Kulup Pencuri Buku
Oleh: Ridwan Ilmi
Siswa SMA Muhammadiyah Tanjungpandan
Pagi hari mentari memberikan sinarnya. Awan-awan kecil terlihat menyapu atap rumah. Di antara rumah itu, tampak anak kecil yang sibuk sekali. Matanya tajam, tangannya juga mungil dan tak beralas kaki, sedang mencicipi seragamnya. Rapi sekali. Kesibukan itu terlihat seperti anak sekolahan.
Tas di pundak turut dipakai, hanya saja terlihat berbeda. Di pundak anak kecil itu terbaring karung yang cukup besar. Tampak pamitan kepada Ibunya, hendak pergi mencari barang bekas. Sebagai anak pertama dari dua bersaudara, ia harus membantu orang tuanya. Kulup mempunyai keluarga yang berkecukupan. Ia juga mempunyai adik berumur empat tahun yang nantinya harus bersekolah.
Ayah terlebih dahulu pergi bekerja sebagai kuli bangunan. Emaknya mungkin melipat pakaian milik tetangga sebelah.
“Mak, Kulup pergi dulu ya.” ucap kulup sambil menggendong karung.
“Iya Kulup anak umak, semoga rezeki Kulup banyak ya.” Setelah berpamitan ia pun pergi.
Dalam perjalanan, tempat pertama ditemui ialah sekolah. Bukan mencari barang bekas. Ia hanya sekadar untuk melihat mereka yang pergi belajar. Saat melewati salah satu gerbang sekolah, dia menundukkan kepala. Sesekali air matanya keluar. Anak-anak yang bersekolah melihat kulup.
“Hei kalian tau, sepertinya anak itu sudah tak sekolah.” bisik seorang anak.
“Iya, kasihan sekali dia.” balas anak satunya.
Kulup tidak iri, hanya saja melihat mereka bersekolah mengingat akan mencoloknya perbedaan atas dirinya. Sesudah kejadian itu, Kulup lanjut mencari barang bekas. Di persimpangan jalan, bertemu Bapak penjual buku keliling dengan gerobak. Panggil saja Pak Amir. Ia berniat membeli buku itu, tetapi uang yang ada di saku kanannya tidak cukup membeli walau hanya satu buku.
Ia sangat membutuhkan media literasi sebagai pengganti agar ia tetap belajar. Kulup termenung, sontak ia kaget ketika Pak Amir mendatangi dan menepuk pundaknya.
“Kulup, kamu kenapa? Mau beli buku?
“Ti…ti..dak Pak” jawab kulup terbata-bata.
“Sepertinya kamu menginginkan salah satu buku itu ya?” tanya Pak Amir heran.
“Iya pak, tapi barang bekasku ini masih sedikit, kalau saja sudah banyak ku jual barang bekas ini untuk membeli buku Bapak.” jawab Kulup dengan lesuh.
Pak Amir melihat isi karung Kulup. Ternyata barang bekasnya sedikit sekali. Cuaca masih pagi.
“Ini ambil buku untukmu, silahkan belajar dengan baik ya.” Pak Amir memberi satu buku gratis pada Kulup.
“Apakah boleh pak?”
Pak Amir mengangguk dan Kulup langsung berterima kasih dengan wajah gembira.
Kulup pun semakin bersemangat mencari barang bekas. Ia terus bertanya ke orang-orang apakah ada barang bekas untuknya.
Setelah pesimpangan tadi, Kulup berbelok arah ke kiri. Di sanalah tiba-tiba Kulup bertemu dengan Iwan yang juga seorang pencari barang bekas. Kulup menceritakan kebaikan hati Pak Amir penjual buku kepada Iwan. Tapi Iwan yang tak begitu peduli dengan pendidikan tidak merespon apa yang diucapkan Kulup. Iwan beranggapan bahwa sekolah tidak penting baginya.
“Ha… dikasih satu buku gratis? Lebih baik kamu buang itu buku, Tidak berguna!” ungkapnya lantang.
“Wan, kamu kenapa begini, emangnya kamu tidak mau belajar?” tanya Kulup kebingungan.
“Tidak!” Jawab Iwan yang langsung pergi meninggalkan Kulup.
Kulup tau sifat kawannya tidak seperti itu. Ia akan berusaha agar Iwan mau menuntut ilmu. Kulup melanjutkan pencarian barang bekas. Hingga sampai sore hari, karungnya sudah kenyang dengan botol, kardus, dan lainnya. Syukurlah ini barang harus segera dijual, pikir si Kulup, pasti Umak sudah menunggu di rumah.
