Good Morning, Mr. Christ (Bagian 2)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Beberapa kali aku mengajar kelas X di sekolah ini, aku mulai terbiasa dengan semuanya. Aku menikmati waktuku dan aku harap siswa juga merasakan rasa yang sama. Tetapi, aku rasa tidak dengan kelas X IPS 4. Belum ada satu tahun penuh, catatan buku hitam Bimbingan Pembiasaan sudah mulai terisi dengan banyaknya nama siswa yang berasal dari kelas ini. Luar biasa. Guru-guru juga sudah mulai kewalahan. Termasuk diriku.
Tidak kebayang apa jadinya jika mereka di sini sampai lulus tanpa perubahan yang signifikan. Beruntungnya sekolah ini bisa dibilang terkenal, bisa juga dibilang tidak. Aku melamar pekerjaan di bulan yang dekat dengan ujian sekolah. Tentu aku harus berjuang keras demi nilai siswa. Kelas X IPS 4 adalah kekhawatiran terbesarku. Boro-boro sukses di ujian akhir, mereka saja susah berjuang di nilai latihan. Apalagi PR. Aku yakin mereka mengerjakan tugas rumah di kelas sebelum apel sambil menyontek pada yang unggul. Bagi mereka, Bahasa Inggris adalah mapel tersulit. Inilah tantangan terbesarku yang membuatku justru terus berusaha mencari jalan keluar untuk merubah pola pikir siswa.
Suatu hari di hari aku mengadakan tes kecil, suasana kelas sangat suram seperti biasanya.
“Ok, sesuai janji kita ulangan harian, ya. Bapak harap kalian mampu mengerjakannya.”
Jika dilihat dari ekspresi, sepertinya mereka tidak mampu, bahkan tidak niat mengerjakannya. Sesuai dengan apa yang guru-guru katakan padaku. Bahkan, ketua kelas mereka tertidur. Aku pun membiarkannya. Aku ingin lihat sejauh mana dia bermimpi. Waktu habis. Saat itu juga aku langsung menilai dengan cepat. Karena aku penasaran dengan kemampuan di kelas ini.
Hasilnya sangat mengejutkan. Sungguh luar biasa! Aku sampai ingin membalikkan meja ini saat melihat hasilnya. Saat suasana hening sesaat, aku pun bersuara lantang,
“APA-APAAN INI?!!!” suaraku terlalu keras sampai-sampai Putri terbangun. Siswa yang lewat di depan kelas langsung melihatku layaknya melihat adegan sinetron.
“SEBENARNYA KALIAN INI SELALU NGAPAIN DI RUMAH?!! Anak SMP saja bisa menjawab ini semua!! MASA PALING TINGGI CUMA 54?! Paling rendah untungnya 15 bukan nol!! Putri!! Mana kertasmu?!!”
Putri panik. Ternyata, air liur bekas ia bermimpi membasahi kertasnya. Semua siswa langsung tertawa. Tidak denganku. Kelas ini sangat miris sampai-sampai aku hampir sama sekali tidak pernah bisa tersenyum lebar di kelas ini. Aku berjalan ke arah Putri sambil melihat kertas yang ternodai air liurnya.
“KAMU BELUM MENJAWAB SAMA SEKALI?!” ternyata nilai paling rendah adalah nol.
“Aku ngantuk, Pak….”
“EMANG KAMU BEGADANG APA SEMALAM?! Kamu tahu kan hari ini bakal sekolah-“ belum selesai berkicau, Putri langsung murka.
“MEMANGNYA APA HUBUNGANNYA SAMA BAPAK KALAU AKU BERGADANG?!” Putri menepuk meja sambil berdiri membentakku. Aku terdiam. Ini bukan pertama kalinya guru di sekolah ini terdiam karena ulah kelas ini. Tetapi, untuk diriku ini perdana. Mata Putri berkaca-kaca dan wajahnya sungguh merah. Suasana kelas mulai ribut dan seolah-olah menyuruh Putri berkelahi denganku.
“CUKUP!!! Putri ikut Bapak ke BK! SEKARANG JUGA!! Jika Bapak sekali lagi melihat kelas ini masih seperti ini, BAPAK BAWA SEMUA KE BK!” semua terdiam, tampak biasa saja.
Guru BK, Bu Trisna sedang ada urusan. Tetapi, aku sudah izin dengannya lewat gawai. Saat itulah, suasana sungguh suram.
“Putri, kenapa kamu itu sungguh keterlaluan?!” aku mulai terbawa amarah.
Lagi-lagi, ia memasang ekspresi seolah-olah tuli.
