Good Morning, Mr. Christ (Bagian 5)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Ternyata, Ibu dari Raffy datang untuk membahas apa yang Raffy sampaikan kemarin. Bagiku Ibu ini hanya sedang mencari sensasi saja.
“Pak Christ, katanya Anda guru baru di sini kan, ya?” tanya wanita itu yang sampai detik ini aku masih belum tahu namanya.
“Iya, betul,” aku jawab pelan.
“Sebelumnya maaf menganggu ya, Pak. Tapi, saya memang harus bertanya ke Bapak,” Ibunya Raffy mulai menuju topik.
“Tentu. Ibunya Raffy ingin bertanya apa ke saya silahkan saja. Apa ini soal Raffy?” aku pun terus memasang ekspresi ramah.
“Sebenarnya Bapak tuh yakin sudah lulus segala tes PNS? Masa semua anak satu kelasnya Raffy harus ikut pelajaran tambahan Bapak setiap seminggu dua kali habis pulang sekolah?? Saya heran luh, ini kan sekolah udah ada sistem full day school. Apa masih tidak cukup?! Memang kelasnya Raffy belajar Bahasa Inggris berapa kali seminggu setiap jam KBM, hah?? Apa tidak cukup?” Ibunya Raffy mulai mengeluarkan sisi ganasnya.
“I-Ibu tenang dulu. Ada alasannya Pak Christ seperti itu pada mereka dan-“ omongan Bu Trisna langsung dipotong.
“Suami saya itu kerja di bidang dinas pendidikan, ya?! Ini supaya Bapak dan Ibu tahu aja. Saya punya hak di sini bila memang pendidikan di wilayah kita gak pernah mulus. Contohnya aja ini Pak Christ bikin peraturan melenceng seenaknya sendiri. Suratnya saja seperti memaksa. Sedangkan, kita tidak tahu apa semua orang tua setuju sepenuhnya atau tidak saja kita tidak bisa sampaikan di surat Anda!”
“Ibu benar sekali. Dan saya tidak mempermasalahkan sistem pendidikan, waktu saya untuk mengajar, atau apapun itu kendala dari luar. Tapi, yang di sini adalah seluruh siswa di kelas itu dan-“ bukan hanya Bu Trisna, kali ini omonganku juga dipatahkan.
“ANDA PIKIR DENGAN CARA MEMAKSA SEPERTI ITU MEREKA BISA PINTAR?!! Raffy saja saya lihat nilainya masih di atas rata-rata!! Jadi, Anda merasa itu belum cukup? Anda merasa mereka itu tidak pintar??!” Ibu ini langsung berdiri layaknya seorang bos yang mencaci maki budaknya. Walaupun aku memang tersulut emosi sekaligus bergetar, aku tetap berusaha mendinginkannya.
“Ibunya Raffy, jika Ibu ingin masalah ini selesai, Ibu harus ikhlas mendengarkan kami dulu, Bu. Ibu bukan anak-anak lagi, kan? Yuk, mari kita bicarakan ini layaknya orang dewasa.”
“ANDA MENJELEKKAN SAYA?!! ANDA INI GURU GADUNGAN YA?!”
“Saya masih simpan ijazah di rumah saya. Kalau perlu saya ke rumah dan mengambilnya. Jika perlu saya akan suruh kepsek ke sini untuk menjelaskan mengapa saya diizinkan mengajar jadi guru. Atau Ibu tetap ingin berbicara di sini dengan santai. Ibu tinggal pilih,” aku tetap memberikan senyuman pencitraan. Jujur aku memang sedang emosi. Tapi, tetap kita harus pintar dalam menangani masalah seperti ini.
“Anda banyak ngeyel, ya. Di sini masalahnya Anda sepertinya menuduh saya anak kecil. ANDA PIKIR ITU PANTAS?!!”
“Dengan penuh hormat, saya minta maaf. Tapi, jika Ibu tidak mau terlihat seperti itu, silahkan Ibu duduk kembali dan dengarkan saya sejenak supaya masalah Ibu clear. Atau Ibu mau langsung suruh suami Anda pecat saya karena saya memberikan alasan tidak masuk akal sebagai guru yang Ibu bilang gadungan? Padahal, saya belum menjelaskan semuanya, tapi Ibu sudah memotong. Silahkan Ibu pilih. Saya tidak masalah,” aku pun akhirnya terbawa suasana.
Suasana mendadak hening.
Bu Trisna membeku. Begitu juga diriku.
