Lawan Covid-19, Bagaimana dengan Strategi Negara Kita?
Oleh:
Fahri Razza Firmansyah
Mahasiswa S1 Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa, Yogyakarta
Editor:
Ares Faujian
Masalah wabah Covid-19 setiap hari menjadi trend topic setelah bertransformasi menjadi pandemi. Persoalan yang telah menjadi permasalahan dunia ini, kini seolah menjadi pekerjaan rumah yang harus segera diselesaikan oleh pemimpin-pemimpin negara.
Pandemi Covid-19 menjadi potret nyata bagaimana seorang pemimpin hadir dan mengelola strategi serta kebijakannya. Lucu rasanya apabila mengingat sebelum pandemi ini menyerang negara kita. Para pemimpin di pemerintahan terlihat santai seolah acuh dengan kejadian yang terjadi di sekitarnya. Bahkan, tak sedikit dari para pemimpin tersebut memberikan candaan yang tak seharusnya diutarakan serta terbilang tidak lucu.
Namun apa hendak dikata, kini nasi telah menjadi bubur. Dikutip dari laman resmi covid19.go.id hingga Kamis (21/04/2020) akibat dari Covid-19, sebanyak 7.135 terbukti positif dengan korban meninggal sebanyak 616. Namun, sebanyak 842 pasien positif dinyatakan sembuh sehingga menjadikan ini sebagai kasus dengan total pasien sembuh lebih banyak daripada yang meninggal. Akan tetapi, laju pertumbuhan positif Covid-19 ini bisa saja bertambah apabila masyarakat mengabaikan himbauan dari pemerintah, dan para pemimpin negeri ini tidak mengambil tindakan tegas dalam mengelola kebijakannya.
Dalam menghadapi situasi seperti ini, kepemimpinan seorang kepala negara dengan berbagai kebijakannya bisa disebut sebagai kunci guna meminimalisasi penyebaran Covid-19. Namun bagaimana kenyataannya? Pemerintah negara kita saat ini bisa dikatakan tengah “kocar-kacir” dalam menghadapi pandemi ini. Namun, ada beberapa kebijakan yang telah dilakukan pemerintah guna meminimalisir penyebaran dari pandemi ini. Salah satunya adalah penerapan social distancing atau phsical distancing.
Terbaru, pemerintah kembali menerapkan tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Akan tetapi, beberapa kebijakan tersebut terbilang belum efektif guna menekan kurva penyebaran Covid-19. Hal itu tidak lain disebabkan oleh kurangnya kesadaran masyarakat, serta tidak adanya sanksi tegas yang diberikan oleh pemerintah.
Lalu, strategi dan upaya apalagi yang bisa diterapkan di negara kita ini? Menurut penulis, rasanya tidak salah apabila kita berkaca pada negara lain seperti Korea Selatan, Arab Saudi, Jerman, serta negara tetangga kita yakni Malaysia. Setidaknya negara-negara tersebut mampu bergerak cepat dalam mengidentifikasi warganya yang positif tertular corona, serta mampu menekan angka kematian. Selain itu, negara tersebut berani memberikan sanksi tegas guna mencegah dan memutus angka penularan di daerah mereka.
Misalnya langkah pemerintah Korea Selatan. Mereka menerapkan sistem drive-thru clinics sehingga Masyarakat, khususnya yang memiliki gejala, akan didatangi oleh petugas kesehatan dan melakukan pemeriksaan di mobil khusus, tanpa harus ke rumah sakit. Hasil pemeriksaan lalu akan dikabarkan melalui pesan SMS.
Melansir dari katadata.co.id (02/02/2020) dengan sistem tersebut, dalam sehari Korea Selatan bisa memeriksa sekitar 15 ribu orang. Sehingga pasien positif Covid-19 dapat lebih cepat terdeteksi dan diminimalisir penularannya. Selain demi menghindari kontak langsung dengan para pengunjung di rumah sakit yang tidak diketahui apakah mengidap virus corona atau tidak, sistem ini juga dapat mengurangi beban rumah sakit dan mengurangi risiko kesehatan tenaga medis.
Selanjutnya menurut penulis, pemerintah negara kita bisa saja menerapkan kebijakan seperti yang dilakukan pemerintah Arab Saudi. Di mana, negara tersebut menerapkan kebijakan berupa pemberian denda terhadap masyarakat yang masih tetap nekat keluar tanpa tujuan yang jelas, serta pemberian denda juga terhadap orang-orang yang tidak menyatakan informasi yang benar mengenai keadaan kesehatan dan rincian perjalanan saat memasuki negara itu.
