Literasi Digital: Upaya Menangkal Hoaks di Era Post-Truth
Oleh:
Surya A. Oky
Founder Gagasan.id
Editor:
Ares Faujian
Media sosial hari ini menjadi salah satu fenomena yang melekat dalam interaksi kehidupan manusia. Survei yang dilakukan oleh We Are Social dan Hootsuite berjudul “Digital 2020 Global Overview Report” tercatat bahwa lebih dari 4,5 miliar penduduk dunia telah menggunakan internet, sementara kurang lebih 3,5 miliar dari mereka aktif mengakses media sosial. Artinya, hampir 60% populasi dunia terkoneksi dengan internet saat ini. Bahkan diperkirakan pada pertengahan tahun ini lebih dari setengah populasi global akan menggunakan media sosial.
Lebih lanjut, rata-rata sebagian besar dari masyarakat dunia menghabiskan waktu lebih dari 6 jam per hari dalam mengakses internet. Sedangkan Indonesia menduduki peringkat ke-8 sebagai negara dengan penduduk paling aktif mengakses internet. Yaitu, rata-rata menghabiskan hampir 8 jam per hari. Ini menggambarkan betapa aktifnya masyarakat kita dalam berselancar di dunia daring. Dari aktivitas tersebut, berdasarkan survei Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), media sosial menjadi alasan utama masyarakat Indonesia mengakses internet.
Sebagai salah satu negara yang dikategorikan paling aktif menggunakan internet, justru Indonesia menduduki peringkat bawah dalam hal literasi. Dari hasil survei Program for International Student Assessment (PISA), menempatkan Indonesia di urutan ke-74 alias peringkat keenam dari bawah. Tidak heran apabila fenomena hoax melalui media sosial masif beredar di Indonesia. Hasil penelitian Masyarakat Telematika (Mastel) tahun 2019 menunjukkan sebanyak 87,50% berita hoaks diterima masyarakat melalui media sosial, seperti Facebook, Twitter, serta Instagram. Ini menggambarkan bahwa pengguna media sosial (user) sangat rentan mengkonsumsi fake news (berita palsu). Bahkan menurut Puji Rianto (2019) dalam penelitiannya menjelaskan bahwa user berpendidikan tinggi pun belum tentu terhindar dari hoax. Sehingga perlu dilakukan suatu langkah untuk mengedukasi khalayak dalam bermedia sosial. Terutama di era di mana orang-orang memiliki kecenderungan hanya ingin mendengar dan melihat informasi yang ingin mereka lihat dan dengar.
Era Post-truth
Kamus Oxford mendefinisikan istilah post-truth sebagai kondisi di mana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Kata post-truth mulai popular disematkan pada dua momen politik paling berpengaruh di Eropa dan Amerika Serikat, yakni keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa (Brexit) dan terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden Negeri Paman Sam. Dalam situsasi di mana fenomena Brexit dan terpilihnya Trump yang digerakkan oleh sentimen emosi, karena informasi-informasi hoax lebih berpengaruh besar dibandingkan fakta sebenarnya, sehingga kondisi post-truth menduduki posisi puncak kepopulerannya.
Fenomena post-truth di Indonesia secara jelas dapat kita lihat selama Pemilu 2019. Polarisasi politik saat itu berlangsung secara masif di antara pendukung Jokowi dan Prabowo (red: Cebong vs Kampret). Media baru memfasilitasi pembelahan itu melalui sifat otonomi di mana pengguna dapat mengonsumsi, memproduksi, dan menyebarluaskan pesan media.
Dampaknya, para pengguna mudah terjebak ke dalam post-truth, karena orang-orang memiliki kecenderungan memilih dan membagikan informasi yang disesuaikan dengan keyakinannya. Ini membuat mereka sangat mudah terjebak dalam kebenaran tunggal karena tertutupnya peluang untuk mendapatkan informasi versi lain (Kelkar, 2019). Hal ini juga didukung dari alogaritma media sosial melalui efek filter bubble yang mengisolasi pengguna dengan menghadirkan informasi yang sejalan dengan keyakinannya melalui jejak digital.
Pentingnnya Literasi Digital
Konsep literasi digital mulai muncul sejak tahun 1990. Literasi digital didefinisikan oleh Gilster (1997) sebagai suatu kemampuan untuk memahami dan menggunakan informasi dari berbagai sumber digital. Ini membutuhkan suatu proses berpikir secara kritis untuk melakukan evaluasi terhadap informasi yang diakses melalui media digital. Oleh karena itu, setiap individu harus memiliki kesadaran kritis dalam mengenali realitas media, dan mampu memebedakannya dengan realitas sosial.
Pada era post-truth, batasan antara kebenaran dan kebohongan menjadi kabur, demikian pula dengan fiksi dan non-fiksi, serta kejujuran dan sebaliknya. Menjamurnya hoax atau berita palsu seakan menjadi mata rantai yang tidak berujung.
Di masa pandemi Covid-19 ini, Kementerian Komunikasi dan Informatika RI menemukan 723 isu hoax. Salah satunya, menurut katadata.co.id, terkait dengan bansos berupa Rp 2 juta untuk seluruh masyarakat Indonesia. Belum lagi ditambah dengan pertarungan wacana antara pemerintah dan para pendukung teori konspirasi yang hingga saat ini masih mewarnai perdebatan di media sosial.
Banjirnya informasi menyebabkan kebingungan dari pengguna media sosial untuk menentukan pesan mana yang benar, sesuai dengan realitas sebenarnya. Sehingga tidak sedikit pengguna yang sengaja atau tanpa sengaja menyebarluaskan hoax atau berita bohong sehingga viral.
Disusul dengan sikap mempertanyakan kredibilitas pemerintah pusat dalam pengambilan kebijakan penaggulangan pandemi yang kurang optimal, bahkan terkesan asal-asalan. Hal ini menambah pemberitaan negatif tentang pemerintah direproduksi, lalu diplintir, dan dibumbui, sehingga merubah substansi dan maknanya. Oleh karena itu, timbul rasa pesimisme terhadap kehadiran negara dalam penanggulan pandemi.
Peran literasi digital menjadi lebih sentral dalam konteks media sosial. Ini bertujuan agar masyarakat menguasai pemprosesan informasi yang didapat melalui media sosial secara kritis dan tidak terbawa arus untuk menyebarluaskan informasi yang tidak valid.
Agar dapat menumbuhkan literasi digital tingkat individu, menurut penulis dibutuhkan beberapa cara. Pertama, mengembangkan kemampuan untuk memilah informasi atau pesan berdasarkan sumber yang kredibel. Kedua, mengkomparasikan informasi yang sama dengan dari sumber dan jenis media berbeda untuk memperluas sudut pandang. Ketiga, memperkaya diri dengan berbagai ilmu pengetahuan agar dapat menganalisa pesan secara komperhensif. Terakhir, menumbuhkan budaya verifikasi informasi sebelum menyebarluaskannya.
Dari beberapa cara tersebut, diharapkan pengguna media sosial dapat meminimalisir termakan hoax, sehingga dapat menghindari meluasnya peredaran informasi tersebut. Pada level lebih lanjut, masyarakat dapat mengedukasi atau mengoreksi lingkungannya agar tidak mudah memviralkan berita bohong tersebut.