Setelah menjual barang bekasnya. Kulup segera pulang, karena mentari semakin menghilang. Sesampainya di rumah, dengan sombong ia memperlihatkan saku yang penuh dengan uang dan buku di dalam tangannya pada Emak.
“Syukurlah, Kulup tabung uangnya ya, itu buku Kulup dapat dari mana?”
“Dikasih sama penjual buku di simpang jalan tadi Mak.”
“Sudah ucapkan terimakasih? Tanya Emak heran.
“Sudah Mak”.
Ia pun segera berkemas dan beribadah. Setelah itu Kulup membaca buku. Ditaruhnya satu lentera disamping buku sebagai penerang. Untung saja dia sudah bisa membaca sebelum ia berhenti sekolah.
Lembaran buku dibuka. Ia kaget ternyata buku itu mengisahkan perjuangan orang sukses. Seru sekali dibaca. Ia juga ingin sukses dan nanti dirinya turut mengisahkan butir cerita sukses pada buku itu. Mimpi terus terukir dalam pikirannya.
Keesokan hari, Kulup tidak mencari barang bekas. Pagi ini ia ingin menemui Pak Amir, hendak membeli buku. Sesampainya di tempat Pak Amir, suasananya masih sepi. Pak Amir juga pergi entah ke mana. Hanya terlihat gerobak buku dan satu kardus di sebelahnya. Kulup mencari Pak Amir tapi tetap tak ada. Mungkin Pak Amir pulang ke rumahnya sebentar, pikir Kulup, tapi kardus ini kenapa di sini.
Kulup memeriksa kardus layaknya detektif. Ternyata kardus itu berisi buku. Banyak sekali. Dengan polosnya, Kulup langsung membawa pulang kardus itu, karena ia pikir Pak Amir membuangnya. Sangat berat sampai tangannya gemetar.
Tanpa ia sadari sebenarnya ia bukan mencari barang bekas tapi beralih profesi menjadi pencuri buku terhebat.
Di perjalanan hendak pulang, ia bertemu kembali dengan Iwan, kali ini Iwan yang menyapa.
“Heyy, em… mana karungmu, itu apa yang kau bawa?” tanya Iwan merasa canggung.
“Ini buku dari Pak Amir, pasti ini sudah dibuang jadi aku ambil saja.” jawab Kulup dengan senyumnya.
“Ohh, Kulup aku mau minta maaf soal kemarin, aku tak suka dengan buku, jadi aku marah.” Iwan merasa bersalah. Ia langsung minta maaf.
Kulup tau sebenarnya Iwan adalah sahabat terbaik.
“Aku maafin kok wan, tapi ada syaratnya kamu harus ikut denganku.”
Kulup mengajak Iwan ke rumah untuk membaca buku bersama. Awalnya Iwan menolak tapi karena merasa bersalah atas sikapnya kemarin, ia mengikuti ajakan Kulup.
Sampai di rumah, Iwan, kulup dan adiknya, memilih bahan literasi yang mereka inginkan. Dibuka kardus, terlihat banyak sekali ilmu yang berbaris rapi dihadapan. Si adik sibuk melihat buku yang berisi gambar Pahlawan. Si Iwan yang merasa kebingungan sebab pandangan pertama merasakan nikmatnya tak bertengkar pada pendidikan. Sampul dan judul buku juga memikat. Tanpa mereka sadari setiap lembar terus dilewati. Inikah nikmatnya belajar yang dirasakan anak sekolahan itu, mungkin hanya separuh.
Tak terasa rotasi waktu cepat berlalu. Teriknya mentari pertanda hari sudah siang. Iwan buru-buru pamit, karena ia harus memberi makan ayam jago miliknya.
“Aku pulang dulu ya, mau beri makan jago, buku ini aku ambil satu untuk baca di rumah.” Iwan bergegas meninggalkan Kulup.
Bulan terus berganti mereka teguh belajar. Bahan literasi sudah selesai dibaca semua. Tentang filsafat, bisnis, sains dan banyak lagi. Uang hasil mencari barang bekas mereka himpun untuk membeli buku.
Kulup mempunyai ide untuk beli buku pada Pak Amir saja. Singkat cerita uang sudah cukup, mereka bergegas melewati angin menuju tempat pak Amir menjual buku. Sesampainya di sana, Pak Amir menghilang bersama gerobaknya. Keheranan dan terus mencari. Setiap hari mereka menyelidiki keberadaan Pak Amir tapi tidak tau ke mana. Terpaksa membeli buku di tempat lain. Begitu terus hingga mereka berdua tumbuh dewasa.
