Genting Apit: Cerita Rakyat dalam Kearifan Lokal Hutan Belitong
Oleh:
Bossfish S.
Editor:
Ares Faujian
Dulu, sekitar tahun 80an atau 90an, salah satu akses menuju Manggar dari Tanjungpandan yang paling banyak dilewati masyarakat adalah via Kelapa Kampit, sebuah kota kecil dengan tahapan kota di level Eopolis walau dengan jarak yang relatif lebih jauh (sekitar 90 km). Waktu itu, seingat penulis masyarakat sedikit “enggan” untuk melewati jalur alternatif yang bisa ditempuh dengan jarak relatif pendek yaitu ‘jalan tengah’, jalur transportasi melewati tengah Pulau Belitung.
Salah satu faktor yang paling dominan yang menyebabkan hal tersebut adalah karena jalan itu ukurannya yang tidak besar, terdapat sebuah kawasan hutan lindung beraroma mistik yang bernama Genting Apit, serta terdapat pula sebuah tikungan tajam berbentuk huruf “N” yang mengalahkan sudut tikungan tertajam sirkuit Mugello, Italia. Ditambah dengan pohon-pohon tinggi yang bagian atasnya menyatu antara sisi kiri dan kanan jalan, membuat ‘jalan tengah’ ini seakan-akan seperti sebuah gerbang menuju dunia lain, menambah kesan mistik kawasan tersebut.
Salah satu cerita rakyat yang terkenal di kawasan ini adalah kisah “Limpai”, yaitu seekor babi raksasa yang bertarung melawan Kik Cuan. Konon katanya, jika kita melewati Genting Apit dan berseru dengan kalimat dan bahasa yang menantang serta mengakui keturunan Kik Cuan. Maka akan datang sosok babi besar yang akan berkelahi dengan kita. Dan mitosnya lagi seandainya kita memenangkan pertarungan melawan babi tersebut, kita akan mendapatkan gelang yang bisa dipakai sebagai ilmu kebal.
Seseorang pernah berkata kepada penulis pernah melihat sebuah gelang (katanya gelang Limpai) dikalungkan di kepala ayam (katanya oleh Ayahnya). Kemudian ayam tersebut ditembak kepalanya dengan jarak tidak lebih dari 1 meter. Yang terjadi ayam tersebut baik-baik saja, sebuah logika yang tidak pernah bisa dicerna oleh akal sehat. Tentang mitos tersebut, entahlah. Namanya juga mitos, penulis juga tidak pernah mempercayai mitos itu seutuhnya.
Berbicara tentang mistis dan cerita rakyat tentang Limpai, menurut penulis itu adalah hal yang menarik. Penulis pernah mendaki bukit di sebelah Genting Apit pada 2014 silam, dan salah satu yang membuat penulis terkejut ternyata hanya sedikit hutan lindung yang ada di kawasan tersebut, yaitu sekitar 100 meter dari jalan raya. Ternyata sebuah mitos dan kearifan lokal tidak cukup membuat orang takut untuk menghancurkan hutan. Miris, tapi memang itulah yang terjadi.
Sekarang kawasan Genting Apit tidak lagi seseram sebelumya. Hal ini bisa jadi dikarenakan perkembangan zaman, teknologi, mindset ke arah revolusi industri 4.0 yang membuat orang tidak lagi memedulikan hal-hal yang berbau metafisika. Penulis tidak tahu anak SD sekarang masih mengetahui kisah/petuah tentang Genting Apit atau tidak. Padahal terkadang “hal mistik dalam kearifan lokal” sangat diperlukan dalam menjaga alam dan lingkungan agar orang tidak semena-mena menebang pohon.
Penulis penasaran begaimana kawasan Genting Apit 30 tahun kemudian. Apakah anak-cucu kita masih mendengar kisah legendaris itu ataukah hilang ditelan zaman dan berganti menjadi dongeng baru. Atau, malah kawasan tersebut telah menjadi rest-area dan menjadi perkembangan pemekaran kota, hancur akibat distopia akhir zaman. Entahlah… Semoga kawasan dan cerita ini tetap lestari.