Ikhtiar Ilmu ke Kampung Inggris, Pare (Bagian 1)
Oleh: Ares Faujian
Pemimpin Redaksi belitungmuda.com
Juara Nasional Guru Dedikatif dan Inovatif Kemdikbud RI
Jujur! Hari ini saya takut sekali. Bukan hari ini sebenarnya. Namun lebih tepatnya dimulai kemarin (Rabu, 16/12/2020).
Awalnya, memang ada niat untuk memperdalam ilmu bahasa ke Pare (Kab. Kediri), yang dikenal sebagai sarangnya ahli, pakar, dan metode terbaik dalam belajar bahasa Inggris di Indonesia. Niat ini muncul ke permukaan karena memang jarak yang sudah tak jauh sekali ke Pare, walaupun masih jauh juga sebenarnya (hehe). Kebetulan pada waktu itu saya sudah berada di Jakarta tanggal 13-15 Desember 2020, dalam rangka undangan dari Pusat Penguatan Karakter (Puspeka) Kemdikbud RI untuk para juara Guru Dedikatif, Inovatif dan Inspiratif tingkat nasional tahun 2020. Sehingga momen ini pun bisa sekali jalan untuk bermusafir ilmu ke Kampung Inggris, ceritanya.
Kondisi pandemi yang semakin memerah di musim penghujan di Indonesia, membuat hati dan pikiran saya berkecamuk dalam mengambil keputusan. Karena perjalanan yang saya lakukan kali ini mengandung banyak risiko. Pertama, karena situasi gejolak pandemi yang meningkat di berbagai daerah Indonesia. Kedua, saya tak tahu informasi perjalanan dan cara menuju ke Pare. Hal ini termasuk pula pilihan lembaga bimbingan belajarnya. Hmmmhhh… So complicated! Berjalan tanpa kompas.
“Nekat” menjadi modal awal perjalanan ini. Limit waktu yang semakin terbatas, termasuk usia untuk mendapatkan kesempatan beasiswa S2 mendesak keputusan bulat ini terjadi. Tiket pesawat ke Belitung yang sudah dibeli pun raib. Setir dibanting menjadi perjalanan udara ke Pulau Jawa bagian timur, Surabaya, lalu 3 jam perjalanan darat menuju Pare.
Perjalanan udara berjalan mulus. Namun ketika akan menempuh perjalanan darat, jantung berdegub kencang. Tak terbayang apa saja yang akan terjadi. Bukan hanya masalah sosial pandemi ini, namun juga masalah keamanan perjalanan. Di mana, bajing loncat, begal, perampokan, penipuan dan kejahatan lainnya menjadi imajinasi liar bak hantu dalam mimpi buruk. Mereka menjadi penghambat dalam pikiran. Menjadi ketakutan dan bisa menjadi konsekuensi negatif jika memang benar-benar terjadi. “Ya Allah… Tolong hamba-Mu ini,” begitulah ungkap dalam benak ini ketika itu.
Akhirnya, saya dijemput oleh seorang driver travel yang saya cari keberadaannya melalui google. Perjumpaan ini begitu humble. Karena ia sosok yang menyenangkan, akrab, dan tentunya dengan bahasa Jawa Surabayanya, “Iya rek!” begitu ungkapnya setiap menjawab pertanyaan saya yang berarti setuju.
Perjalanan ini seperti berbalap dengan waktu. Waktu kedatangan saya pukul 18.00 WIB (Surabaya) menjadi pemicu bahwa keberangkatan ke Pare sebaiknya jangan terlalu malam. Termasuk pikiran saya yang ‘parno’ (baca: khawatir) dengan ragam kejahatan menjadi pendukung untuk mempercepat kedatangan di Kampung Inggris.
Tak lama landed dan tetap mendokumentasikan diri di Bandara Juanda Surabaya. Mobil plat AG yang saya tumpangi segera bergegas menuju tempat yang saya inginkan, yaitu lembaga kursus dengan nama Kampung Inggris **. Lembaga ini saya bidik sebenarnya sudah dari jauh hari, walaupun masih dengan status keraguan.
