Good Morning, Mr. Christ (Bagian 9)
Oleh:
Bryant Hadinata
Editor:
Ares Faujian
Siang berganti malam. Dengan sigap, aku langsung membuat grup kelas di aplikasi kirim pesan dengan XI IPS 4. Walaupun mereka sudah punya grup. Aku menyimak percakapan mereka hingga muncul tulisan yang sangat janggal. Ada yang mengetik dan mengirim pesan,
Hari ini hampir semua kena cubit Nek Dyah, ya?
Tiba-tiba, pesannya langsung dihapus dan muncul kata minta maaf yang ditujukan padaku. Sepertinya beberapa siswa lupa kalau terdapat seorang guru, yaitu aku di grup itu. Jujur, aku langsung penasaran. Di benakku terlintas, mungkin hari ini Bu Dyah membuat mereka menggerutu. Sebenarnya, aku masih belum percaya dengan apa yang dikisahkan oleh Tiara tentang guru PKn dengan kacamatanya yang sangat khas itu. Mungkin saja Bu Dyah hanya salah satu guru yang tegas di antara guru tegas dan galak lainnya. Lagipula, mungkin aku juga termasuk salah satu guru yang galak dan dijauhi siswa. Semua itu bisa saja terjadi.
Beberapa hari telah berlalu dan terus berganti. Aku mulai merasa bosan untuk mengajar. Karena aku harus mengajar di kelas X seperti biasa dengan materi yang berulang-ulang. Aku harus melawan rasa jenuh supaya impianku bisa saling terlengkapi. Tak terasa, terdengar kabar menyenangkan di mana sekolah kita akan dinilai untuk perlombaan sekolah sehat terbaik. Di momentum seperti inilah aku bisa meluangkan waktu yang banyak dengan kelas XI IPS 4. Sama seperti wali kelas lainnya yang terus memantau kelas mereka setiap harinya sebelum juri perlombaan datang menilai. Awalnya aku berpikir segalanya akan berjalan lancar seperti biasanya.
Hari sebelum hari yang penting pun tiba. Semua kelas terus melakukan yang terbaik untuk kelas mereka, termasuk kelasku. Di saat kelas sedang di sapu, Putri berkata,
“Pak, tempat sampah ini gak sengaja tercampur organik sama anorganik. Soalnya sampah di laci meja banyak banget.”
“Ya udah. Ayo, semuanya cepat bersihkan kelas! Ini sampah-sampahnya mau diangkut,” aku memantau sambil ikut merapikan.
Saat itulah, aku melihat Bu Dyah memantau berjalan ke setiap kelas dengan wajah intimidasinya. Beberapa kelas diberi peringatan. Beberapa kelas aman dari ceramah Bu Dyah. Aku harap kelas XI IPS 4 sudah bersih. Tinggal sedikit lagi. Dua tempat sampah organik dan anorganik masih penuh karena para siswi belum selesai menyapu.
Aku baru tahu kalau ternyata Bu Dyah adalah guru PKn sekaligus pembina UKS sekolah ini. Ia berjalan mendekati kelas ini dan melirik ke kelas kami. Bu Dyah langsung melihat tempat sampah kami. Aku yang takut akan kesalahpahaman langsung berkata,
“Bu, ini kelasnya lagi belum selesai disa-“ aku belum selesai berbicara, Bu Dyah langsung murka.