Tidak tanggung-tanggung pemerintah Arab Saudi memberikan denda sebesar 2 Miliar kepada masyarakat yang masih nekat untuk tidak menaati peraturan tersebut. Bisa dibayangkan bila kebijakan itu diterapkan di negara kita. Mungkin masyarakat menjadi sengsara bukan karena tidak bekerja akibat corona, melainkan sengsara sebab membayar denda yang diterapkan pemerintah.
Selain itu, pemerintah juga memiliki opsi lain sebagai upaya untuk melawan wabah corona ini. Salah satunya yang bisa dilakukan pemerintah adalah melakukan rapid test atau pemeriksaan secara signifikan dalam jumlah banyak. Dengan pemeriksaan seperti itu, pasien-pasien yang memiliki gejala ringan infeksi virus corona sekalipun bisa langsung mendapatkan penanganan secara tepat.
Langkah seperti ini sudah diterapkan oleh pemerintah negara Jerman dan terbukti efektif. Terutama dalam mengantisipasi jumlah korban yang meninggal akibat Covid-19. Mengutip dari kompas.com (31/03/2020), meskipun Jerman merupakan lima negara dengan kasus corona tertinggi, tetapi angka kematian pasien penderita Covid-19nya terbilang rendah.
Walau agak terlambat, negara tetangga kita yakni Malaysia berani mengambil kebijakan lockdown yang dilakukan sejak 18 Maret sampai dengan 14 April 2020 serta melakukan beberapa tindakan tegas agar masyarakat di negeri jiran tersebut bisa mematuhi lockdown. Kementrian Kesehatan Malaysia pun telah menyiagakan 3.585 tempat tidur di 34 rumah sakit.
Jadi, bagaimana dengan Indonesia? Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo sudah mengeluarkan kebijakan dan “jurus-jurus” beliau. Melansir dari suara.com (01/01/2020), Presiden Jokowi mengumumkan beberapa langkah yang diambil pemerintah sebagai senjata redam dampak corona, yakni:
- Meningkatkan jumlah penerima dan besaran bantuan Program Keluarga.
- Kenaikan penerima Kartu Sembako.
- Menaikkan anggaran Kartu Pra Kerja.
- Penggratisan tarif listrik 450VA.
- Mencadangkan anggaran kebutuhan pokok.
- Memberi keringanan pembayaran kredit.
- Mengatur besaran belanja wajib pemerintah, serta
- Penyesuaian tarif PPh.
Cukup banyak langkah yang telah diambil oleh pemerintah. Akan tetapi mengapa kebijakan tersebut terfokus pada bidang ekonomi saja? Menurut penulis, langkah yang telah dilakukan oleh pemerintah tersebut sudah sangat baik. Akan tetapi, alangkah lebih baiknya pemerintah lebih terfokus dan dikonsentrasikan pada penghentian penyebaran Covid-19, sehingga tidak perlu banyak hal yang dilakukan oleh pemerintah.
Mengapa penulis berpendapat seperti itu? Karena dalam situasi seperti ini, pemerintah dan seluruh masyarakat harus terfokus pada masalah yang dihadapi saat ini, yakni Covid-19. Sehingga kedepannya, apabila Covid-19 ini bisa dihentikan tentunya masalah ekonomi di negeri kita ini bisa berhenti dengan sendirinya.
Ibarat sebuah kampung yang mengalami kebakaran, tentunya bukan membersihkan puing-puing yang menjadi pekerjaan bagi kita, akan tetapi memadamkan api adalah tujuan utama. Sebab apabila api semakin marak dan membesar, habislah kampung tersebut dilahap api, serta membereskan puing-puing tidak akan bermakna. Begitu pula dengan negara kita, alangkah lebih baik apabila fokus utama adalah penghentian pandemi Covid-19 ini. Barulah nanti pemerintah kembali memperbaiki permasalahan lainnya.
Di samping kebijakan dan upaya pemerintah, tentunya masyarakat dituntut untuk mematuhi imbauan dari pemerintah pula. Imbauan yang telah diambil sudah pasti bertujuan untuk kepentingan masyarakat agar tetap sehat.
Pemerintah harus bisa mengambil kebijakan dan langkah-langkah yang tepat dan pro rakyat. Jika pemerintah sudah menerapkan kebijakan-kebijakan demi mengurangi angka penyebaran virus corona, maka wajib bagi masyarakat untuk menaatinya. Kebijakan-kebijakan ini tentu dibuat untuk melindungi kesehatan seluruh rakyat Indonesia. Sehingga kunci utama keberhasilan kebijakan-kebijakan pemerintah adalah kesadaran masyarakatnya.
Pemerintah dan masyarakat harus bekerja sama dalam melawan virus yang telah melumpuhkan berbagai aspek kehidupan ini. Karena tiada artinya sebuah lidi dari pohon terelok jika hanya berdiri sendiri membersihkan sampah yang berserakan. Dia hanya akan ada, namun tanpa arti, rapuh, dan letih dengan sendirinya.