Ketemu (Bagian 1)
Oleh: Zuleyka Dwi Shafareta
Siswa SMPN 1 Manggar
Editor: Ares Faujian
“Ada yang hilang!”
Ini bukan kali pertama berita orang hilang disiarkan. Sudah banyak kejadian yang menimpa masyarakat di desa itu. Anehnya, hal ini selalu saja berkaitan dengan wilayah hutan itu, yang ada di balik bukit. Desas-desus mengenai keberadaan sesosok entitas tak dikenal, makhluk entah dari mana, datang dan menguasai hampir seluruh bagian hutan. Dan sekarang, seorang anak hilang lagi, katanya.
Memang kebanyakan korban merupakan bocah-bocah yang masih di bawah umur. Tidak ada yang tahu apa alasannya. Mereka berasumsi bahwa mungkin karena anak-anak lebih mudah untuk dihasut. Kepolosan, kenaifan, dan kelemahan fisik mereka sangat mudah untuk diguna-guna.
Rumor pun semakin menyebar, seperti spora. Hingga tangisan pilu terdengar dari sisi lain desa. Nampaknya kabar itu telah sampai ke telinga wali sang anak.
“Sebenarnya apa yang terjadi?!” Seorang pria paruh baya bertanya dengan intonasi tinggi.
“Tidakkah kau mengerti? Anakmu baru saja memasuki hutan terkutuk itu, menurutmu apa yang bisa kita lakukan? Menyusul ke sana untuk menjemputnya? Sama saja bunuh diri!”
Suasana entah bagaimana malah memanas. Pihak keluarga awalnya terlihat setengah tak percaya, namun setelah mendapat kepastian dari beberapa saksi, mereka berangsur-angsur percaya. Tapi itu bukan berarti mereka bisa bernapas lega. Anak mereka satu-satunya dalam bahaya. Gadis kecil berumur tujuh tahun.
Menurut para saksi, gadis itu terakhir kali terlihat ketika ia tengah bermain dengan teman-temannya di lapangan berumput tak jauh dari hutan. Anak-anak lain yang sebaya juga memberi sejumlah keterangan kepada yang lebih tua. Rupanya, sesaat sebelum dinyatakan hilang, siang itu si gadis memainkan permainan petak umpet bersama mereka. Salah satu anak—Riko, namanya—kebagian jaga. Sementara yang lain bersembunyi.
“A-aku sungguh tidak tahu! Selesai menghitung, aku mulai mencari.” ujar Riko. “Lalu, setelah beberapa saat, aku telah menemukan semuanya… kecuali Ollie.”
Ollie adalah nama gadis kecil itu. Riko juga mengatakan ia tidak bisa menemukannya di mana pun. Dia merasa temannya itu seakan tiba-tiba menghilang ditelan bumi.
Orang-orang yang mendengarnya terdiam. Antara terkejut dan biasa saja. Ada yang berempati. Apalagi melihat kondisi orang tua Ollie yang memprihatinkan. Mereka sangat terpukul akan kejadian ini.
Bisik-bisik kemudian menyelimuti kerumunan. Saling mengutarakan pendapat, beberapa bahkan mengeluarkan ironi memuakkan. Mereka bilang anak gadis yang masih kecil seharusnya diam saja di rumah, jangan kemana-mana. Dan sebagai orang tua mestinya menjaga anak semata wayang mereka. Supaya tak raib diculik alien.
“Dia baik-baik saja.” kali ini ibu Ollie yang menyahut. Setelah cukup lama menangis sejak mendengar kabar pertama.
“Pasti.” tegasnya.
“Bagaimana?” seseorang dari khalayak memotong.
“Apa yang membuatmu yakin bahwa malaikat kecilmu berhasil bertahan? Ataukah kau sempat memberinya saran-saran agar terlepas dari kekangan orang jahat? Sayang sekali, yang kita hadapi ini bahkan mungkin tidak bisa di anggap manusia.”
“Dia tidak pernah memasuki hutan terlarang itu. Aku sangat yakin karena aku tak pernah luput memberitahunya betapa besar risikonya jika ia masuk ke sana.” Ibu Ollie pantang mundur.
Tetapi, setegar apapun wajah yang ia berusaha tampakkan, luka itu tak lama lagi akan menganga.
“Kalau begitu mana dia? Bila ia memang tidak pernah ke hutan itu, seharusnya ia sudah kembali dari tadi.”
Anggukan serta gumaman setuju dipaparkan ke sekeliling. Sebagian mempertimbangkan hipotesis tersebut.
