Ironi Seni Sejuta Pelangi
Oleh: Bahrul Ulum*
Editor: Bryant Hadinata
Berbicara pariwisata di pulau Belitung tentu tidak akan ada habisnya, jika yang kita gunakan adalah perspektif keindahan tempat maupun sapta pesona yang ada di setiap objek wisata, terlebih pulau Belitung memiliki salah satu Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) yang menjadi pusat pembangunan untuk menambah pendapatan daerah. Tak hanya itu, pulau Belitung juga baru-baru ini mendapat apresiasi dan pengakuan sebagai UNESCO Global Geopark (UGG) yang merupakan prestasi yang cukup diperhitungkan di dunia kepariwisataan.
Meski pulau Belitung memiliki warisan yang sama pentingnya, secara administratif kita tidak bisa menyatukan pulau Belitung ke dalam suatu wilayah yang setara, sebab Belitung dan Belitung Timur merupakan dua tempat yang sangat jauh berbeda di bidang pariwisata. Tentu penulis tidak ingin menguak ketimpangan yang luar biasa terlihat di antara keduanya, sebab tanpa penulis paparkan sekalipun, para pembaca tentu dapat melihat perbedaan tersebut secara jelas. Dalam bidang kepariwisataan, tentu tidak adil jika kita hanya membicarakan keindahan tempat, pelaku wisata yang mengelola wisatanya saja tanpa berbicara nilai seni, dan kebudayaan yang menjadi unsur atraksi dalam sebuah wisata.
Belitung Timur sebagai sebuah daerah yang memiliki kelemahan akses wisata berupa jarak tempuh yang sangat jauh dari bandara serta terbatasnya amenitas yang mendukung fasilitas pariwisata ternyata memiliki keunggulan atraksi wisatanya yang sangat kaya. Sebut saja seperti antu bubu dan tari sepen, belum lagi dengan adanya acara tahunan yang menjadi acara tingkat nasional, yaitu Jelajah Pesona Jalur Rempah (JPJR) yang menyajikan kreativitas serta kreasi seni dari para seniman yang ada di Kabupaten Belitung Timur.
Kekayaan dan kekuatan pada nilai budaya tersebut menjadi sebuah nilai lebih untuk pariwisata Belitung Timur dan menjadi daya tarik sendiri untuk memancing wisatawan untuk sekadar bertandang ke objek-objek wisata yang ditawarkan oleh Pemerintah Kabupaten Belitung Timur. Sebagai sarana penarik minat wisatawan serta bagian dari unsur atraksi dalam pariwisata, sayangnya kesenian di Belitung Timur harus menghadapi kepahitan yang telah mendarah daging.
Istilah “seni itu cukuplah menjadi hobi” atau “mau makan apa dari seni” nampaknya sangat terasa di Kabupaten Belitung Timur. Menyelenggarakan pementasan atau ikut berpartisipasi dalam sebuah pementasan yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun perusahaan swasta tentu bukan hanya bermodal dengkul lalu ujug-ujug datang dan menari, bernyanyi, atau bermain musik. Tentu terdapat modal-modal yang harus disiapkan di balik itu. Berapa biaya operasional setiap kali para seniman latihan menuju pementasan? Berapa harga isi kepala koreografer, komposer atau sutradara dalam merancang sebuah garapan pementasan? Berapa biaya produksi properti pentas, dan berapa biaya produksi kostum pentas serta biaya penataan rias para seniman yang akan pentas?
Tentu hal di atas merupakan perhitungan secara kualitatif, sekalipun yang dihitung adalah barang berbentuk fisik, modal kostum, properti, hingga tata rias juga tetap saja memakan biaya yang besar dan dari sedikit gambaran tersebut kita dapat membayangkan betapa besarnya biaya yang harus dikeluarkan oleh seorang seniman dalam sebuah pementasan, tidak harus pentas tunggal, partisipasi dalam sebuah pentas bersama juga akan sama modalnya. Namun, fakta yang terjadi di lapangan adalah para seniman di Belitung Timur selalu saja merugi dalam setiap kali pementasan.
Sebab hasil dari temuan penulis adalah anggaran yang dikeluarkan oleh pemerintahan dalam mengundang sanggar seni untuk mengadakan pementasan adalah Rp. 1.500.000,00 dan itu belum terhitung pemotongan pajak. Hal ini sangat berbeda dengan yang terjadi di pulau sebelah dan bahkan di kabupaten tetangga yang satu pulau. Tarif yang dikeluarkan untuk sekali pementasan berupa tarian adalah Rp. 2.500.000,00 dan penambahan Rp. 1.000.000,00 untuk setiap tambahan tarian.