“PUTRI!!! Kamu itu perempuan! Kamu itu ketua kelas!! Tapi, kamu itu banyak kasusnya di kelas!! Apalagi kalian semua itu sudah SMA! Kenapa kamu gak mikir sampai ke sana, hah?! Kan kamu bilang sendiri kamu tinggal sama nenek. Apa kamu gak kasihan sama nenek kamu?!”
Putri mulai kembali membuat jengkel, “Apaan sih, Bapak? Memang apa urusannya sama Bapak?? Bapak juga bukan wali kelas kita. Bukan guru BK lagi. Ckk!”
“JUSTRU KARENA BAPAK GURU!! Bapak guru kamu sekarang. Tugas guru bukan hanya ngajar materi, Putri. Tapi, didik karakter kayak kamu supaya ngerti! Bapak begini karena memang kewajiban! Kamu harus tahu soal itu,” jelas diriku. Aku akui aku memang galak. Tetapi, yang aku lakukan ini justru untuk kebaikannya.
“Guru lain gak kayak Bapak,” Putri ngeles.
“Jangan bandingin dengan guru lain!! Justru mereka semua udah malas sama kamu karena tingkah lakumu sama kelasmu itu! Termasuk Bapak! Kita galak sama kalian karena mau kalian jadi benar. MASA IYA KALIAN GAK NYADAR, SIH?!” aku tidak dapat menahan panas hati ini.
“Kalau gitu gak usah ngajar kita! KELUARIN AJA PUTRI! KELUARIN AJA SEMUANYA DARI SEKOLAH!!! Sebel!” Putri kembali brutal tanpa mengingat isi poster 5S yang ada di teras ruang BK. Ia langsung keluar dengan ekspresi tidak senang.
“PUTRI??!!!” aku memanggilnya walaupun aku tahu dia punya penyakit pura-pura tuli. Tiba-tiba, Pak Hasan datang, “Aduh, maaf telat. Di mana Putri?”
“Keluar. Dia gak senang aku ngomongin, Pak,” kataku lesu.
“Hahh?? Ah, itu mah udah biasa. Apalagi saya omelin, pasti nanti dia makin gak senang. Duh, maaf ya, Pak Christ jadi kena imbasnya. Saya juga bingung cara ngatur kelas itu,” Pak Hasan merasa bersalah walaupun sebenarnya tidak.
“Bapak gak salah, cuma masalahnya memang dari apa yang ada di dalam kelas itu.”
“Wah, sama, Pak. Saya juga sempat mikir kalau semua siswa kelas saya harus di rukiah. Soalnya kita kan gak tahu, ya, apalagi dulu kelas itu dijadikan gudang dan-“
“Eh, bukan itu, Pak. Bapak salah paham. Maksud saya siswanya,” aku meluruskan kesalahpahaman. Kami pun tertawa kecil. Kelakuan mereka sebagian besar memang tidak bisa ditoleransi. Tidak heran Pak Hasan berpikir mereka semua kerasukan setan gentayangan yang selalu membuat guru-guru panas di hati. Aku pun mengorek informasi soal Putri karena dia yang dominan di kelas walaupun dia perempuan. Pak Hasan berkata,
“Hmmm, Putri itu seingat saya orang tuanya udah lama bercerai. Makanya dia tinggal sama neneknya. Terus dia memang tergolong siswa yang keluarganya tidak mampu,”
“Ohhh, ternyata gitu ya. Saya baru tahu. Pantesan sikapnya kayak gitu. Emang umur neneknya udah tua sekali, ya? Masih kerja, gak?” aku pun berusaha mengorek lebih dalam.
“Wahh, udah tua banget, sih. Tapi, kadang-kadang saya lihat neneknya suka jualan kue jadul gitu. Tahu kan yang kayak martabak manis, donat jadul, pokoknya kue lah!” jawab Pak Hasan dengan nada terlalu bersemangat.
Beberapa menit mengobrol soal Putri, aku pun mulai paham situasi dan kondisi anak itu. Sungguh sangat disayangkan rasanya jika melihat Putri yang sekarang ini. Tapi, yaa, aku selalu yakin kalau sesuatu terjadi karena ada sebab.
Saat bel pulang sekolah terdengar, aku pun segera pulang untuk kembali mencari solusi demi menyelamatkan nilai-nilai di kelas X IPS 4. Saat aku pulang, dari kejauhan aku melihat Putri berjalan di pinggir jalan. Aku pun berhenti di depannya tanpa berpikir ia akan memarahi atau memaki atau mengabaikanku lagi.
“Putri rumahnya di mana? Bapak antar, ya,” aku pun menawari tumpangan.
Saat itulah aku dapat melihat ekspresinya yang menunjukkan sisi lain dari dirinya.
*Bersambung
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/