depanku. Sekarang aku yang terkejut dan bertanya alasan mengapa ia menangis. Justru air matanya bertambah banyak. Tanpa ragu, aku menenangkannya, memeluknya, seperti kehangatan yang selalu ia berikan kepada orang-orang, terutama kepadaku.
Genie pun akhirnya mulai berani bersuara.
“Eugene, maafkan aku.”
“Kenapa? Kau tidak ada sedikit pun salah padaku. Ada apa? Katakanlah.”
Aku menyesal bertanya alasannya. Tapi, memang sudah seharusnya aku bertanya alasan seseorang bersedih di depanku secara spontan. Itu manusiawi. Kemudian, Genie dengan satu tarikan napas ia berkata, “Maafkan aku. Aku juga sangat ingin meluangkan waktu bersamamu. Tapi, aku sepertinya tidak bisa.”
Genie langsung menghilangkan dirinya setelah angin yang amat kencang menerjang kami.
“Genie?!!” suaraku lemah seketika. Lututku lemas. Semua tubuhku seketika merasakan sakit yang luar biasa. Apa ini? Apa karena aku terlalu terkejut? Yang aku bisa lakukan hanyalah berteriak memanggil nama Genie yang hilang seperti sihir. Ini mengerikan. Aku tidak akan pernah bisa menerima kejadian ini. Aku langsung pergi menuju rumah Genie. Entah kenapa rasanya aku terbang dengan sangat cepat.
Saat tiba di rumah Genie, harapan untuk menemukannya hanyalah harapan yang terlintas. Tidak ada siapa-siapa. Entah kenapa negeri ini mendadak suram hingga suasana malam menyelimuti seluruh wilayah ini. Tidak ada siapapun. Aku sendirian. Hampa. Kosong. Penuh amarah. Aku tidak akan pernah mau kembali ke dunia nyata hingga seseorang atau alam semesta menjelaskan apa yang sedang terjadi. Yang ada di pikiranku hanyalah mencari Genie.
Kenapa semua ini menjadi harapan yang paling aku takuti? Kenapa? Tiba-tiba, aku teringat dengan pohon harapan. Harusnya jaraknya tidak jauh. Dengan kekuatan sayap capung yang masih tersisa, aku pergi ke pohon harapan yang sempat aku kunjungi dengan Genie. Hanya ada satu syarat agar harapan kita dapat terkabul oleh pohon raksasa yang agung itu. Setelah sampai, yang aku lakukan langsung berlari dan berlutut tepat di bawah akar gantung pohon harapan ini. Pohon ini bersinar dengan terangnya. Sungguh menakjubkan dan alangkah beruntungnya aku dapat melihat fenomena ini. Tapi tetap saja, aku hanya ingin menikmati pemandangan ini bersama dengan Genie.
Tanpa menunda waktu lebih lama lagi, aku langsung berlutut, memegang salah satu akar gantung yang bercahaya, dan tentunya aku berdoa.
Mendadak pohon ini mengeluarkan serbuk-serbuk putih bercahaya. Seperti kunang-kunang. Tapi, kali ini berwarna putih. Aku tidak peduli dengan apa yang terjadi di sekelilingku. Aku terus mempertahankan harapanku dan terus mencurahkannya kepada pohon harapan ini, tidak peduli apakah usahaku ini sia-sia atau tidak. Satu syarat dari Genie terus ku pertahankan pada pohon harapan ini demi harapan dapat melihat Genie kembali.
Tiba-tiba, cahaya yang amat teramat terang keluar dari pohon itu dan meluncur tepat ke arah wajahku.
Aku tidak bisa mengingat sisa kejadian setelahnya. Yang terjadi selanjutnya adalah aku terbangun dari ranjangku dengan suasana pagi hari. Bukan ini yang kuharapkan! Bukan! Kenapa tidak berhasil?! Aku sudah melakukan satu syarat itu! Kenapa? Kenapa jadi seperti ini? Aku terus mengomel atas ketidakadilan hingga seseorang keluar dari balik lemariku.
