Good Morning, Mr. Christ (Bagian 10)
Oleh:
Bryant Hadinata*
Editor:
Ares Faujian
Suasana hari yang selalu terasa normal kembali kujalani, setiap harinya. Aku dengar kabarnya sekolah kami gagal merebut juara 1 Lomba Sekolah Sehat gara-gara ada Antasida di UKS yang kadaluarsa. Setidaknya alasan kalah lomba bukan karena kelas XI IPS 4 atau meja jelek Bu Rina. Yang berlalu biarlah berlalu. Aku selalu memasang prinsip seperti ini dalam hidup.
Hari demi hari, suka dan duka, serta pengalaman mengajar yang kutemui sebagai guru mulai terisi dan telah berpadu menjadi pengalaman semasa hidupku. Sebenarnya saat aku masih hanya lah siswa biasa, aku tidak menyangka kalau di masa depan aku akan menjadi guru Bahasa Inggris. Sama sekali tidak menduganya. Yang aku tahu, mungkin aku hanya akan menjadi tukang jahit seperti ibuku, walaupun itu semua identik dengan wanita. Atau menjadi tukang kebun seperti ayahku yang sudah lama pergi untuk selamanya meninggalkan kami berdua. Sama sekali tidak ada mimpi yang tinggi.
Tetapi, ketika aku bertemu dengan sosok guru yang hingga sekarang menjadi figur inspiratifku, dengan caranya mengajar, membimbing semua siswa, caranya membangkitkan motivasi dan nekad siswa, sungguh membuat terpukau. Insan berprestasi, guru professional, pendidikan yang dijunjung tinggi, kebenaran yang terus diajarkan, inspirasi, hangat cinta kasih, kata-kata ini lah yang dapat kutemukan dari beliau. Bahkan, aku tidak tahu kata-kata apalagi karena rasa kagumku yang besar seperti rasa kagumku kepada ayah dan ibuku. Aku kagum. Kagum sekali. Apa jangan-jangan ia adalah penyihir? Karena ia dapat membuat suasana menjadi hangat seketika muncul di depan kami dan mengajar kami, seperti ibu yang selalu ada untukku saat aku sedang membutuhkannya.
Karena itu lah, secercah cahaya mentari masuk dan memberikanku inspirasi yang besar untuk menjadi sama seperti apa yang ia berikan kepadaku, menjadi seorang guru. Dan ya, paling tidak hingga saat ini, aku berhasil melakukan apa yang ditargetkan. Tidak terlalu bagus, tapi juga tidak begitu buruk.
Suatu hari, aku bertemu dengan hari di mana aku harus bisa memberikan inspirasi. Malam hari saat aku berada di luar, aku pun sekaligus membeli jajanan di pinggir jalan raya. Seperti martabak coklat untuk dibawa pulang. Ibu pasti akan suka. Sudah lama sekali kami tidak makan martabak. Dan di saat itulah aku bertemu dengan penjual kue keliling. Dia adalah Putri.
“Putri??? Kamu jualan malam-malam begini??” tentu saja aku kaget melihat seorang siswi berjualan di suasana malam begini, sendirian berjalan di atas trotoar.
“Wah, Pak Christ?! Malam, Pak!” Putri langsung mengambil tangan kananku untuk salam. Ia tersenyum padaku. Aku yakin ia menutup rasa lelah dengan senyumnya. Sekarang aku pun tahu alasannya mengapa suka tertidur di kelas.
“Kamu jualan malam-malam begini apa gak apa-apa??” tanya diriku sambil mengajaknya rehat sejenak.
“Udah biasa juga, sih, Pak,” jawab Putri santai. Terlintas di pikiranku, berapa banyak pelanggan yang ia temui saat berjualan di malam hari? Kalimat retoris ini terus terngiang-ngiang.
