Good Morning, Mr. Christ (Bagian 6)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Sekilas suara lantang terdengar memanggil panggilanku, “Pak Christ!” Raffy memanggil dan melangkahkan kakinya ke arahku. Beberapa hari sejak Ibunya Raffy berakting drama di depanku, Raffy tidak berbicara sedikit pun padaku.
“Raffy? Ada apa?”
“Sa-saya mau ikut pelajaran tambahan berikutnya,” ia berusaha menghindar dari kontak mata.
“Of course, you must! Bapak kan sudah bilang. Tapi, bukannya kata kamu, orang tua kamu gak setuju sama Bapak?” aku sengaja mengungkit masalah ini. Tiba-tiba, ia semakin gugup, ketahuan dari tangannya yang terus bergerak dan matanya yang terus melirik sana-sini.
“Ehhh, iya memang tidak.Tapi, tiba-tiba Ibu saya berubah pikiran, Pak. Gak tahu kenapa justru saya dipaksa gitu.”
“Ohhh, jadi langsung berubah pikiran, ya,” dalam hati aku seperti melompat-lompat sambil berteriak ‘YES! YES! YES’. Karena Ibunya Raffy pada akhirnya mau diajak untuk maju bersama. Aku kembali bertanya pada Raffy yang sejak tadi sudah seperti cacing kepanasan.
“By the way, Ibu kamu pernah datang ke sekolah untuk bicara sama Bapak di ruang BK, loh,” saat aku mengungkitnya, lirikkan matanya semakin kacau. Tidak peduli melihat apa, asal tidak melirik ke wajahku.
“Sebenarnya, kamu kan yang waktu itu suruh Ibu kamu protes? Iya kan??” aku terus menggali.
“Hmmmm, well….ummm…the fact is…I don’t know…” Raffy berusaha menghindar.
“Raffy, look at my face when I’m talking to you like this!” perintahku pada Raffy.
“Iya, Pak. I-ibu saya yang sebenarnya memang gak setuju.”
“Tapi, kenapa Ibu kamu bilang yang kamu katakan berbeda dengan yang Bapak katakan sebelumnya? Don’t lie to your own teacher. Answer it. Now!” aku tidak berniat untuk balas dendam. Aku hanya ingin ia jujur pada dirinya sendiri. Aku tahu itu sulit, apalagi untuk anak seperti Raffy.Tapi, setiap tindakan memang memiliki risiko.
“Ehhhh, yaudahlah, Pak. Gak usah dibahas lagi. Kan saya udah bilang saya mau ikut pelajaran tambahan selanjutnya. Iya saya salah. Bapak mau marah, silahkan. Cuma jangan dibikin panjang, Pak. Kan saya gak bahas yang soal ibu datang ke sekolah,” Raffy berbicara seolah-olah aku adalah tokoh antagonis yang mengintimidasi.
“Raf, Bapak di sini niatnya hanya ingin mengajar untuk kalian. Bapak gak akan marah sebenarnya. Tapi, Bapak marah karena kamu berbohong sama Ibu kamu sendiri. Membuat kasus seolah-olah Bapak kejam pada kalian. Apa itu hal yang pantas? Bapak tidak masalah kamu mau berbohong sama Bapak. Tapi, jika dengan orang selain Bapak, I totally disagree with that. Except, for the kindness.”
“Yes, yes. I know about that,” Raffy menjawab dengan jengkel. Setidaknya, aku sudah berusaha melakukan yang terbaik. Kemudian, Raffy meminta maaf padaku, “Maaf ya, Pak. Nanti saya datang, kok. Soalnya Ibu saya juga udah setuju.”
“Hahaha, ada-ada aja. Kamu gak perlu datang juga gak apa, sih,”
“Hahhh??? Maksudnya, Pak??” akhirnya matanya melirik ke mataku sambil terkejut.
“Well, your scores are improving. Bapak rasa khusus untuk kamu tidak usah. Soalnya kamu sebenarnya memang udah bagus Inggrisnya. Cuma masalahnya kamu agak malas aja. Jadi, bilang ke Ibu kamu ini memang Bapak yang ngomong kayak gitu. Supaya gak salah paham lagi. Capek tahu ngomong panjang lebar di BK,” kabar baik dariku untuknya.
