Getang yang Bukan Getang: Menyoal Penamaan Ikat Kepala Tradisional Masyarakat Belitong
Oleh: Bahrul Ulum
Editor: Ares Faujian
Meski belum menjadi populer di kalangan masyarakat pulau Belitung, getang berpotensi untuk menjadi tren fesyen dengan tema etnik Melayu. Pada dasarnya hal ini telah ada sejak zaman dulu, terlihat dalam potret-potret lawas orang-orang Belitong.
Mengenakan ikat kepala sebenarnya adalah hal lumrah di Indonesia. Karena dari Sabang sampai Merauke, hampir dipastikan setiap suku di nusantara ini memiliki ikat kepalanya masing-masing.
Di Belitong sendiri, yang merupakan rumpun dari kebangsaan Melayu, ikut pula mengenakan ikat kepala tradisional dengan jenis destar. Dimana, dalam tulisan penulis sebelumnya “Getang: Jejak Hulu Ikat Kepala Tradisional Masyarakat Belitong”, penulis menerangkan bahwa benang merah masuknya ikat kepala tradisional Belitong ‘getang’ ini sudah ada pada abad ke-7 yang dibawa oleh orang-orang Kedah.
Getang merupakan pengucapan “getam” dengan dialek Kedah. Getam sendiri dalam buku Destar Alam Melayu berarti penutup dari sesuatu. Konteks getang secara hakikat adalah kain yang digunakan untuk menutup sesuatu. Inilah sebabnya kenapa destar dengan kategori getam/ getang memiliki ciri khusus, yaitu menutup seluruh bagian kepala atau paling sedikit dua per tiga kepala saja.
Getang secara anatomi memiliki langkah awal yang disebut biru-biru, berbeda dengan tanjak yang menggunakan tapak. Getang juga memiliki karangan dan harus terbuat dari kain segitiga. Tidak hanya itu, getang ini juga memiliki fungsi simbolik pada beberapa daerah bahkan ada fungsi pengobatan.
Kelantan menggunakan getam budu, yang mana kata “budu” ini sendiri berarti fermentasi dari ikan bilis yang memiliki bau yang kurang sedap. Getam budu bermakna penutup dari bau budu atau secara semiotika berarti penutup dari keburukan sifat pemakainya.
Selain itu, ada pula yang namanya getam tanduk. Getam tanduk atau getang bertanduk merupakan getang yang terbilang unik, sebab ia memiliki fungsi perlindungan dan pengobatan. Getang jenis ini dikenakan bagi orang yang hendak pergi ke hutan agar terhindar dari gangguan makhluk halus. Bagi orang Melayu zaman dulu, apabila anak-anak yang sering bicara sendiri atau dianggap memiliki teman semu atau teman tak kasat mata, biasanya getam ini akan dikenakan kepada si anak sebagai penangkal.
Pulau Belitong baru-baru ini sedang tren penggunaan getam. Pemakaian kain lepas ini terinspirasi salah satunya dari bukti dokumentasi lurah-lurah pada zaman dahulu di Belitong. Masyarakat Belitong yang terbilang sepuh menyebut itu adalah getang. Namun pertanyaannya, apakah itu benar-benar getang? Jawabannya bisa iya bisa tidak.

Sumber: Repro petabelitung.com
Penulis tentu tidak menggunakan subjektivitas liar dalam memandang fenomena ini, dan penulis tentu saja memiliki alasan tersendiri menyebut ikat kepala yang ada pada potret lawas itu tidak termasuk getang dan termasuk dalam getang. Mari kita bedah satu per satu.
Pada paparan di atas sudah dijelaskan sekilas terkait apa itu getang di alam Melayu. Namun apakah semua ikat kepala yang dipakai oleh suku Melayu adalah getang?
Penulis menyatakan bahwa ikat kepala yang dikenakan oleh para lurah di Belitong dulu bukanlah getang, melainkan semutar. Semutar adalah sebuah ikat kepala dari kain lepas yang biasa dikenakan oleh orang dari wilayah pantai timur Melaka (baca: Kelantan). Lalu, mengapa semutar ini dikenakan oleh orang Belitong lalu disebut getang? Mengapa tidak dinamakan semutar saja?
Tentu pertanyaan ini akan muncul untuk membantah tulisan ini. Jawabannya tentu sederhana bahkan sering kita alami.
Kasus semacam ini serupa dengan penanak nasi yang latah kita sebut magic com, atau pasta gigi yang kita sebut odol. Ini semua perihal apa yang melekat lebih dulu dan mendalam. Mungkin akan ada yang menyanggah kembali dengan menyebut bukankah itu hanya analogi? Iya, tapi bukan sekadar analogi.
Coba pembaca ingat kembali tulisan “Getang: Jejak Hulu Ikat Kepala Tradisional Masyarakat Belitong”, Tuk Hamim (alm) pernah menyebutkan ikat kepala apapun itu disebut dengan istilah getang. Pernyataan pegiat budaya Belitong ini pun membuktikan bahwa istilah getang sangat melekat dan tak tergantikan di Belitong.
Contoh lain yang sangat dekat adalah tanjak atau setanjak. Masyarakat Belitong kini sangat dekat dengan istilah ikat kepala yang satu ini, meski tidak mendalam tahu apa itu tanjak. Namun, kosakata tanjak melekat dalam keseharian masyarakat Belitong meski tidak sekuat getang.
Budaya begetang tidak serta merta hadir di Belitong. Eksistensinya berawal dari seorang individu yang memakai getang, yang kemudian ditiru oleh individu-individu lainnya, dan kemudian diikuti oleh kelompok, dan selanjutnya menjadi kebiasaan, dan pada akhirnya membudaya. Kini, Belitong memiliki tiga era ikat kepala, yaitu getang, semutar (tetap disebut getang), tanjak (pada Sumsel secara administratif).
Penulis sadar tulisan ini tidak mungkin dapat diterima semua kalangan. Namun penulis yakin semua informasi yang ada bukan untuk saling mencari siapa yang salah, akan tetapi untuk disandingkan dan membentuk sebuah kebenaran yang utuh dari rekam sejarah. Mudah-mudahan akan hadir tulisan lainnya yang nantinya akan memperkaya khazanah budaya Belitong, terkhusus untuk kultur begetang.

Sumber: Dokumentasi Yudhi Brahma