Aku pun menawarkannya martabak yang telah kubeli. Aku tidak yakin Putri sudah makan malam. Ia malu-malu tersipu, pemandangan yang langka kulihat dari wajahnya. Kami pun mengobrol kecil-kecilan. Putri berkata, akhir-akhir ini, kondisi raga neneknya tidak begitu bagus. Berharap segera membaik, tetapi justru kondisi kesehatannya menurun. Neneknya menolak untuk ke dokter karena trauma dengan obat kimiawi dan lebih memilih obat herbal tradisional. Karena itu, Putri sering sekali berjualan demi kebutuhan dan demi neneknya. Kadang, aku pernah mendengar Putri izin beberapa kali dalam sebulan dan alasannya adalah pasti karena neneknya, satu-satunya orang tua yang ia punya hingga sekarang. Rasa sedih dapat kurasakan. Walaupun sebenarnya ia tidak pernah menunjukkannya di depanku. Saat aku ingin memberinya sedikit yang kupunya dan memberikan masukkan untuk mencari beasiswa demi masa depan, tampak dari wajahnya rasa ragu dan malu. Ini sungguh sisi Putri yang belum pernah kulihat. Apapun itu, tentu aku memaksanya untuk menerima apa yang kuberikan, walaupun barangkali tidak banyak. Ia menolak. Tetap menolak menerima. Aku pun mengiyakannya. Ia pamit dan aku pun pulang dengan rasa khawatir. Andai aku bisa membantu lebih sebagai gurunya.
Sejak menjadi wali kelas XI IPS 4, tentu saja aku memang harus siap menghadapi kejutan yang mereka berikan. Aku tak menyangka, ternyata tidak seperti yang kukira. XI IPS 4 sangat menyukai sosokku ini. Apalagi setelah mereka mendengar kejadian saat aku berdebat dengan Bu Dyah yang ternyata kisah tersebut disebarkan oleh Bu Dyah sendiri. Kelasku tertawa mendengar kisah tersebut. Aku tidak peduli dengan semua opini tentangku, aku hanya ingin mengajar. Dan aku juga tidak pernah sekalipun membenci antarsesama guru. Bahkan, dengan siswa yang dulunya menyebalkan seperti Putri. Putri berubah cukup drastis sejak aku menjadi wali kelas. Kelas terbantu karena ketua kelas tomboy ini. Padahal, aku mengira akan sama seperti dulu. Dia adalah perempuan yang kuat. Aku tahu karena aku sudah cukup lama mengenalnnya. Mungkin Putri memang tomboy. Hingga di suatu hari, aku mendapat laporan dari Bu Trisna di saat aku sedang duduk dan mengoreksi tugas. Bu Trisna berkata,
“Pak, Putri berantem sama anak kelas sebelah.”
“Hahh?!!! Sekarang lagi di BK?” aku bertanya dan Bu Trisna mengangguk kencang. Aku pun beranjak dari kursi, menuju ruang BK, dan yang kulihat adalah Putri dan seorang siswi bernama Jeni sedang duduk dengan ekspresi tidak bahagia. Ada apa lagi ini?
Aku bertanya alasan mereka berkelahi, dan Jeni menjawab,
“Putri yang mulai duluan, Pak.”
“Eh, itu mulut tolong dijaga yaa!!!” Putri murka.
“Heiii!! Berani kalian masih ngomel-ngomel di depan guru?!” aku memperingati. Bu Trisna tertawa kecil. Aku pun kembali bingung.
Sebenarnya, ada apa dengan mereka???
Akhirnya, Bu Trisna memerintahkan mereka untuk berminta maaf. Saat Jeni pergi dengan wajah jengkel, aku berbicara empat mata dengan Putri. Putri langsung berubah menjadi pendiam.
“Kamu udah lama gak ada catatan hitam tiba-tiba muncul lagi. Ada masalah apa lagi??” tanya diriku. Bu Trisna masih menahan tawa. Aku yang amat penasaran bertanya,
“Bu, emang ada apa, sih?”
“Haha, kamu tanya Putri lah. Aku geli hati dengan Putri, Pak. Hahahaha!” Bu Trisna tidak menjawab dan Putri tidak menjawab. Saat itu pun berakhir dengan hatiku yang penasaran tingkat tinggi. Putri berkata seolah-olah tidak ada masalah. Ia tidak pernah memendam sesuatu dariku. Hingga pada akhirnya semua terungkap. Saat di mana Tiara memberi tugas ke seluruh kelas XI untuk membuat surat kepada seseorang dalam Bahasa Inggris.
“Christ, lo harus baca ini!” Tiara bersemangat. Di saat itulah aku membaca sebuah surat yang ditujukan untuk ‘Mr. C’. Apa jangan-jangan ini untukku? Tertulis semua luapan isi hati seperti rasa suka denganku, tertarik denganku, dan tertulis di kertas itu aku adalah orang yang paling baik di sekolah ini. Aku kaget. Walaupun masih banyak kata yang salah, tapi maknanya sangat mudah dipahami. Alangkah terkejutnya yang menulis surat cinta ini adalah Putri. Aku bisa merasakan wajahku memerah. Panas. Tiara langsung tertawa terbahak-bahak dan mengungkit tentang Putri yang berdebat dengan Jeni karena Jeni menyebut kalau diriku sangat lemah jika dibandingkan dengan Putri yang tomboy dan galak. Karena itulah Putri murka. Padahal, itu hanya ejekkan ringan. Putri memang terlalu pemberani. Aku tidak tahu ekspresi apa yang harus aku nyalakan saat bertemu dengannya.
