Literasi Digital: Hindari Terjebak Post-Truth
Oleh: Achmad Oky Surya*
Editor: Ares Faujian
Kementerian Kominfo mencatat sepanjang tahun 2021 telah menemukan dan memutuskan akses terhadap 565.449 konten negatif, serta melakukan penerbitan klarifikasi terhadap 1.773 infomasi menyesatkan yang beredar di masyarakat. Fenomena tersebut muncul akibat minimnya kemampuan mencerna informasi secara benar oleh masyarakat Indonesia.
Pesatnya perkembangan teknologi informasi yang meluas ke segala bidang tidak hanya membawa dampak positif, melainkan juga berdampak negatif bagi kehidupan. Luberan informasi di era revolusi digital memunculkan berbagai dampak kehidupan sosial. Selain itu, kredibilitas media arus utama seperti media cetak maupun elektronik menurun akibat digerogoti kepentingan elit maupun pemilik. Keberadaan berita yang tidak berimbang, memaksa para pembaca mengonsumsi informasi dari sumber-sumber alternatif lain. Persoalannya, media alternatif seperti yang ada di media sosial tidak selalu menyebarkan informasi secara benar.
Kurangnya kemampuan dalam membedakan antara informasi fakta dan fiksi, bahkan menyesatkan, sering kali membuat kita terjebak dalam kebenaran semu. Ditambah penggunaan algoritma yang ada di media sosial mengarahkan pengguna kepada konten yang sesuai dengan preferensi jejak digitalnya, sehingga dirinya berpotensi terperangkap ke dalam jebakan post-truth atau pasca kebenaran.
Tahun 2016, post-truth dinobatkan sebagai kata populer oleh Oxford. Alasannya, jumlah penggunaan istilah post-truth meningkat drastis hingga 2000 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Penggunaan kata ini sebagian besar disematkan pada dua kejadian politik paling bersejarah di tahun tersebut, yaitu peristiwa Brexit (British Exit) atau keluarnya Inggris Raya dari keanggotaan Uni Eropa dan kemenangan Donald Trump di Pemilu Amerika Serikat.
Di Indonesia, fenomena polarisasi antara pendukung kandidat di Pilpres 2019 yang melahirkan kubu “cebong” dan “kampret” menjadi bukti dari fenomena post-truth. Ini terjadi akibat maraknya hoaks maupun fake news di media sosial. Mirisnya, meskipun pilpres telah lama usai dan telah terjadi rekonsiliasi dari para kandidat tersebut, namun polarisasi antar kedua kubu pendukungnya ini masih sering terjadi di media sosial hingga saat ini.
Post-truth digambarkan kamus Oxford sebagai kondisi penguburan fakta-fakta objektif oleh publik melalui pengaruh media yang menarik sisi emosional dan keyakinan personal. Dalam era ini, keyakinan personal berkekuatan lebih besar dibandingkan logika dan fakta. Informasi-informasi hoaks dan fake news dalam situasi post-truth berpengaruh jauh lebih besar dibandingkan fakta sesungguhnya. Hal ini ditandai dengan masifnya berita hoaks ataupun fake news yang membanjiri media sosial.
Fake news didefinisikan sebagai berita bohong/ palsu atau tidak berlandaskan fakta, sedangkan hoaks merupakan informasi palsu yang berdasarkan fakta yang telah direkayasa. Tumbuh suburnya hoaks dan fake news tidak lepas dari keberadaan fenomena post-truth yang didukung oleh alogaritma media sosial, seperti Facebook, Instagram, Youtube, Tiktok dan lain sebagainya.
Pemakaian fitur ‘suka’ dan ‘bagikan’ pada media sosial yang kita gunakan sehari-hari, tanpa disadari telah mengeksploitasi sisi psikologis dan membuat penggunanya cenderung menerima informasi sesuai cara pandangnya saat ini. Keberadaan efek filter bubble yang merekam jejak digital pengguna media sosial dan membuatnya terkurung secara intelektual di dunia maya, membuat pengguna hanya menjumpai konten yang sesuai dengan yang mereka percayai. Filter buble inilah yang membuat hoaks dan fake news tumbuh subur dan berkembang pesat serta menjadikannya masalah penting dalam media sosial di era post-truth.