Lain lagi jika pementasan yang diselenggarakan adalah pementasan drama. Tarif yang dipatok adalah Rp.10.000.000,00 untuk koreografer, komposer, dan sutradara serta Rp. 2.000.000,00 untuk setiap aktor yang berperan dalam pementasan drama. Tentu jika melihat data sekilas kita akan menyalahkan para pelaku seni yang tidak berkaca pada tetangga yang telah memasang tarif sedemikian rupa. Tapi, faktanya pemasangan tarif tersebut merupakan buah simalakama bagi para pelaku seni. Bagaimana tidak, konsumen seni untuk keperluan wisata maupun non-wisata merupakan konsumen tunggal yaitu dari pihak pemerintahan, sedangkan dari pihak swasta atau perorangan sangat jarang atau bisa disebut tidak ada.
Konsumen seni yang sangat sedikit serta jumlah kelompok seni yang terbilang banyak membuat permintaan dan ketersediaan sangat tidak sepadan. Dalam perspektif ekonomi sendiri akan sangat mewajarkan jika harga jasa seni di Belitung Timur menjadi sangat rendah, sebab sedikitnya demand terhadap jasa kesenian dihadapkan dengan banyaknya supply jasa dari para pelaku seni yang ramai. Dalam praktiknya pun para pelaku seni memang hanya bisa tunduk terhadap angka yang ditawarkan konsumen sebab pilihan yang ada dihadapan mereka hanya ada dua, yaitu menerima penawaran yang rendah atau kehilangan penawaran tersebut.
Jalan keluar dari masalah yang dialami para pelaku seni di Belitung Timur bisa disebut sederhana bisa juga disebut rumit. Sederhana karena solusinya adalah para seniman harus menyamakan suara untuk meratakan dan memantaskan tarif pada jasa seni mereka, sehingga persaingan yang terjadi bukan soal kuantitas harga melainkan kualitas sajian seni pada tiap kelompok seni. Namun, hal ini menjadi rumit karena pola pikir bahwa seni itu adalah pekerjaan yang tidak money oriented telah menjadi budaya dan mendarah daging di Belitung Timur, sehingga eksistensi dari suatu kelompok seni sangat kental di Belitung Timur.
Alhasil, untuk menyatukan suara semua kelompok seni, tembok berupa egosentris pada masing-masing kelompok seni harus runtuh terlebih dahulu. Bayangkan saja bagaimana “lestarinya” persaingan antara tiga belas sanggar seni atau kelompok seni yang bergerak di bidang kesenian tari dan musik memperebutkan satu konsumen yang menawarkan harga rendah dengan dalih kesanggupan pembayaran. Tentu bagi seniman Belitung Timur, tidak perlu pandemi untuk membunuh para pelaku seni, cukuplah konsumen dan diri mereka sendiri yang tetap begitu agar kesenian di Belitung Timur bisa mati atau paling tidak tetap menjadi “lestari”.
Sekalipun kendala yang terjadi terlihat sangat berat, tentu ada cara lain selain menentukan tarif sendiri yang tentu saja solusi ini tidak bisa dipaksakan oleh pihak manapun, kecuali harus tumbuh dari kesadaran sanggar seni atau kelompok seni itu sendiri. Jika para pelaku seni tidak dapat merayu konsumen untuk menaikkan tarif, para seniman setidaknya menyesuaikan penampilan sesuai budget yang disediakan konsumen, misalkan saja dalam penampilan dengan sepuluh orang penari dan lima orang pemusik memakan biaya Rp. 5.000.000,00, jadi jika konsumen meminta penampilan dengan anggaran yang lebih rendah, kelompok seni dapat melakukan penyesuaian berupa pengurangan personel dan menggunakan garapan yang sudah pernah disajikan atau tidak membuat sajian baru. Dengan begitu, perlakuan konsumen jasa seni yang memberikan apresiasi yang rendah dapat dibalas baik dengan memberikan sajian yang sesuai dengan bayaran.
*Penulis adalah pelaku seni di Kab. Belitung Timur
Foto: Nata Dinas Pariwisata Kab. Belitung Timur