Good Morning, Mr. Christ (Bagian 8)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Ternyata dalam semester yang baru ini, aku harus ikhlas membagi waktuku menjadi wali kelas untuk kelas XI IPS 4. Aku pun berpikir mungkin kelasnya telah diacak. Kemudian, aku pun bertanya kepada Bu Tiara. Selama aku mengajar di sini, hanya Bu Tiara yang berani aku ajak mengobrol panjang. Mungkin karena kami berdua adalah guru Bahasa Inggris yang sepantaran.
“Bu Tiara, Ibu jadi wali kelas juga gak?” tanya aku sambil duduk di kursiku.
“Iya, nih. Kelas XII IPS 1. Elo juga?” jawab dirinya dengan ekspresi yakin kalau ini akan melelahkan.
“Iya. Saya di kelas XI IPS 4. Siswanya nanti diacak lagi atau ngak, ya?” aku bertanya lagi. Bu Tiara pun tertawa.
“Hahahaha! Memang jodoh kamu ya sama kelas itu. Ya ngak diacak, lah! Orangnya itu-itu juga. Hahaha…aduh sakit perut aku. Oh iya, kamu canggung banget kalau ngomong. Gak usah pake bahasa formal terus, lah. Kita kan masih seumuran. Gue ngerasa tua banget dipanggil ‘ibu’ terus sama elo. Panggil nama juga gak papa kali. Haha!” Bu Tiara, ehh maksudku, Tiara kembali tertawa. Yaa, aku memang terlalu suka bersikap formal. Tapi, tidak sampai 2 tahun, aku yakin diriku sudah dapat beradaptasi dengan sempurna.
Setelah tahu dan sadar kalau inilah kenyataan hidupku di semester baru ini, aku pun berjalan ke kelas XI IPS 4. Saat ini, semua kelas diperintahkan untuk kerja bakti sebentar dan wali kelas datang untuk memantau. Begitu aku datang ke kelas itu, hanya ada penampakan mereka semua yang duduk sambil ngobrol santai. Demikian pula yang berada di dalam kelas. Masih berantakan. Aku pun bersuara setelah sekian lama tidak bersuara dengan mereka anak-anak IPS 4 tercinta yang menggemaskan.
“Kalian kenapa gak kerja bakti?” tanya diriku yang membuat mereka langsung berdiri dan pura-pura menyapu tanah.
“Iya, Pak. Kami lagi nunggu wali kelas, Pak. Hihi!” Putri menjawab pertanyaanku.
Ternyata mereka belum tahu siapa wali kelas mereka. Seketika muncul akal jail untuk membuat mereka kaget.
“Yaudah, Bapak pantau kalian dulu sampai wali kelasnya datang. Kalau gak dipantau, kalian pasti ke kantin semua satu kelas,” dengan sikap naturalku, mereka tertawa.
Sambil mereka bekerja, mereka pun berbincang kecil.
“Kira-kira wali kelas kita siapa, ya? Katanya berubah guys. Jangan-jangan guru killer lagi.”
“Bu Imelda mungkin. Hahahahaha!” mereka semua tertawa. Mereka bertanya padaku kira-kira siapa wali kelas yang ikhlas menerima berada di kelas mereka. Aku pura-pura tidak tahu. Aku sangat ingin tertawa terbahak-bahak melihat tingkah laku mereka membicarakan wali kelas baru.
Saat semuanya selesai, semua siswa pun masuk ke kelas. Aku pun ikut masuk ke kelas XI IPS 4. Mereka semua langsung terkejut dan bingung.
“Bapak, kok, masih di sini? Bapak mau ngapain?” Putri mewakili kebingungan kelas. Aku langsung bersorak,
“SURPRISE!!! BAPAK WALI KELAS KALIAN!!!”
“SURPRISE JUGA!! KAMI SUDAH TAHU!!! HAHAHAHAHAHA!!!” semuanya spontan juga teriak. Ternyata, mereka sudah tahu lebih dahulu dari diriku. Senjata makan tuan. Justru aku yang kaget dan malu. Ya ampun, sekarang wajahku pasti merah sekali. Semuanya tertawa terbahak-bahak. Rupanya mereka juga sengaja menyusun rencana untuk membuatku kaget.