“Eugene?” suara yang tidak asing, yang sangat lembut, suara seorang gadis.
Spontan aku melompat dari ranjang dan memeluk Genie. Air mata yang aku bendung sejak Genie menghilang akhirnya mengalir dengan sendirinya. Tidak dapat ditahan lagi. Perasaan apa ini, tidak dapat aku jelaskan. Perasaan di hatiku sedang bercampur aduk dan tidak dapat menentukan perasaan yang sejatinya. Tapi, semua perasaan itu tentunya dapat aku pastikan adalah kebahagiaan.
“Kenapa kau pergi seperti itu? Aku sangat takut. Kau tahu itukan?” aku memarahi Genie untuk pertama kalinya.
……………………………………………..
“Eugene, aku harus pergi sekarang. Maaf aku harus memotong ceritamu.” jelas Tom.
“Tidak apa. Lagipula, itu sudah menjelang akhir ceritanya. Kau bisa baca dibukuku nanti.” kata diriku sambil berdiri tanda akhir dari pertemuan kami hari ini.
“Ngomong-ngomong, jadi sebenarnya, apa kau sudah sembuh? Tentu kau harus rutin meminum obatmu bukan?”
“Haha! Aku tidak terlalu mendengarkan kata-katamu, Tom. Maaf ya aku mengatakan ini. Tapi, aku menikmati semua itu, Tom. Apa aku salah?”
“Tentu salah! Secara biologis itu salah! Kau tidak takut jika semua itu akan membuatmu kehilangan nyawa? Kau harus mulai memikirkan dampak dari semua itu, Eugene! Ini penyakit! Bukanlah pengalaman yang indah. Tidak ada yang indah dari hal yang sudah pada dasarnya adalah buruk.” Tom menceramahiku di menit-menit terakhir.
“Aku rasa ini wajar jika aku tidak peduli dengan itu semua. Wajar kalau aku terjebak oleh tipu muslihat. Karena aku, bahkan mungkin semua manusia tidak ada yang peduli dengan itu semua sampai akhirnya mereka menemukan kebahagiaan mereka sendiri.” aku balik menceramahi Tom layaknya orang bijak. Tapi aku memang tidak sebijak itu.
Tom terdiam, menghela napas, meletakkan tangannya di atas kepalanya yang artinya pusing dengan sikapku.
“Aku harap kau segera sembuh. Aku akan bertemu denganmu lagi minggu depan setelah semua urusanku dengan klien lainnya selesai. Ya, aku akui bukumu menarik dan aku sangat mendukung apa yang kau lakukan. Tapi, aku hanya mau kau dapat mengontrol semua itu dan menghadapi kenyataan yang sesungguhnya.”
“Terkadang, aku bingung kenapa kita harus hidup di bawah tekanan kenyataan yang ada di sekitar kita saat ini. Padahal, kita semua berhak memiliki satu kebebasan yang sejati untuk menentukan alur hidup kita.”
Tom sepertinya sudah bosan dengan ceritaku. Ia menunjukkan beberapa ekspresi kasihan padaku. Setelah membayar semuanya di kasir, Tom dan aku pergi ke luar bersama. Baru saja kami akan berpisah, Tom bertanya satu pertanyaan kepadaku,
“Ya ampun, sejak tadi kau membahas soal satu syarat pohon harapan. Tapi, kau belum memberitahuku apa itu satu syarat supaya harapan kita terkabul.”
Dengan senyuman tipis yang selalu Genie berikan padaku, aku menjawab, “Kau hanya perlu percaya saja.”
–TAMAT–

Ilustrasi Gambar: Bryant Hadinata
Bagian 1: https://belitungmuda.com/genie-bagian-1/
Bagian 2: https://belitungmuda.com/genie-bagian-2/
Bagian 3: https://belitungmuda.com/genie-bagian-3/
Bagian 4: https://belitungmuda.com/genie-bagian-4/