Ketangin Nostalgia
Oleh:
Bossfish S.
Editor:
Ares Faujian
Beberapa waktu lalu. Penulis melewati Gang Kim Ting di pagi hari yang cerah dan melihat salah satu gapura yang terletak di kawasan pasar yang “old school” banget, yaitu berwujud akulturasi antara budaya Cina dan Melayu. Tetapi di pagi yg indah itu, tiba-tiba tatapan penulis berhenti ketika melihat Ibu-ibu usia 50 tahunan naik ketangin (sepeda) ontel Phoenix yang sangat legendaris itu. Langsung saja ingatan penulis tertuju pada kenangan masa kecil kala sepeda jengki menjadi alat transportasi wajib bagi setiap keluarga melayu saat itu.
Ya, penulis menyebutnya Phoenix (karena mereknya), bisa dibilang itu salah satu kendaraan wajib (mungkin mewah) yang hampir ada di setiap rumah masyarakat Belitung di era 80an dan 90an. Pada saat itu, satu keluarga mungkin hanya memiliki satu buah motor, atau bahkan belum punya sama sekali. Oleh karena itu, sepeda menjadi kendaraan wajib bagi setiap rumah di Pulau Belitung.
Tahun 90an waktu penulis masih kecil, hampir setiap hari disuguhi pemandangan anak kecil/balita berumur 2-4 tahun dibonceng orang tuanya sambil duduk di kursi “dudukan besi” yang terletak di stang sepeda jengki tersebut. Di mana ada yang tertawa riang, dan ada juga yang menangis kencang. Hemm… penulis tak tahu mengapa ia menagis. Mungkin karena tidak dibelikan sengkelat (permen) karet oleh Ibunya karena usianya belum 5 tahun.
Sungguh pemandangan tersebut sangat langka untuk ditemui di era milenial ini. Akan tetapi penulis pernah melihat seorang kakek membonceng cucunya didudukan stang sepeda baru-baru ini di seputaran Tanjungpendam. So sweet, sungguh pemandangan yang jarang ditemui sekarang.
Oh iya, apakah kalian ingat, dulu anak kecil usia TK atau SD selalu duduk di belakang sepeda dengan kaki yang diikat pada frame sepeda di bawah jok? Hal ini dilakukan agar kaki si anak tidak masuk kedalam “ijar” jeruji yang bisa menyebabkan korban teriak histeris mengalahkan lengkingan Axl Rose saat menyanyikan lirik “Sweet child o’mine“. Ya, karena penulis sudah pernah merasakannya, semoga tidak denganmu. Sakit, sakit sekali.
Indahnya masa-masa itu, udara bersih, tanpa kemacetan dan bebas polusi. Tapi, sekarang penulis sangat jarang melihat sepeda jengki Phoenix mengaspal, tergantikan kendaraan bermesin beroda dua dan roda empat yang sangat modern. Di mana, cukup dengan starter, tidak membuat berkeringat dan kendaraan langsung melaju kencang.
Sekarang ketangin Phoenix tidak lagi dipajang di depan rumah. Tapi di sisi rumah paling belakang dengan kondisi seperti korban mutilasi seorang psikopat, berkarat, usang, kotor, tanpa roda dan sadel, tak terawat. Mengenaskan.
Tidak ada yang harus disalahkan, itulah kehidupan. Dunia sangat dinamis dan cepat berubah. Siapa yang tertinggal akan tergilas oleh zaman. Globalisasi.
Saat ini dunia telah mencapai puncak peradabannya. Revolusi industri 4.0 istilahnya. Namun, rumah kami masih menyimpan ketangin Phoenix untuk mengenang masa-masa itu, lengkap dengan dudukan anak kecilnya. Karena bagi penulis, suara “kring-kring” sepeda ini lebih mewah dari pada klakson mobil dan kendaraan lainnya saat ini.
Mikak isak ke agik kecik digandeng belau tue di stang depan pake sepida atau didudokan belakang? Kalau isak kuanglah cerite sekalian kite nostalgia kenangan barik e.
Salam nostalgia.
Kelupaan..tp kakik duluk rjn masokek biak kecik dlm ambong
By Ilfa