Good Morning, Mr. Christ (Bagian 3)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Saat kami bertemu di dekat jalan, aku pun menawari tumpangan. Ia pun menjawab sambil malu-malu menunjuk, “Ehh, rumahku ke arah sana. Dekat Gang Jeruk II.”
“Itu masih jauh sekali. Ikut Bapak aja. Soalnya kita satu jalan.”
Putri merenung sejenak. Awalnya aku mengira ia akan menolak. Tetapi, akhirnya ia menjawab,
“Ok deh, Pak. Tapi, Bapak yakin?”
“Ya iyalah. Ayo, cepat naik!”
Putri pun akhirnya naik juga. Untuk pertama kalinya, aku berhasil membuat dia nurut pada perintahku. Dalam perjalanan dengan motorku yang berisik ini, aku dapat merasakan tubuhnya yang canggung. Begitu pula diriku. Ini baru pertama kalinya aku mengantarkan siswa pulang.
Sesampainya di rumah Putri, tampak jelas di mataku rumah yang reyot dan di topang oleh kayu-kayu yang sudah sangat rawan. Yang ada di dalam pikiranku adalah rasa tidak percaya kalau Putri dapat tinggal di tempat seperti itu bersama neneknya.
“Putri, mana nenekmu?” tanya diriku pada Putri yang sedang berjalan ke pintu kayu.
“NENEKK!!!” Putri memanggil dengan suara kerasnya yang khas. Tak lama wanita paruh baya itu keluar dengan hati-hati. Aku langsung menyapanya.
“Nek, ini saya gurunya Putri. Nama saya Pak Christ.”
“Ohh iya? Guru lama ya?” tanya nenek sambil menyuruhku duduk di dalam.
“Tidak, Nek. Sebenarnya saya guru baru. Saya cuma mau tanya-tanya sedikit soal Putri,” saat aku menjawab Putri langsung menghilang entah ke mana.
“Ohh, emang Putri kenapa? Setahu saya dia anak baik-baik,” jawab nenek yang membuatku terdiam sejenak. Sepertinya Putri tidak pernah bercerita soal dirinya. Atau mungkin neneknya yang kurang berbicara dengannya.
“Ehhh, Putri ini….. ehh, bagaimana cara jelasinnya, ya? Maaf ya, Nek. Kan orang tua Putri katanya sudah cerai? Terus setelah itu Putri….kayak gimana reaksinya? Saya hanya sedikit khawatir aja,” aku pun sadar kalau aku bukan wali kelasnya. Rasa tidak pantas muncul pada diriku setelah bertanya seperti itu.
“Baru kali ini ada guru yang tanya tentang Putri. Hahaha! Dari tadi saya kaget terus lihat Bapak. Haha! Yaa, Putri itu sebenarnya suka memendam gitu anaknya. Tapi, sebenarnya dia anak yang baik-baik aja. Dia juga sering bantu saya jualan kue. Kalau ada masalah berat, dia bisa jujur ke saya. UHUKK! UHUKKK!”
“Nenek mau saya ambilkan air??” aku panik.
“Ngak, ngak usah. Harusnya saya yang ambil air untuk Bapak,” jawab nenek sambil tersenyum lebar.
“Ohhh gak perlu. Ini saya udah mau berangkat. Makasih ya, Nek, untuk waktunya. Oh iya, Putri mana, ya?”
“Iya, iya. Putri lagi di kamarnya palingan. Makasih udah antar dia, Pak,” neneknya terus tersenyum kepadaku setiap berbicara. Aku pun membalas senyum hangat nenek Putri.
Aku tidak bisa terus bertanya tentang Putri karena aku merasa diriku tidak pantas. Apalagi neneknya yakin kalau Putri adalah anak yang baik di rumah maupun di sekolah. Tidak mungkin rasanya aku yang bukan siapa-siapa dan hanya guru barunya Putri, merusak senyum neneknya dengan keluhan soal Putri. Lagipula, dari apa yang diceritakan oleh neneknya, sepertinya memang benar apa adanya. Setelah hari itu, aku pun berusaha untuk memperhatikannya dan seluruh siswa kelas X IPS 4 hanya di saat aku mengajar di kelas.
