Lekang Oleh Waktu
Oleh:
Fitri Adella
Editor:
Ares Faujian
Suara gemericik hujan menyambut kedatanganku di sore yang dingin ini. Kutarik dua koper besar yang beratnya mungkin hampir setengah dari berat tubuhku. Aku mengedarkan pandangan ke sekeliling. Sama, semuanya masih sama seperti lima tahun lalu. Yang berubah hanyalah posisi kursi tunggu saja dan petugas yang menyambutku juga berbeda. Astaga apa yang aku pikirkan tentu saja aku bahkan tidak ingat siapa petugas di bandara ini dulu.
Sandyakala terpancar dengan indah disela-sela air hujan yang membasahi jalanan. Kuhentikan taksi dan menyebutkan alamat tempat tujuanku. Saat di dalam taksi ponselku yang sedari tadi kunonaktifkan karena berada di dalam pesawat. Berdering menandakan sebuah pesan masuk. Itu dari kepala bagian tempatku bekerja merantau di Jakarta, beliau memintaku untuk memasang ucapan ‘Selamat Hari Pahlawan Nasional’ pada setiap akun media sosial perusahaan kami.
Aku hanya menghiraukannya dan kembali memasukkan benda persegi itu ke dalam kantongku. Aku saja tidak akan ingat jika hari ini adalah hari pahlawan jika bukan karena melihat kalender yang berwarna merah. Sepertinya hari-hari seperti ulang tahun atau hari di mana banyaknya rapat penting akan lebih mudah diingat ketimbang hari peringatan seperti itu.
Tiba-tiba taksi yang kutumpangi berhenti. Padahal kami bahkan belum mencapai setengah perjalanan.
“Kenapa berhenti pak?” Tanyaku.
“Sepertinya bannya bocor dek. Saya mau perbaikin dulu, tidak apa-apa?” Jawab Bapak sopir.
Kulihat beberapa meter ke depan terdapat sebuah bengkel yang sebelahnya terdapat warung kecil. Karena hari yang sudah hampir menjelang malam di mana artinya akan sulit untuk mencari taksi lain, kuputuskan untuk menunggu mobil itu diperbaiki sambil beristirahat di warung kecil tersebut.
Aku memesan segelas kopi hitam, bau petrichor memenuhi indra penciumanku membuat diriku yang semula sedikit gelisah menjadi tenang. Warung ini berada di tempat yang kurang strategis menurutku karena jumlah rumah saja bisa dihitung dengan jari di sepanjang jalan ini.
Kulihat seorang pelanggan lain selain diriku, beliau sudah sangat berumur mungkin awal 80-an. Singkong rebus dihadapannya masih mengepulkan uap panas. Sepertinya beliau juga baru tiba.
Tiba-tiba ia menoleh padaku dan bertanya, “Mobilnya rusak dek?”.
“Iya pak, bannya bocor” Jawabku seadanya.
“Jalan di sini memang banyak lubangnya harus hati-hati” Aku hanya mengangguk mengiyakan.
Kutatap bajunya yang terlihat rapi. Terlihat loreng-loreng khas tentara yang sudah sedikit memudar. Sepertinya beliau sadar sedang kuperhatikan, “Heran liat tentara yang sudah loyo ini?” Tanyanya setengah bercanda, aku pun sedikit tertawa untuk mengurangi kecanggungan.
“Tidak pak, justru Bapak makin terlihat gagah dengan seragam itu” Ucapku menyanjung, tapi beliau justru menghela napasnya dengan pelan.
“Bahkan tanpa seragam ini pun dulu saya sudah terlihat gagah, di garda terdepan menyerukan kemerdekaan” Aku membisu.
Beliau menatap wajahku kemudian tersenyum kecil dan berkata, “Dulu saya setampan kamu, tapi tubuh saya lebih kekar, mungkin karena itulah dulu saya tidak kenal takut. Saya pernah ditahan oleh pemerintah Belanda karena menyerukan kata-kata kasar pada mereka. Saya mungkin tidak bestari, tapi bukan berarti saya rela diperbudak oleh mereka.”
“Yah, memang sulit mendapat pendidikan yang layak saat itu, asal sudah bisa membaca dan menulis saja sudah lumayan, jadi betapa tidak bersyukurnya anak muda zaman sekarang jika masih tidak mau mengenyam pendidikan.” lanjutnya.
Beliau berhenti sejenak dan meneguk kecil kopi yang mulai mendingin serta mencomot sedikit singkong rebusnya sebelum kembali melanjutkan. “Mungkin tidak ada yang mengingat saya jika saya telah tiada. Mungkin yang tertulis di batu nisan kelak hanyalah sepenggal nama laki-laki tua yang setiap sore mengayuh sepedanya dari ujung jalan ke ujung jalan lainnya. Tapi saya masih bersyukur bisa menjadi bagian dari perjuangan itu, bisa menjadi salah satu alasan mengapa saat ini orang-orang bisa dengan mudah bepergian tanpa diselimuti rasa takut disergap penjajah.”
“Ah, kalau kamu melihat betapa gagahnya kakek tua ini saat sedang memegang bendera merah putih kamu tidak akan percaya jika ia akan berkeriput dan jelek seperti ini hahahaha.” ujar ia berikutnya sambil tertawa.
Mendengar tawa beliau aku pun ikut tertawa. Meskipun baru bertemu beberapa menit yang lalu tapi entah mengapa aku merasakan sebuah ikatan batin yang kuat dengan beliau. Kami pun kemudian lanjut mengobrol sedikit sebelum namaku dipanggil oleh seseorang, ternyata itu Bapak supir taksi tadi.
“Mobilnya sudah selesai diperbaiki dek, mau berangkat?” Kulirik dua panah di arlojiku yang saling menunjuk ke angka tujuh dan dua belas, aku harus segera berangkat kalau tidak ingin kemalaman.
Aku pun pamit undur diri pada Bapak tadi. Beliau tersenyum dan menepuk bahuku serta mengucapkan hati-hati di jalan.
Saat taksi sudah berjalan menjauh aku kembali merenungkan kata-kata beliau. Betapa seringnya kita lupa bahwa tanpa adanya air mata, keringat, dan darah yang tumpah dari para pahlawan mungkin kita tidak akan bisa menikmati kebebasan hidup seperti sekarang. Betapa seringnya kita hanya ingat hari pahlawan sebagai hari libur nasional bukannya hari untuk mengenang dan mengapresiasi jasa-jasa mereka. Batinku tersayat dengan miris, zaman boleh berubah, dunia semakin maju, tapi tidak dengan sejarah, karena sejarahlah yang membentuk pondasi bagi suatu bangsa.
-SELESAI-
Tulisannya bagus buat dimengerti dan di maknai okeh semua oang para muda mudi dan para pemimpin zaman sekarang. Yang.terkadang yg hanya menikmati indah dan enaknya saja..tanpa mengingat makna perjuangan para pejuang dahulu yg berjuang sampai titik darah penghabiisan demi negara ini.
By Gunawan
Menarik, penulis pemula merangkai kata, semoga menjadi penyemangat bagi generasi muda untuk giat memanfaatkan waktu dengan menulis
By Pely