Literasi Melayu di Kota Pekanbaru
(Catatan Perjalanan Literasi di Ibu Kota Bumi Lancang Kuning, Pekanbaru)
Oleh :
ARES FAUJIAN
Penulis Senior Karya Muda Belitung (KMB)
Pengurus Asosiasi Guru Penulis Indonesia Prov. Kep. Babel
Fasilitator Literasi Baca-Tulis Tk. Regional Sumatra
Menjadi Fasilitator Literasi Baca-tulis Tingkat Regional Sumatra memberikan tugas dan amanah berkenaan imbas budaya literasi ke pelosok-pelosok daerah se-Sumatra. Delapan orang perwakilan dari Provinsi Kep. Bangka Belitung (Babel) termasuk penulis telah diseleksi oleh Kantor Bahasa Babel untuk mengikuti bimbingan teknis (bimtek) tingkat regional Sumatra dari Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan Kemdikbud RI berkenaan peningkatan kualifikasi literasi baca-tulis. Kegiatan bimtek yang dilaksanakan pada tanggal 17-21 Juni 2019 di Kota Pekanbaru ini diharapkan dapat meningkatkan kompetensi para fasilitator yang berasal dari 10 provinsi se-Sumatra agar dapat menebar virus literasi dengan rencana aksi kontekstual di daerahnya masing-masing nantinya.
Kegiatan bimtek fasilitator se-Sumatra yang pertama ini berjalan baik dan seru. Terutama bertemu dengan sahabat-sahabat satu visi yang berjuang demi literasi. Saling berbagi pengalaman menjadi sisi lain dalam balas membalas motivasi dan saling menginspirasi. Tak hanya itu, bimtek ini juga diperkaya instruktur dari elemen guru, dosen dan pegiat literasi yang memang berada pada “kelas”-nya. Kebahagiaan akan kebersamaan kegiatan ini pun diakhiri dengan tukar-menukar buku yang menjadi wejangan istimewa antar peserta.
Bukan hanya pengalaman menarik yang di dapat pada bimtek ini. Update informasi dan materi berkenaan literasi adalah salah satu bagian penting dari kegiatan ini. Namun, pada tulisan kali ini penulis tidak akan mendeskripsikan tentang materi bimtek atau relevansinya langsung dengan materi literasi baca-tulis. Kali ini penulis akan membagikan pengalaman literasi yang semoga ihwal ini menjadi refleksi berguna bagi kita sebagai negeri yang erat hubungannya dengan eksistensi budaya Melayu. Ya, penulis akan bercerita tentang Pekanbaru sebagai kota yang kental dengan histori kultur serta estetika adat Melayu. Yuk Pak Cik, Mak Cik kite mulai. Bismillahirrahmanirrahim.
Pekanbaru, siapa yang tak kenal dengan kota sarang transaksi ekonomi terbesar di Sumatra dan industri minyak bumi ini. Tidak hanya itu, kota ini juga terkenal dengan Sungai Siak yang merupakan sungai terdalam di Indonesia. Beberapa budayawan Riau yang juga terkenal seantero jagat nusantara seperti Idrus Tintin dan Soeman HS. dinobatkan namanya sebagai nama bangunan ikon pariwisata di kota ini. Selain itu, kota ini juga terkenal dengan Masjid Agung An-Nur yang merupakan masjid Taj Mahal-nya Indonesia di Provinsi Riau, serta beberapa bangunan unik yang tidak lain jika berfoto di tempat tersebut maka “sah” seseorang wisatawan dikatakan pernah berkunjung ke Pekanbaru.
Datang ke Pekanbaru, sensasi pertama yang penulis rasakan adalah aura Melayu begitu kental dan kentara ketika kita melihat gedung fasilitas publik dan gedung-gedung perkantoran pemerintah kota/provinsi setempat yang arsitekurnya bernuansa Rumah Adat Melayu, terutama pada bagian atap (patut dicontoh nih!). Estetika dan penghargaan akan adat lokal kedaerahan ini patut diacungi jempol. Karena walau masyarakatnya didominasi oleh orang Minang (Suku Minangkabau), konstruksi budaya kota ini tetap berada pada arah nasab etnis lokalnya, yaitu Melayu. Karakter lokal Melayu itu sendiri bisa menjadi alasan kekhasan ketika seseorang hendak berwisata ke suatu kota atau wilayah. Termasuk kita sebenarnya di Kep. Bangka Belitung.
Suku Melayu Riau sebagai etnis lokal saat ini banyak berada di kabupaten-kota lainnya di Provinsi Riau daripada di kota ini, seperti di Kabupaten Indragiri Hilir, Kabupaten Bengkalis, Kota Dumai, dan lain sebagainya. Sejak Suku Minang bermukim di tepi Sungai Siak dengan motivasi rantau perniagaan pada abad ke-18. Saat itulah cikal bakal munculnya pasar (pekan) dan eksistensi Suku Minang yang berkembang serta menetap, dan pada akhirnya pasar semakin maju dengan terwujudnya Kota Pekanbaru. Walaupun banyak Suku Minang di kota ini, mereka (Suku Minang) tetap menjaga keharmonisan dalam bermasyarakat dan memegang teguh semboyan BERTUAH (Bersih, Tertib, Usaha Bersama, Aman dan Harmonis) dengan Suku Melayu Riau serta suku pendatang lainnya hingga saat ini.