Namun sang ibu tetap bersikeras. Ia sekali lagi terlihat ingin mengeluarkan air mata, pelupuk matanya sembab kemerahan. Ketika berdiri seperti ini pun, orang-orang nyaris mengira ia akan jatuh tiba-tiba, kemudian tak sadarkan diri.
Tekadnya sangatlah besar, demi putri satu-satunya. Tidak ada yang berani menyangkal, lagi pula, mereka dihadapkan pada sesosok ibu yang mengkhawatirkan anaknya. Itu sesuatu yang wajar. Membayangkan bagaimana seandainya mereka berada di situasi yang sama, kehilangan orang yang dicintai?
Pria paruh baya sebelumnya, ayah Ollie, mengajukan diri lebih dulu.
“Pokoknya, apa pun yang terjadi pada putri kami, biarlah itu diserahkan kepada takdir. Untuk kemungkinan lainnya..” ia menjeda perkataannya.
Di sini, ekspresinya tidak terbaca. Tidak ada yang mengetahui apa sebenarnya yang ia rasakan saat ini. Sebagai salah satu orang tua Ollie, sebagai ayah, ia tentunya turut merasa kehilangan yang amat sangat. Meskipun, status keberadaan Ollie sekarang mulai agak meragukan sebab pandangan pribadi sang istri.
Eksistensi dari sesuatu yang menusuk-nusuk ulu hatinya tak bisa ia hiraukan begitu saja. Ia sengaja memasang sikap tenang guna menghalau segala pemikiran buruk.
“Kita harus mencarinya.” potong sang istri.
Ibu dari Ollie itu jelas masih belum ingin mengalah dari pendiriannya.
Bisik-bisik tetangga terdengar lagi. Sekarang mulai intens. Orang-orang semakin memikirkan apa yang sebaiknya dilakukan. Pastinya, jika terlalu lama dibiarkan, maka dipastikan keselamatan Ollie tak terjamin.
Mereka berunding untuk mengambil tindakan selanjutnya. Akhirnya, keputusan disepakati. Seluruh warga akan membantu mencari Ollie dengan berpencar ke sekeliling wilayah desa. Jika dalam rentang waktu
pencarian tidak membuahkan hasil, maka mau tidak mau, terima tak terima, semua sudah terjadi. Ollie telah masuk jauh ke dalam hutan nan gelap, menunggu untuk diselamatkan, namun tentu sia-sia. Tidak ada yang namanya pahlawan sejati, apalagi di perkampungan terpencil seperti ini.
Ibu Ollie memasang raut puas. Ia amat berharap lebih, terlalu berlebihan, hingga rasanya tidak ada yang tega memberitahunya kemungkinan terburuk yang akan terjadi pada putri kesayangannya.
“Baiklah, akan lebih baik bila kita bergerak sekarang, demi meminimalisir yang terburuk. Ayo, berpencar!”
Ayah Ollie resmi memulai pencarian. Orang-orang pun bubar, memecah ke setiap arah sudut perkampungan mereka yang tidak terlalu luas, namun tidak pula bisa dikatakan sempit. Mereka membagi tugas berdasarkan arah mata angin. Sebagian warga menuju utara, sebagian lagi ke timur, lalu barat, dan sisanya ke selatan. Ke perbatasan antara desa mereka, dan hutan.
Matahari telah sampai di ufuk barat, langit berganti warna, pemandangan biasan cahaya jingga keemasan itu sebenarnya sangat indah kalau kondisinya berbeda. Namun, dengan gambaran muka masam, lelah, dan frustrasi saling bercampur aduk. Tidak satupun yang sudi menengadahkan kepala ke arah langit.
Menikmati betapa indahnya fenomena matahari tenggelam sore itu. Pencarian itu tak dapat dikatakan sukses. Gagal pun nyatanya tidak.
Mereka sudah menduga ini sedari awal. Mereka hanya membuang-buang waktu. Sementara, di sisi lain. Sepasang suami istri berdiri di atas bukit, memandang langit. Mereka tak mampu menerima, tapi dugaan memang tak bisa dibantah. Di hadapan mereka, hamparan luas pepohonan membentang dari sudut ke
sudut, dibayang-bayangi oleh matahari yang tak lama lagi menghilang di telan kegelapan ruang hutan rimba dan segala isinya. Siap digantikan sang rembulan.
***
Seorang gadis kecil berlari melewati hutan belantara yang gelap gulita. Berusaha menjauh dari sesuatu yang saat ini tengah mengikutinya. Lewat jam dua belas malam ketika gadis itu mulai menyadari bahwa sejak tadi ia hanya memutar dan kembali ke tempat ia semula berada.
-Bersambung-
Ilustrasi: Dok. Kantor SAR Bandung