Ketika tiba di Pare sekitar pukul 22.30 WIB. Ternyata layanan lembaga ini tidak 24 jam menerima siswa yang tiba-tiba datang mendadak layaknya cinta, seperti saya ini, kendatipun saya sudah memberikan konfirmasi bahwa saya akan ke sana ketika saya memutuskan ke Pare, kala di bandara Soekarno Hatta.
Yudi, sang supir yang mengantarkan saya ke Kampung Inggris merekomendasikan untuk memilih lembaga lain, yang memang pada awal perjalanan ia mencoba meracuni saya dengan lembaga pujaannya itu.
“Bagus mas tempat ini. Saya beberapa kali mengantar siswa yang ingin belajar di tempat itu. Termasuk saya pernah jemput ketika pukul 00.00 WIB, dini hari, dan mereka wanita,” begitu tukasnya.
“Dan rerata semua yang saya antar pasti ke tempat itu. Bagus mas tempatnya. Pokok’e ora nyesel deh!” tutupnya dengan bahasa Jawa.
Saya tak percaya begitu saja. Dalam perjalanan menuju Pare, saya mencoba mencari info tentang lembaga tersebut. Saya coba bandingkan dengan lembaga taksiran saya.
Secara followers, lembaga tujuan saya memang lebih banyak pengikutnya, dan itu menjadi daya tarik saya memilih Kampung Inggris ** itu. Namun sayangnya, jalan hidup berkata lain. Jam kerja mereka hanya sampai pukul 16.00 WIB. Siswa dadakan ini pun dibuatnya letih memutar otak malam itu. Ya, di tempat asing, tak kenal siapun, baru pertama kali ke sana, malam hari, dan tanpa pendamping/ teman. “Oh, god!” resahnya dalam hati.
Dan akhirnya lembaga usulan mas driver ini memenangkan hati saya. Karena di papan gantungannya tertulis “Open 25 hours” untuk waktu pendaftarannya, dan mbak yang jaga malam itu tersenyum simpul, seakan mengucapkan “welcome home mas!”.
Saya sedikit bingung dan merasa ini fatamorgana letih mata saya karena sudah memasuki tengah malam. Ya, tentang tulisan 25 jam. Setelah saya lihat kembali dan bertanya pada si mbak, “Bener mas itu tulisannya,” ucapnya sambil tersenyum ramah.
Mungkin tulisan “Open 25 hours” itu maksudnya saking ready-nya mereka dengan siswa-siswa dari luar daerah dengan keberagaman kedatangan. Sehingga mereka selalu menyiapkan pegawai di front office-nya secara bergantian. Wow, progress think! Progress step!
Sumber: Dokumentasi Ares Faujian, 2020
“Nano-nano” menjadi rasa dalam perjalanan menemukan esensi kali ini. Khawatir, takut, kesal, senang, bahagia, menjadi rasa-rasa yang tak terelakan. Terutama rasa sedih. Karena berulang tahun di tempat orang lain (asing), yang notabene sepertinya tak kan berkesan. Tanpa ucapan, tanpa wejangan, tanpa kue ultah, dan tanpa kedekatan dengan orang-orang terdekat. Termasuk pula nanti, euforia tahun baru. ;(
Tapi saya bersyukur, saya disambut dengan baik di keluarga baru ini. Dan saat diantar ke kamar (camp 7), saya satu kamar dengan pria kelahiran 2001, yang juga seorang Milanisti (fans klub AC Milan). Alhamdulillah, langsung ‘konek’ deh! Hehe. Cerita pun berlanjut bukan tentang bahasa Inggris, namun tentang sepak bola. 😀
Sekian. Mungkin ini catatan pembuka perjalanan saya di negeri orang, yang serasa pertama kali pergi kuliah dulu. Deg-degan, banget, plus gelisah.
Memang setiap perjalanan tentunya ada ihwal-ihwal yang menjadi konsekuensi. Saya berharap semoga perjuangan ini menjadi cerita indah dan kado luar biasa di suatu saat nanti di masa depan. Aamiin. Semangat!!
“Tidak ada kesuksesan tanpa pengorbanan, dan kesuksesan itu tidak ada yang gratis. Maka berusahalah!” -Ares Faujian