“A-Are you sure, Sir? Bapak bukannya marah kan???” Raffy masih tidak yakin.
“Ya tadi kan Bapak udah bilang. Nilai kamu naik terus. Jadi, Bapak rasa kamu gak jadi beban Bapak lagi. Teman-teman sekelas aja suka nyontek sama kamu pas ada tugas latihan atau PR.”
“Hmmm, yaa, kalau begitu, thank you, Sir!” wajah Raffy langsung cerah. Anggap saja ini sebagai hadiah kecil-kecilan karena ia sudah jujur walaupun hampir menghindar. Aku tidak mau ia terus merasa jenuh saat melihatku. Sebagai guru, kita harus berusaha membuat siswa senang pada kita dan mata pelajaran yang akan kita berikan kepada mereka, bukan? Aku belajar dari guruku soal itu. Walaupun sebenarnya semua itu sangat menantang dan berat seperti mencari jarum dibalik 3 tumpukkan jerami tebal. Tetapi, aku rasa pengalaman lah yang membuat seseorang menikmati apa yang ia jalani sesuai dengan jalannya untuk tujuannya. Karena rasa menakjubkan bisa menghadapinya adalah sesuatu yang membuatku dapat bertahan.
Saat hari terakhir pelajaran tambahanku tiba, aku dibuat terkejut kembali oleh Raffy. Ia tidak pulang. Dalam hati aku mengira, mungkin ibunya tidak percaya lagi dengannya. Aku pun terpaksa bertanya, “Raffy, kamu kan boleh gak ikut kelas ini.”
“But, I still don’t understand about chapter 7,” Raffy menjawab dengan ke-inggrisannya.
“Halaahhh yes-no yes-no laahhh!” jawab Putri yang membuat semua tertawa.
Mungkin, ini adalah hal yang paling berarti untukku. Ternyata, hitam memang tidak selalu menjadi yang terburuk. Terkadang, kita memang tidak bisa menduga apa yang orang lain pikirkan tentang diri kita. Bagaimana cara mereka menilai, memuji, menghina, menuduh, atau semacamnya tentang diri kita. Tetapi, yang terpenting adalah jangan sampai hal itu menjadikan diri kita tidak mampu untuk menilai siapa diri kita yang sebenarnya. Usahaku ternyata tidak begitu sia-sia di kelas peringkat paling terakhir ini. Sebenarnya, mereka semua hanya sedikit berbeda dengan kelas lainnya. Tetapi, aku tidak peduli dengan itu semua.
Setelah penantian yang cukup memakan waktu, akhirnya Ujian Akhir Sekolah tiba di saatnya. Ini adalah ujian untuk kenaikkan kelas. Yang terpenting adalah jangan sampai ada siswa kelas X yang tidak lulus gara-gara nilai Bahasa Inggris.
Saat hari ujian mata pelajaran Bahasa Inggris tiba, aku pun sambil berkeliling melihat ekspresi siswa saat menjawab soal yang kami buat khusus untuk mereka. Ada yang santai, ada yang terlalu santai hingga frustasi, ada yang cepat sekali mengerjakannya, dan ekspresi mencurigakan ingin menyontek pun juga terlihat. Aku pun jadi teringat masa laluku saat menjadi siswa. Di mana saat ujian, atap ruangan kami ambruk seketika gara-gara air hujan deras. Aku bingung antara sedih atau senang karena kertas ujian kami basah semua. Masa lalu yang tidak terlupakan.
Beberapa hari setelah ujian, hari untuk mengoreksi hasil ujian siswa pun tiba. Adrenalinku terpacu. Aku selalu bersemangat untuk bagian menilai. Seperti pada umumnya, sekolah mengadakan Classmeeting, sambil menuju ke hari pembagian rapot. Aku pun bergerak dengan terlalu cepat. Semua kertas ujian aku periksa dalam waktu cukup satu hari. Hasilnya sangat beragam seperti pelangi. Ada yang cerah dan ada yang gelap. Terlepas dari itu, semua kelas tampak aman. Begitu aku memeriksa hasil ujian kelas X IPS 4, aku kembali dibuat terkejut bukan main. Bahkan, aku mengecek semua nilai siswa kelas itu sebanyak dua kali.
*Bersambung
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/