Lamunan Secangkir Jahe-Lemon
Hari ini cuaca tak begitu panas. Tak jua dingin. Sejuk. Ya, sejuk.
Surya sedikit capek keliahatannya. Karena setiap hari harus memberikan panasnya untuk imunitas tubuh manusia. Dia malu-malu hari ini. Entah tahu mengapa.
Iringan nyanyian walet tak pernah absen di pagi hari. Sama seperti hari ini.
Kerumunan pipit coklat selalu bercanda, bercengkrama sesama mereka. Membuat gaduh di pagi hari. Menunjukkan hari ini masih seperti waktu-waktu sebelumnya. Belum kiamat.
Dalam panggung pentas pagi ini. Seperti biasa. Sejak Covid-19 bertamu ke Indonesia, aku selalu hadir di setiap pagi. Menyapamu dengan kehangatanku, mendekapmu dengan rasaku. Sedikit pedas, berbalut asam dan manis madu di lidah, namun berbau aromaterapi.
Khasiatku dulu dianggap biasa. Sepele. Receh! Hanya kaum veteran dan yang mengerti sehat selalu menyayangiku setiap hari. Menegukku, memelukku untuk satu dengan raga mereka.
Namun, kini orang-orang yang cemas selalu mencari ramuan akan kandunganku. Mempelajarinya untuk efek manfaat. Membudidayakannya untuk alasan ekonomi. Mereka seolah-olah kebakaran jenggot karena pandemi ini.
Hufth (menghela nafas), entahlah. Tak tahu sampai kapan aku primadona seperti ini lagi.
Karena aku sadar diri. Mungkin aku sudah tidak dibelai setelah virus ini pergi.
Mungkin.
Prosa karya Ares Faujian (Manggar, 18 April 2020)