“KENAPA INI SAMPAHNYA SAMPAI LUBER DAN NGAK DIPILAH?!!” Bu Dyah tidak mendengar kata-kataku dan langsung menuduh kelas XI IPS 4. Semua membeku menunduk kaku. Sapu, lap untuk jendela, sapu lidi, semua siswa yang bekerja langsung berhenti membeku. Bu Dyah mengangkat kedua tempat sampah dan melemparnya ke dalam kelas di mana Putri dan siswi lainnya hampir selesai menyapu lantai yang kemudian kembali ternodai oleh sampah yang bertebaran karena sengaja dilempar. Aku pun terdiam. Semua yang melihat tidak berani berkata-kata atau sekedar menjelaskan ke Bu Dyah apa yang terjadi. Muka Putri langsung memerah. Tetapi, dia tidak berani untuk melakukan seenaknya di depan Bu Dyah. Bu Dyah melanjutkan,
“Dari dulu kelas ini memang ngak pernah niat untuk disiplin! AWAS AJA kalau sekolah kita kalah hanya gara-gara kelas kalian! HARI INI AJA SUDAH KELIHATAN JELAS!” Bu Dyah berceramah tanpa peduli diriku di belakangnya. Aku tidak tahan lagi. Karena tidak ada berani yang menegur dan guru wali kelas lain hanya berpura-pura tidak melihat, aku pun menjelaskan semuanya ke Bu Dyah, “Ibu, tenang dulu. Ini mereka tuh gak sengaja mencampur. Ini harusnya sebentar lagi udah selesai, habis itu langsung mau dibuang ke tong sampah besar.”
“Bapak kan harusnya tahu sampahnya harus dipilah?! Ini hal sepele loh, Pak!! Jangan seenaknya sendiri!! Masa iya Bapak sikap jeleknya juga jadi keikut sama kayak mereka?! Wali kelas harus ngatur yang benar, Pak! Bapak kan bukan siswa lagi!” Bu Dyah menceramahiku langsung di depan murid. Rasanya harga diriku seperti diinjak-injak sampai tertutup oleh debu tanah. Habis itu Bu Dyah langsung pergi dengan wajah yang amat tidak senang. Semuanya terpaksa harus membersihkan sampah yang lagi-lagi berserakkan di dalam kelas bahkan hingga di teras kelas. Aku yakin dendam kusumat kelas XI IPS 4 tidak akan pernah hilang hingga menjelang lulus. Aku paham sekali hati mereka saat ini. Putri langsung berkata,
“Bu Dyah ini dari dulu memang dendam sama kelas kita, ya,” Putri bergumam sambil membersihkan sampah. Aku yakin Bu Dyah pernah melakukan sesuatu pada Putri hingga ia tidak berani melawan Bu Dyah. Setahuku Putri anak yang berani melawan orang dewasa. Jujur, sungguh mengejutkan. Aku berusaha mencairkan suasana.
“Bu Dyah bukan dendam sama kalian. Ini kan kesalahannya sudah terlanjur kegabung semua sampah organik sama yang bukan organik,” aku tetap berpikir positif.
“Tapi kan, ngak harus begini juga kali, Pak. Terus masa guru marah ke guru lain di depan kami?” Doni jengkel mewakili semua perasaan kelas. Aku tak menduga siswa kelas ini paham juga tentang sikap teladan guru. Aku rasa ini semua salahku. Karena jika sampahnya dibuang terlebih dahulu sebelum Bu Dyah mampir, aku rasa tidak akan terjadi kesalahpahaman seperti hari ini.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Pagi-pagi sekali aku datang melihat kondisi kelas supaya tidak terjadi suatu keributan hanya karena gara-gara kami. Saat aku merasa semuanya mantap untuk penilaian, aku pun berjalan ke ruang guru. Dan begitu aku berada di depan pintu memegang gagang pintu, terdengar suara keras perdebatan dari dalam. Aku membuka pintu perlahan, mengintip sedikit. Bu Dyah dan Bu Rina selaku guru Kimia sedang berdebat.
“Pokoknya saya gak mau tahu, ini meja harus diganti sekarang!” suara Bu Dyah melewati gendang telingaku lagi.
“Saya belum dapat kabar dari Tata Usaha, bahkan kepala sekolah. Iya saya tahu harus diganti. Tapi, kalau belum diinformasikan ke saya, ya atuh gimana, Bu?!!” Bu Rina menjelaskan rinci. Meja rapuh Bu Rina yang sangat penuh dengan segala macam barang dan buku yang berhubungan dengan Kimia diperdebatkan oleh Bu Dyah.