Suatu hari, aku pun datang ke kelasku untuk memberikan pengumuman. Semua menyimak. Hanya Putri yang menunduk. Jelas sekali pipinya memerah. Apalagi pipiku. Aku belum pernah bertemu dengan siswa seperti ini! Sudah jelas sekali Mr. C yang ia maksud di surat adalah orang yang di depannya saat ini. Aku tetap mempertahankan pola pikir batasan. Ia siswa dan aku guru. Namanya juga kagum. Pasti suatu hari Putri akan melupakanku.
Ketika waktu terus berputar, di situlah perubahan terus terjadi. Rasanya waktu berjalan begitu cepat. 1 tahun berlalu. Dan aku masih menjadi wali kelas kebanggaan IPS 4. Hingga ujian penentu kelulusan pun sudah di depan mata. Aku sungguh sangat semangat dan berharap yang terbaik untuk semua siswa yang akan segera pergi. Seperti burung merpati putih yang akan segera terbang bebas. Semuanya berjalan dengan lancar. Dan ya, hari di mana aku harus berpisah dengan kelas IPS 4 telah tiba. Bertegur sapa dan salam perpisahan tentu akan terus terjadi dan terus berputar. Foto kenangan pun telah tercetak. Memori ini tidak akan pernah terlupakan selama hidupku.
Pertama kali aku bertemu dengan mereka, suka duka yang selalu kurasakan dengan mereka, semua kenangan yang ada, bersama kulalui dengan IPS 4. Angkatan ini sangat berarti untukku. Melambaikan tangan, sungguh rasanya berat. Tetapi, untuk apa aku bersedih? Mereka semua menunjukkan kepadaku dan meyakinkan diriku kalau mereka akan baik-baik saja dan akan menjadi orang yang berguna untuk semuanya. Mereka yakin, begitulah denganku. Memori yang tercatat terus tertulis dan saat semua itu penuh, saatnya membuka lembaran halaman yang baru.
Bertahun-tahun aku mengajar dan mengabdi demi masa depan bangsa atau mungkin dunia. Aku bersyukur dan selalu menikmati apa yang dapat kuberikan. Sebongkah hasil manis sudah dapat kurasakan. Dari semua siswa yang kutemui, Putri adalah murid yang paling berkesan untukku. Semua murid di masa laluku masih memiliki kabar. Tetapi, Putri, bertahun-tahun aku berharap akan kabar darinya. Tidak peduli kabar burung atau bukan. Tetapi, tetap saja, sepertinya aku tidak bisa bertemu dengannya.
Suatu hari, saat aku mengendarai mobil untuk pergi berbelanja, aku bertemu dengan polisi yang melakukan pengecekkan SIM dan STNK. Aku baru sadar SIM beserta dompetku tertinggal di rumah. Sudah terlambat. Seorang polisi wanita datang menghampiriku.
“Maaf, saya benar-benar lupa bawa dompet. Padahal, ada SIM saya di dalamnya,” aku meminta maaf sembari masih mencari dompet di dalam mobil. Kemudian, suara lembut terdengar dari polwan ini,
“Kenapa bisa tertinggal, Mister?” suara perempuan itu tidak asing. Aku terkejut. Sangat terkejut. Tanganku langsung bergetar. Bukan takut karena ditilang. Yang mengejutkan lagi, ia memanggilku dengan sebutan Bahasa Inggris. Kepalaku langsung berputar 180 derajat. Aku langsung membuka pintu dan aku pun kembali membuka lembaran memori yang sudah lama tertutup. Segera kupindahkan kenangan lama ini di halaman baru yang lebih menyenangkan daripada halaman lama yang telah usang.
SELESAI
*Penulis adalah Duta Literasi SMA Negeri 1 Manggar tahun 2019 dan Siswa Inspiratif SMA Negeri 1 Manggar tahun 2019
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
kurang banyak part nya nih:(,soalnya seru banget!! Ditunggu cerita seru lainnya??
By Desinta