“Parah! Lucu banget!! Sama-sama mau kasih surprise. Hahaha!” Leo salah satu siswa gaul tertawa.
“Sama-sama bermuka natural juga lagi! Hahaha aduhh ngakak!” Doni menyambung.
“Ok-ok. Kalian menang berarti. Bapak kalah. Jadi, mulai sekarang, Bapak yang akan jadi wali kelas.”
“YESS!!! HOREEEE!!!” mereka semua bersorak kemerdekaan. Entahlah, bagian mana dari diriku yang membuat mereka menyambutku dengan gembira. Tapi, aku memang selalu berusaha mendekatkan diri dengan kelas ini. Tidak disangka aku juga akan menyukai kelas ini.
Kami pun membahas segala macam yang berhubungan dengan kepentingan kelas. Di sela-sela topik, tiba-tiba Nita yang ternyata adalah bendahara mengeluh kalau hanya kelas ini yang sangat sengsara dalam perihal uang kas kelas. Bahkan, aturan untuk membayar Rp 2.000 per bulan tidak menghilangkan sisi pelit kelas ini. Sungguh aku ingin tertawa sekaligus mengoceh. Pantas saja kelas ini selalu banyak barang rusak nan usang.
Beberapa menit kemudian, seorang guru wanita paruh baya berwajah tegas, datang ke kelas dengan membawa buku PKn. Aku belum pernah bertemu dengan guru PKn yang satu ini.
“Bapak siapa, ya? Saya belum pernah lihat,” ia bertanya pertanyaan yang sama denganku.
“Saya Pak Christ, Bu. Saya guru Bahasa Inggris baru. Baru masuk semester lalu. Saya juga belum pernah bertemu dengan Ibu,” aku tersenyum hangat.
“Ohhh, saya waktu itu cuti ada urusan di Yogyakarta. Saya Bu Dyah guru PKn. Ini sekarang jam mengajar saya kan, ya?” menurut jadwal, memang benar jam pertama kelas XI IPS 4 adalah PKn. Aku pun menjelaskan kalau aku wali kelas dari kelas ini. Lalu, Bu Dyah berkata,
“Ohh, lama banget bicaranya sama kelas ini, Pak. Kan bisa tunggu jam istirahat. Ini kan udah jam KBM,” nada pedas kembali ku dengar. Aku terdiam. Sepertinya guru berkerudung merah muda terang ini adalah guru yang berwibawa. Lengkap dengan bedaknya yang cukup tebal dan matanya pun sepertinya mengintimidasiku secara tidak langsung.
“Ohh, iya. Maaf ya, Bu. Silahkan masuk, Bu,” aku spontan meminta maaf. Seluruh siswa pun membeku sejak guru ini berdiri di depan pintu. Baguslah. Berarti guru ini memang dapat membuat seluruh siswa patuh dan disiplin, pikir diriku.
Aku pun kembali curhat ke Bu Tiara-, astaga lagi-lagi aku terlalu kaku. Maksudku, aku pun kembali curhat dengan Tiara yang sedang tidak ada jam mengajar dan sambil mengerjakan sesuatu di laptopnya.
“Tir, Bu Dyah itu guru PKn lama ya?”
“Iya, beliau waktu itu cuti pas elo masuk pertama kali. Emang kenapa?” Tiara bertanya. Aku pun curhat padanya panjang lebar. Belum selesai aku bercerita, Tiara langsung tertawa lagi. Sepertinya dia memang bahagia melihat diriku menderita.
“Hahaha, aku paham cerita kamu. Hahaha! Kamu harus tahu satu hal di sekolah ini, Christ,” Tiara mulai berdongeng. Ia menjelaskan padaku dengan nada pelan supaya tidak terdengar oleh guru lain. Dan mendengar ceritanya, aku tidak menyangka kalau bukan hanya siswa dengan siswa lain, serta siswa dengan guru yang selalu mempunyai masalah. Guru dengan sesama guru, seperti sosok Bu Dyah di mata guru lain, ternyata juga bisa seperti siswa yang terlihat labil dan selalu saja terlihat seperti anak kecil. Well, setiap orang ternyata memang punya masalah dan konflik. Dan aku hampir saja bertemu dengan konflik itu, tepatnya di pintu kelas XI IPS 4 saat jam pelajaran PKn.
*Bersambung
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 9 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-9/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/
Comment List