Kini Kulup telah menjadi orang sukses, buku pertama yang ia miliki tetap disimpan. Sedangkan Iwan, Ia menjadi juragan peternakan. Mereka memiliki terbitan buku karyanya sendiri. Benar saja, buku tentang orang sukses itu kini mengisahkan tentang dirinya. Orang tuanya tidak perlu lagi berkerja. Kulup telah menunjukan keteguhan dirinya walau putus sekolah, belajar tetap dilanjutkan dan berbuah kesuksesan.
Mengenai kepergian Pak Amir, Kulup terus memikirkan keanehan itu. Sampai saat ini telah dewasa pun, ia tetap memikirkan Pak Amir. Ia menemui Iwan. Mempertanyakan kira-kira ke mana Pak Amir yang cepat kaki ringan tangan itu. Mereka mencari setiap hari. Berniat membalas kebaikan Pak Amir.
Ditemani Iwan, berhari-hari kulup mencari keberadaan Pak Amir. Hingga suatu saat Kulup berhasil mengetahui informasi rumah penjual buku itu. Kulup segera bergegas berangkat. Ia juga membawa keluarga. Pergi menggunakan mobil barunya. Sedikit lagi mereka sampai di rumah Pak Amir. Menanyakan orang sekitar.
“Maaf Bu, kalau boleh tau rumah Pak Amir Penjual Buku di mana ya?” tanya Kulup.
“Pak Amir? Sudah lama gak jual buku itu Bapak, terus… saja masuk di jalan setapak ada rumah gubuk, nah itu.” ungkap Ibu sambil menyebutkan arah.
Mengucapkan terima kasih, Kulup dengan cepat menuju rumah Pak Amir. Mereka turun dari mobil. menelusuri jalan setapak. Kulup terkejut untuk kedua kalinya. Ia benar-benar melihat rumah gubuk itu. Perlahan mengetuk pintu, dengan isak tangis sedikit tersedu.
“Assalamualaikum pak Amir. “
“Waalaikumsalam, siapa ya?” terlihat seorang kakek tua membukakan pintu.
Ternyata itu adalah Pak Amir. Kulup ingat betul wajahnya. Ia tak menyangka berhasil menemukan orang yang memberikannya buku. Sudah lama sekali. Kulup segera memeluk pak Amir.
“Ini kenapa? Silahkan duduk dulu semua.” tanya Pak Amir kebingungan sambil melepas pelukan. Mereka semua pun berada di rumah Pak Amir. Orang tua Kulup, adiknya, dan Iwan.
“Apakah Bapak pernah kehilangan banyak buku di kardus?” tanya kulup sambil menangis.
“Pernah, tapi itu sudah lama sekali. Karena itu saya jadi tak bisa jualan lagi, banyak buku sudah hilang.” Jawab Pak Amir sambil menaruh kerut pada dahi.
Ia sadar dirinya ialah pencuri kardus berisi buku yang dimaksud.
“Apakah Bapak pernah memberikan buku kepada anak pencari barang bekas?”
“Sepertinya pernah, tapi sudah lama sekali. Saya sudah tak ingat.”
Kulup semakin menundukan kepala. Mencoba meyakinkan dirinya adalah pelaku utama. Ia berbicara dengan penuh penyesalan.
“Saya pak pelakunya. Saya mengambil buku di kardus dekat gerobak Bapak. Saya kira itu sudah dibuang. Saya juga orang yang Bapak kasih buku gratis, saya anak pencari barang bekas itu pak.” dengan air mata kulup yang terus membasahi wajah.
Pak Amir kaget bukan main. Ia telah ingat anak itu yang sekarang sudah tumbuh dewasa, sukses berkat buku pertama yang ia berikan.
“Jadi itu kamu? Syukurlah kamu sudah sukses sekarang.” jawab pak Amir dengan senang.
Orang tua Kulup berterimakasih pada Pak Amir karena sudah baik pada Kulup.
“Terimakasih ya pak sudah memberikan anak kami buku agar dia bisa belajar.”
“Pak Amir, sebagai gantinya karena saya sudah mencuri buku dari Bapak. Saya ingin mengajak Bapak pergi umrah bersama kami.” perasaan senang meliputi ruangan.
Pak Amir tak menyangka bahwa dirinya sudah melakukan hal yang besar pada seorang anak.
“Apakah benar nak?”
“Iya pak ikutlah dengan kami, Bapak akan menjadi keluarga kami.”
Siapa sangka kebaikan seorang memang tak terduga. Suatu saat pasti dibalas Sang Maha Kuasa. Berbuat baiklah walau hanya sebesar biji dzarah. Itu akan dikenang, dibanding melakukan beribu kebaikan dengan ketidakikhlasan yang menampilkan keangkuhan. Kulup ditangkap atas pengalamannya dan kembali dikisahkan dalam goresan pena.
-TAMAT-
.
Pic by didotanindita.blogspot.com