Kakek Tua Bertopi
Oleh: Bryant Hadinata
Editor: Ares Faujian
Seperti biasa, aku duduk di kursi belakang mobil milik ayahku setiap akhir pekan untuk pergi mengurus sesuatu di kota sebelah. Butuh waktu kurang lebih satu jam dari kota kami untuk berangkat ke kota sebelah melalui jalan aspal penghubung kota.
Tepat di senja hari, saat aku melakukan ritual merenung yang selalu aku lakukan setiap berada di kursi belakang, aku melihatnya. Melihat seorang kakek tua bertopi dengan kemeja biru cyan duduk di pinggir jalan yang penuh batu kerikil hanya beralas selembar kardus usang, tanpa alas kaki. Yang terlintas dipikiranku, tidak asing.
Apa peduliku pada dunia luar, sampai pada akhirnya aku tertarik untuk melihat adalah suatu hal yang cukup membuatku merinding. Pekan depan, seperti biasanya aktivitas yang aku lakukan bersama ayahku kembali dilaksanakan. Seperti biasa aku merenung melihat ke luar kaca jendela mobil tua kami. Tidak disangka di jalan yang sama, dan di waktu yang sama, suasana jingga senja bercampur aura warna indigo yang misterius, aku kembali melihat sosok kakek tua bertopi misterius yang aku tidak sengaja lihat di pekan lalu.
Posisi duduk kakek tua itu pun juga sama seperti pekan lalu. Alasnya masih sama. Topinya masih sama. Kemejanya masih sama. Dan juga alas kakinya masih sama, yaitu tidak ada. Aku pun mulai kebingungan dan tidak disangka pikiranku akan tertarik untuk memikirkan sosok kakek tua bertopi misterius ini. Pertanyaan paling pertama, apa yang ia lakukan? Memandangi jalan aspal kecil ini? Tidak ada yang indah dari jalan ini, kurasa. Hanya jalan biasa. Dan apakah kakek itu tidak merasa ketakutan duduk di pinggir jalan? Ya, tapi kembali lagi aku merenung, itu hanya terlintas sementara di pikiranku.
Pekan demi pekan berlalu. Sama seperti biasa aku dan ayahku selalu pergi ke kota di akhir pekan untuk mengurus sesuatu. Aku sangat heran, kenapa aku tidak bosan-bosan melakukan ini setiap pekannya. Paling mengherankan adalah kakek tua bertopi itu selalu ada di pinggir jalan yang sama, di saat yang sama, dan di hari yang sama saat kami melewati jalan ini. Sebenarnya apa yang ia pandangi di jalan ini masih menjadi pertanyaan tanpa jawaban. Tidak ada yang spesial di sekitar sini. Yang ada hanyalah debu aspal dan pasir.
Tepat di belakang kakek tua itu dari balik semak belukar, terdapat rumah kayu kecil. Aku yakin itu rumahnya. Kenapa ia tidak duduk dari rumahnya saja sambil memandangi jalan? Inti yang kudapatkan setiap pekannya adalah pasti banyak pertanyaan yang terus bermunculan di pikiranku setiap kali aku melihat kakek tua bertopi unik nan misterius ini. Entah kenapa aku tertarik untuk memikirkannya. Mungkin karena aku tidak pernah terlalu memerhatikan orang sebelumnya sampai serinci itu.
Tahun demi tahun telah aku lalui. Setiap pengalaman buruk dan baik telah kutemui. Walaupun lebih banyak hal buruk daripada baiknya. Aku kembali melanjutkan apa yang selalu ayahku lakukan setiap akhir pekannya. Kini, kakek tua bertopi yang selalu aku lihat di pinggir jalan ini sudah menghilang entah ke mana. Aku menganggap kakek tua itu mungkin sudah tidak mau melakukan kebiasaannya lagi, walaupun aku tahu sebenarnya kenyataan hidup yang umum kita tahu pasti terjadi.
Malam hari saat aku ingin kembali ke kotaku, aku berinisiatif dengan alaminya untuk berhenti sejenak di rumah kayu kecil yang aku yakin milik kakek tua bertopi yang selalu aku lihat di pinggir jalan ini. Aku berjalan perlahan setelah keluar dari mobil tua milik ayahku. Rumah ini hanya memiliki satu pintu. Satu lampu. Kayunya usang. Sekelilingnya semak belukar dan pohon-pohon yang tinggi alias hutan. Tidak ada tetangga sama sekali. Apa iya hanya hewan hutan yang menjadi tetangga rumah ini?
Tepat saat aku berdiri di depan pintu, tangan kananku langsung merinding membuatku jadi berpikir untuk apa aku ke sini di malam hari begini? Aku pun mengabaikan segalanya dan mengetuk pintu tersebut. Ketukan ku bunyikan tiga sampai lima kali. Tak ada jawaban. Saat aku memainkan gagang pintu itu, ternyata tidak terkunci. Aku memberanikan diriku untuk membukanya. Bunyi engsel pintu berkarat. Aku melihat dari balik kegelepan rumah kecil sunyi ini.
Aku melihat kakek tua bertopi yang selalu aku lihat saat aku masih kecil. Aku melihatnya. Dengan mata kepalaku sendiri secara langsung. Ia duduk seorang diri. Aku pun hadir di sini seorang diri. Aku pun bertanya kepadanya,
“Mengapa? Mengapa aku masih di sini?” aku bertanya kepadanya yang seharusnya pertanyaanku ditujukan untuknya.
Kakek tua itu menjawab,
“Ah, sudah lama sekali. Akhirnya, aku melihatmu. Apa kabar diriku?”
Seketika, aku merasa hidup ini sebenarnya sangat aneh. Terutama dengan fakta kehidupan yang pasti akan terjadi pada manusia.
Aku pun memutuskan untuk ‘tidak pulang’ atas jawaban yang telah kudapatkan selama ini dalam hidupku.
TAMAT