“Saya sudah pasang kayu penyangga di dalam sini, Bu! Masa saya harus cari mejanya sekarang sedangkan belum diberi kabar?! Ini barang saya juga penting semua harus dipindahkan satu per satu! Tapi, bersih semua! Udah saya bersihkan! Gak mungkin juri kesehatan sampai segitunya sama meja ini!” Bu Rina kembali menjelaskan.
“Kenapa sih, Ibu sesama guru tetap susah diajak kerja samanya? Mau siswa, mau guru, kenapa semuanya susah diatur tertib, ya?! Ibu debat begini tahu gak sih sebenarnya gak pantas banget untuk kita?!” semprotan pedas Bu Dyah membuat Bu Rina diam terpatung. Bu Rina hanya bisa memasang senyum palsu melirik ke mejanya. Bu Dyah masih melanjutkan, “Pak Christ juga samanya dengan Ibu. Heran saya.”
Aku yang sejak tadi menjadi saksi mulai berbicara.
“Kalau begitu saya minta maaf, Bu,” spontan aku membuat mereka melirik ke arahku dengan tatapan terkejut. Aku melanjutkan,
“Saya tahu saya salah. Saya masih muda dan pengalaman saya mengajar sangat mengecewakan. Oleh karena itu, saya sangat bersyukur dengan pendapat orang tentang saya. Tapi, Ibu tahu tidak, sebagai sesama guru, bukankah kita tetap harus menahan ego diri kita?” aku berbicara dengan serius.
“Saya rasa Pak Christ masih gak paham maksud saya. Bapak ini sebenarnya maunya apa? Mempermalukan saya, atau bagaimana? Bilang aja. Gak apa. Saya terbuka,” Bu Dyah naik pitam.
“Ibu bilang kami seperti siswa. Saya tidak masalah orang menyinggung saya. Tapi bagaimana dengan orang selain saya? Apa mereka tidak merasa tertekan? Jika Ibu mempertahankan ego seperti yang Ibu selalu lakukan, itu melebihi dari siswa. Itu namanya anak kecil, Bu! Ibu juga sudah mempermalukan saya di depan siswa kemarin. Saya tidak tahu dengan guru lainnya. Dan menurut Anda, saya tidak berhak? Anda yang memulainya. Men-judge orang lain tetap ada etika tata kramanya asal Ibu tahu,” aku yakin saat ini wajahku sangat merah.
Suasana hening. Aku yakin saat ini pasti reputasiku terancam karena Bu Dyah pasti bisa saja melaporkan ini kepada kepsek. Entah bagaimana ia akan melaporkanku jika itu terjadi. Kemudian, Bu Dyah berjalan ke arah pintu keluar di belakangku sambil berbisik,
“Buang-buang waktu saja saya berbicara di depan orang seperti ini.”
Bu Rina langsung berkata, “Biarkan saja beliau, Pak. Maklum soalnya sekolah kita termasuk unggul. Hal sepele bisa aja jadi masalah.”
“Hehe, saya tadi bukan bermaksud ikut campur, Bu. Saya rasa aman saja jika mejanya sudah dikasih penyangga. Lagipula, meja barunya sudah datang kan?” tanya diriku.
“Iya. Makanya saya bingung kenapa Bu Dyah pusingin banget. Ada-ada saja beliau, mah,” Bu Rina berbicara padaku sambil membereskan buku-buku. Kami pun menganggap pagi ini tidak terjadi.
*Bersambung (Bagian 10-Terakhir)
Bagian 1 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-1/
Bagian 2 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-2/
Bagian 3 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-3/
Bagian 4 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-4/
Bagian 5 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-5/
Bagian 6 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-6/
Bagian 7 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-7/
Bagian 8 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-8/
Bagian 10 https://belitungmuda.com/good-morning-mr-christ-bagian-10/
One Comment