Ibunya Raffy akhirnya duduk kembali. Memilih cara damai.
“Terima kasih, Ibu. Nah, saya ingin menjelaskan kalau saya berbuat begitu karena memang kelas itu yang bermasalah. Termasuk Raffy yang selama KBM tidak mau memperhatikan. Bukan hanya saya, guru lain juga mengeluh. Bedanya, karena mapel saya memang susah bila mereka tidak bisa dan saya memang harus peduli jika siswa kesulitan, saya pun bikin solusi seperti itu. Hingga sekarang, saya bersyukur sekali ada peningkatan. Saya sebenarnya sudah peringatkan siswa kalau ada orang tua yang tidak setuju,” aku pun menjelaskan panjang lebar masalah sepele ini.
“Kenapa yang Raffy sampaikan agak berbeda dengan yang Bapak bilang? Kenapa dia bilang Bapak ngajarnya keras, hanya siswa kelas X IPS 4 yang wajib ikut pelajaran tambahan Bapak, dan lainnya? jelas Ibu Raffy.
“Dengan hormat, Bu. Guru lain ada yang lebih keras karena kelas itu susah diatur. Terus saya tidak pernah mengatakan kata-kata kasar di depan siswa, Bu. Nilai Raffy dan hampir semua siswa di situ khusus mapel saya fluktuasi, Bu. Jadi, mohon pengertian Ibu selaku orang tua. Saya curiga Ibu juga tidak tahu karakter Raffy di sekolah,” aku pun yakin kalau Raffy berniat untuk menjelekkan namaku.
Setelah pembicaraan yang cukup memakan waktu dengan Ibunya Raffy, akhirnya Ibu Raffy berhasil melawan egonya yang ingin melaporkan diriku.
“Baiklah, kalau begitu saya pamit dulu. Terima kasih ya, Bu Trisna, Pak Christ,” tanpa basa-basi panjang lebar di akhir drama ini, ia langsung pulang dengan mengenakan sepatu hak tingginya. Setelah itu, Bu Trisna langsung mengeluarkan semua luapan emosinya yang sejak awal ia tampung, “Akhirnya, selesai juga. Emosi banget saya dari awal ketemu Ibu itu! Mentang-mentang suaminya kerja di pemerintahan! Untung Bapak sabar banget sama orang tua kayak gitu.”
“Yaa, namanya juga hidup, Bu. Pasti bisa aja kita ketemu orang kayak gitu. Hehehe,” senang rasanya karena Ibu Raffy berhasil diajak kerja sama dengan baik. Setelah itu, aku langsung kembali mengajar sambil berusaha untuk tetap tenang.
Mungkin Raffy dapat dikatakan cukup baik untuk nilai-nilainya dalam hal pelajaran. Tetapi, nilai karakternya masih di bawah sekali. Setelah apa yang terjadi, sudah jelas Raffy memang sengaja membuat keluhan palsu tentang diriku. Saat aku kembali mengajar di kelas itu beberapa hari sebelum Ujian Akhir, aku pun memberitahu hasil usaha mereka selama ini,
“Baiklah, setelah Bapak lihat, ternyata kelas ini berhasil mendapat kemajuan.”
“YEEYYYY!!!! HOREEE!!!” semua langsung bersorak heboh.
“Ok, tenang dulu! Tenang dulu! Karena sebentar lagi kalian harus fokus buat mapel lain, pekan depan adalah les tambahan terakhir,” aku pun memberi kabar baik lagi.
“HOREEEE!! PULANG CEPATT!!!”
Mungkin, ini adalah yang pertama kalinya aku merasa sangat bangga di kelas X IPS 4. Tidak pernah sebelumnya mereka tampak sangat gembira di depanku. Ini sungguh usaha yang memang tidak sia-sia. Sebenarnya, mereka memang luar biasa. Hanya saja, butuh bimbingan yang lebih untuk mereka yang masih labil. Sama seperti diriku yang dulu. Saat di mana aku masih sangat labil di SMA dan tidak sengaja berdosa kepada guru kesukaanku. Semua itu adalah masa lalu. Sekarang aku tinggal menjadikan semua itu pengalaman untukku selama masih diberikan napas kehidupan.
Setelah aku mengajar dengan ceria di dalam kelas dan menuju pintu keluar, tiba-tiba ada siswa yang memanggilku, “Pak Christ!”
Aku pun terkejut setelah melihat dia adalah siswa yang berusaha menjatuhkan diriku.
*Bersambung
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/