Satu pekan berada di Ibu kota Bumi Lancang Kuning (Riau) ini penulis merasakan BERTUAH bukan hanya sebatas semboyan dan bernomenklatur fisik semata. Ihwal tersebut menjadi konkret ketika keberadaan masyarakatnya yang “sadar wisata” dengan ramah-tamah dan anti remeh-temeh. Senyum dan sapa menjadi transaksi familiar apabila warga setempat mengetahui bahwa yang mereka hadapi adalah wisatawan yang sedang berkunjung atau wisatawan yang sedang mengalami kebingungan arah dan tujuan menuju suatu objek wisata. Dengan kondisi yang seperti itu, sontak mereka pun lekas segera membantu.
Tidak hanya alasan keramahan, aura Melayu juga terasa di Bandara Internasional Sultan Syarif Kasim II. Turun pertama kali di bandara tersebut, penulis disambut dengan bahasa verbal informasi yang menggunakan bahasa daerah Melayu serta disandingkan dengan Bahasa Inggris sebagai bahasa internasional. Ihwal yang berbekas dan berkesan sekali bagi penulis dan mungkin tidak akan dilupakan terutama berbicara entitas kultur Melayu di Bumi Lancang Kuning ini.
Mungkin ada banyak daerah seperti Pekanbaru yang mempunyai ciri khas lokalnya masing-masing seperti Yogyakarta dan Bali. Namun untuk di Pulau Sumatra, penulis merekomendasikan bahwa Kota Pekanbaru ini layak untuk dijadikan referensi perihal pembelajaran sebagai kota wisata, kota dengan pelestarian adat Melayu, dan kota yang memiliki komitmen dengan semboyan yang mereka agungkan sebagai manifestasi yang tak ternilai harganya dalam kehidupan bermasyarakat.
Literasi Melayu sangat kuat dengan kondisi penduduk lokal (Melayu Riau) yang minoritas di kota ini. Nilai lebih ini menjadikan Kota Pekanbaru tidak saja nyaman untuk dikunjungi, namun pembelajaran karakter saling menghargai dan cara bersikap bijak sebagai masyarakat pendatang (Suku Minang dan suku-suku lainnya) patut sekali diapresiasi. Pembelajaran di kota ini bukan hanya berliterasi ke dalam masyarakat itu sendiri. Namun kondisi ini menarik minat masyarakat luar untuk mempelajari arti penting simpati, empati, toleransi dan sikap bijak masyarakat secara keseluruhan termasuk elemen pemerintahan yang masih memegang erat budaya Melayu di Ibu Kota Bumi Lancang Kuning ini.
Sebagai kepulauan yang juga sarat dengan Melayu, Babel tentunya berkeinginan identitas tersebut melekat sebagai ciri dan karakter lokal kedaerahan. Suku Melayu yang juga merupakan penduduk lokal Babel menjadi etnis yang kulturnya menjadi identitas kedaerahan serta ditampakkan ketika berbicara lokalitas budaya. Pengaruh etnisitas Suku Melayu ada serta berangsur terinternalisasi ketika para Melayu perantau, Melayu pedagang hingga Kesultanan Melayu melakukan penyebaran atau ekspansi teritorial kerajaan. Di mana dengan adanya keberadaan mereka telah menghasilkan pengaruh dan menitipkan generasi Melayu yang telah turun-temurun ada termasuk di Negeri Serumpun Sebalai ini.
Semoga kita bisa menjaga budaya Melayu Bangka Belitung yang sudah mengakar ada dan bisa belajar dari daerah/kota yang memegang erat lokalitas budayanya serta mengambil pembelajaran dari pemanfaatan budaya materiel dan imateriel yang diwujudkan dalam bentuk estetika “tampak” apabila kita berbicara ranah pariwisata. Karena tidak dipungkiri jika kita berbicara kesan wisatawan dan niat ia berkunjung kembali. Maka apa yang ia lihat dan ia rasakan (saat itu) adalah bentuk pengalaman yang tidak hanya dibagikan atau di-share kepada diri sendiri. Namun ini akan juga berdampak pada lingkungan sosial 4.0 miliknya dalam bermedia sosial. Dengan era industri 4.0 seperti saat ini, segala informasi akan menyebar cepat tanpa batasan waktu dan jarak termasuk respon warganet terhadap objek indah dan tak indah wisata yang diunggah.
Jadi apa karakter estetika kultur lokal yang akan kita tampakkan sebagai pemberi kesan terbaik kepada wisatawan? Tentunya esensi tulisan ini bisa kita maknai dengan tindak lanjut dari peran sinergi elemen masyarakat dari mulai pemerintah setempat, kelompok sadar wisata (pokdarwis), masyarakat setempat, sekolah hingga elemen terkecil masyarakat, yaitu keluarga. Kesatuan struktur sosial tersebut harus disatukan visinya terutama ihwal pelestarian budaya (materiel dan imateriel) via peraturan daerah, pendidikan sadar wisata dan adab sebagai masyarakat di daerah, serta perencanaan berkelanjutan dengan pembangunan aspek pendukung wisata di daerah.
Salah satu contoh awal yang bisa dilaksanakan, yaitu dengan membuat atau menambahkan ciri konstruksi bangunan berarsitektur Melayu yang masif (minimal perkantoran pemda) seperti Kota Pekanbaru dan mengondisikan masyarakat lebih sadar akan pariwisata. Dengan ihwal yang seperti itu, maka Babel sebagai salah satu destinasi wisata andalan di Indonesia tidak hanya menyajikan spot wisata yang menyejukkan mata. Namun, culture diversity sebagai komponen antik, cantik, unik dan terdepan dalam memberi kesan. Adalah hal yang perlu dipertimbangkan jika Babel ingin menarik hati jutaan penikmat wisata baik itu dari dalam negeri maupun luar negeri. Semoga ada titik terang pasca rilisnya tulisan ini. Aamiin. Sekian, salam literasi dan salam budaya dalam entitas pariwisata!