Kana
Oleh: Valencia Rasya Dinata
Siswa SMPN 1 Manggar
Editor: Ares Faujian
Tuhan Maha Baik, tapi juga jahat. Kenapa? Karena Tuhan memberikanku kehidupan yang rumit, kehidupan yang sungguh sial tapi juga indah.
Aku Kana, seorang biasa yang berasal dari keluarga yang hancur berantakan. Ayahku seorang lelaki yang kasar, ia kerap kali berhutang untuk bermain judi, ibuku yang sudah muak tinggal bersama ayahku, memutuskan untuk berpisah dan meninggalkan anak semata wayangnya.
Usiaku 19 tahun, saat ini berjuang sendiri untuk berkuliah. Namun sialnya, ayahku yang melihat bahwa aku sudah bekerja malah memanfaatkanku, ia sering memukulku jika aku tidak memberikan uang kepadanya. Aku hanya bekerja di sebuah supermarket, penghasilanku tak seberapa. Kadang aku menyisihkan sebagian uang secara diam-diam agar tidak ketahuan ayahku.
Bukan hanya itu saja, saat sekolah, aku bahkan dirundung karena keluargaku hidup melarat. Sungguh menyedihkan, keluarga yang hancur dan pertemanan yang hancur, bahkan tidak bisa lanjut kuliah. Lantas kapan aku bahagia?
Ternyata Tuhan mengirimkan seorang malaikat, namanya Gibran. Ia tetangga Kana yang beberapa bulan lalu pindah.
Kala itu, Kana habis dipukuli ayahnya karena cekcok tentang uang. Kana duduk di sebuah taman. Saat itu, taman terlihat sepi, hanya ada Kana, pepohonan yang turut meneduhkannya, dan juga burung-burung yang bernyanyi. Taman tempat favorit Kana untuk menyendiri, jarang ada orang yang tau taman tersebut dikarenakan itu adalah taman yang terpencil.
“Langitnya indah ya!”
Kana kaget karena seseorang berbisik di telinganya.
“Siapa kau?” tanya Kana.
“Aku Gibran, kalo kamu?” jawab lelaki aneh yang tiba-tiba muncul tersebut.
Kana tidak menjawab pertanyaan tersebut dan langsung pergi meninggalkan Gibran. Gibran heran dengan sikap Kana yang tiba-tiba pergi tanpa menjawab pertanyaan darinya.
Kana tidak pulang ke rumah, karena Kana malas bertemu dengan lelaki bajingan yang ada di rumahnya. Kana hanya berjalan tanpa arah dan hanya menunggu sif kerjanya.
Malam tiba, ia langsung ke supermarket dan bekerja.
Tidak terasa sifnya sudah selesai. Kana pulang kerumah, pikirannya kosong begitu pula dengan pandangannya.
“Minta uang, 1 juta aja.” lelaki tua berdiri dihadapannya, rambutnya kusut, jalannya sempoyongan, matanya jelalatan tak tentu arah.
“Kali ini buat apa? Judi? atau minum minum lagi?”
Kana tidak memberi ia uang, Kana langsung menepis tangannya dan berjalan masuk ke rumah.
Sebuah tangan mendarat di pipi kanan Kana. Air mata lolos dari mata Kana, hatinya hancur, pikirannya seakan berlari entah ke mana.
Kana langsung berlari keluar rumah. Ia duduk di tempat rahasianya, taman. Ia menangis sekencang mungkin, ternyata ada Gibran yang juga ada di taman tersebut.
“Kenapa? Cerita dong!” Gibran menenangkan Kana.
Lama kelamaan, Kana mulai nyaman bercerita ke Gibran. Bagi Kana, Gibran seperti seorang pelukis yang memberi warna di kanvas Kana. Tidak banyak yang berubah, ayahnya masih sama, hanya saja kehadiran Gibran seperti mengubah dunia Kana.
“Tuhan begitu baik.” itulah kata Kana saat itu.
Kana dan Gibran sangat dekat. Gibran sangat perhatian kepada Kana. Gibran selalu ada di setiap Kana terpuruk.
Gibran menjadi tempat Kana bercerita. Bahkan, bagi Kana Gibran adalah rumah. Rumah yang tidak pernah ia dapatkan selama ini. Rumah yang menjadi tempat peristirahatannya. Itulah sosok Gibran bagi Kana.
Kana sangat bersyukur kepada Tuhan, baru kali itu ia bersyukur diberi nyawa. Ia berharap Gibran tidak pergi meninggalkannya seperti kebanyakan orang yang pernah ditemuinya.
Berkat kerja keras Kana, akhirnya ia bisa mendaftar kuliah. Itu juga berkat Gibran, karena Gibran menyemangati Kana, Gibran juga membantu Kana. Banyak yang dilakukan Gibran untuk Kana, wajar saja jika Kana merasa Gibran adalah dunianya.
“Kana, nama yang indah.” ucap Gibran.
Kana tersenyum. Sepertinya Kana sudah mengetahui apa maksud dari ucapan ini.
Gibran sering mengajak Kana ke tempat yang belum pernah Kana kunjungi, seperti pasar malam, taman safari, dan tempat-tempat lainnya. Hal itu membawa kebahagiaan bagi Kana, tetapi tidak dengan ayahnya.
Semenjak Kana bersahabat dengan Gibran, Kana sudah berani membantah ayahnya saat ayahnya meminta uang. Ayahnya sungguh marah, emosinya meluap-luap, ia tak tahan diperlakukan seperti itu.
Dahulu Kana sangat menurut padanya, Kana tak pernah membantah saat ayahnya meminta uang. Kana bahkan berani mencemooh ayahnya sendiri. Lelaki itu mempunyai cara agar Kana kembali padanya, ia melalukan dosa besar.
Di satu malam, lelaki itu mendapati Kana sedang tidur di kamarnya sendiri. Ia tersenyum licik, lalu…
Kana marah, Kana tak menyangka ayahnya sebajingan itu.
Ia menangis sejadi-jadinya. Tidak tahu harus berbuat apa. Ia hanya punya Gibran seorang. Sementara itu, Kana masih belum bisa lepas dari sosok yang disebut ayah.
Kana sudah kacau, kini keluarganya hanya Gibran seorang. Naas rumah kedua Kana juga mengusir jauh Kana. Ya, Gibran. Sosok yang Kana sebut sebagai rumah telah pergi.
“Selesai!” ucap Kana.
Jangan berharap kepada manusia, sebab ia tak lebih dari hembusan napas.
-Selesai-
Ilustrasi: Geotimes
Nyesek membacanya semoga hanya sebuah cerita dan tidak ada dalam alam nyata.
Semangat menulis kakak teruslah berkarya By Laili