Kondisi ini jika dibiarkan tentunya akan menjadi masalah yang vital bagi interaksi sosial di masyarakat. Munculnya polarisasi antarkelompok politik, agama maupun komunitas dalam masyarakat akan semakin parah. Hal ini akan memicu konflik hingga menimbulkan perpecahan. Masyarakat terjebak pada kebenaran personal maupun kelompoknya yang menyebabkan keyakinan bahwa fakta di luar kelompoknya merupakan suatu kesalahan dan harus dilawan.
Cara Bijak Menghadapi Post-Truth
Menghadapi fenomena post-truth, terdapat beberapa langkah yang menurut penulis harus dilakukan. Pertama, kita sebagai pengguna media sosial perlu memiliki kemampuan critical thinking (berpikir kritis) menyikapi berita dan informasi yang beredar. Kemampuan berpikir kritis ini dapat diasah melalui ‘membaca’. Dengan membaca, kita dapat lebih memahami dan memperluas sudut pandang kita. Langkah ini dapat mendorong kita untuk memiliki pandangan terbuka (open minded) terhadap berbagai perspektif pada realitas sosial yang ada. Dengan demikian, kita tidak mudah dipengaruhi oleh kebenaran-kebenaran semu yang sengaja difabrikasi oleh kelompok tertentu untuk memicu pertentangan kontra-produktif demi mencapai tujuan kelompok tersebut.
Kedua, kita juga perlu membekali diri dengan kemampuan literasi digital. Literasi digital sendiri merupakan kemampuan memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Peran literasi digital dalam konteks media sosial sangatlah vital. Kemampuan ini memiliki tujuan supaya masyarakat sebagai pengguna menguasai pemrosesan informasi yang didapat melalui media sosial secara kritis dan tidak mudah terbawa arus dengan menyebarluaskan informasi yang belum tentu kebenarannya.
Banyak cara untuk kita mengasah kemampuan literasi digital, salah satunya dengan cara mengikuti program yang dikembangkan oleh pemerintah melalui Kementerian Kominfo secara cuma-cuma. Kemudian, kita juga dapat mempelajarinya melalui konten-konten yang menyajikan cara, tips, serta strategi menangkal berita maupun informasi hoax atau fake news melalui akun-akun yang dikelola komunitas atau organisasi literasi digital.
Ketiga, harus memiliki kemampuan menganalisis dan memverifikasi informasi maupun berita yang diterima. Tahun 2016, UNESCO dan Freedom House memprediksi fenomena gerakan verifikasi informasi akan berkembang sebagai wujud perlawanan terdahap hoaks di berbagai negara. Tercatat ada 114 organisasi pemeriksa fakta telah dibentuk pada tahun 2017 yang didominasi oleh Poynter, Google, serta Facebook. Organisasi pemeriksa fakta ini kemudian menjadi perwujudan fact-checking journalism atau jurnalisme pemeriksa fakta.
Hingga akhir tahun 2018, terdapat empat organisasi media dan satu non media yang telah terverifikasi IFCN (International Fact Checking Network) di Indonesia sebagai organisasi pemeriksa fakta. Mereka adalah Tirto.id (Periksa Fakta), Liputan6.com (Cek Fakta), Tempo.co (Cek Fakta), Kompas.com (Hoaks atau Fakta), dan organisasi nonmedia, yaitu Mafindo atau Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (Turnbackhoaks.id).
Melalui rubik khusus yang disediakan oleh kelima organisasi tersebut, kita dapat memverifikasi apakah informasi yang kita dapatkan sesuai dengan fakta ataupun masuk dalam kategori hoaks/ fake news. Dengan demikian, langkah ini dapat meminimalkan pengguna media sosial terhasut oleh berita maupun informasi hoaks maupun fake news.
Dari ketiga poin tersebut, para pengguna media sosial atau pencari informasi alternatif di media digital setidaknya dapat lebih kritis dalam memilah dan menyaring mana berita atau informasi yang sesuai fakta atau bukan. Sehingga, kita dapat terhindar dari jebakan fenomena post-truth atau kebenaran semu yang menyesatkan.
*Penulis adalah founder gagasan.id/ Ruang Diskusi Pemuda & pengurus PDPM Belitung Timur