Beberapa pekan aku mengajar di lingkungan baru ini, banyak sekali kesan dan pesan tersirat untukku demi meningkatkan prestasiku dalam berkarir sebagai guru. Salah satunya tentu adalah membuat siswa mendapatkan nilai fantastis di ujian akhir sekolah dalam pelajaran Bahasa Inggris. Aku terus bergerak dan berusaha menyeimbangkan semua materi dari guru lain sebelum diriku. Ujian sekolah tinggal hitungan jari tangan. Hampir semua kelas X membuat hatiku tenang. Tetapi, lagi-lagi, tidak dengan kelas X IPS 4. Saat aku mengajar di kelas itu, aku kembali berkicau ria, “Ujian tinggal berapa hari lagi, tapi baru segelintir siswa di kelas ini yang nilainya layak saat dikasih latihan. Sisanya nihil!!”
Hening. Hanya suara mengeluh yang terdengar. Tiba-tiba, aku mendapat ide yang dapat memacu adrenalin kelas ini, semoga.
“Baiklah. Karena hanya kelas ini yang darurat terus-terusan, besok Bapak akan beri surat untuk orang tua kalian,” aku memberi peringatan pada mereka semua.
“Hahhhhh???” semua langsung serentak terkejut.
“Udahlah, Pak. Kami tetap bakal jawab soal ujian, kok. Walaupun nanti kami bakal diam di kursi gak bisa jawab apa-apa,” kata Nita salah satu siswi. Semua tertawa dengan bangganya.
“Yaaa, karena kita emang udah bebal dari awalnya ya seterusnya, lah, kayak gitu,” Doni nyambung dan semua kembali tertawa seolah-olah segalanya hanyalah untuk main-main. Aku memang marah, tetapi jika aku membalas seperti guru-guru lain, pasti tetap sia-sia saja. Aku bukan tipe yang mudah menyerah. Aku pun membalas, “Sebenarnya kalian itu pintar semua. Hanya saja kalian belum sadar dengan apa yang ada dalam diri kalian. Bapak tetap akan kasih kalian surat. Nanti berikan ke orang tua. Jika kalian terus-terusan begini, Bapak yakin kalian akan menyesal. Kalian hanya belum berpikir sampai ke sana.”
Semua langsung terdiam dan menatapku dengan tatapan pasrah yang khas dari kelas ini. Putri pun akhirnya bertanya yang dari awal masuk tampak kalem anteng, “Surat tentang apa, Pak?”
“Intinya besok Bapak kasih. It’s a secret, ok?!” aku menjawab dengan senyum yang membuat mereka semua memasang wajah sinis. Siangnya, aku segera mencetak surat yang sudah kubuat. Tiba-tiba, guru yang juga adalah guru Bahasa Inggris, Bu Tiara bertanya, “Bikin surat apa, tuh, Pak Christ?”
“Ini. Coba Ibu baca, deh,” aku pun menunjukkan monitor laptopku. Beberapa menit setelah membaca, ia langsung memasang wajah kagum.
“Woww, you’re a diligent person! Are you sure with this?” Bu Tiara terkejut dengan apa yang kuketik di surat itu.
“Hmm, not really. Hahaha! Aku cuma mau coba-coba aja, sih.”
“Kenapa gak buka les aja untuk mereka? Jadi, kayak bagi yang mau, hayuk les sama aku. Kayak gitu gimana?”
“Menurut, lo?” aku langsung memasang wajah pesimis.
“Hahahaha! Iya juga, sih! Mana mungkin kelas kayak gitu mau ikut les,” Bu Tiara tertawa. Kita semua tahu kalau kelas X IPS 4 lah kelas dengan tingkat niat belajar yang paling ambruk dan tragis. Oleh karena itu, aku ingin berusaha menolong mereka semua. Tujuanku menjadi guru itu hanya satu, yaitu mengajar atau mendidik dengan baik demi kebaikkanku dan juga semuanya. Itu saja. Aku harap dengan yang kurencanakan ini, ekspektasiku dapat sedikit terpenuhi, semoga.
*Bersambung
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/