Literasi Menulis di Media Massa
Oleh:
Ares Faujian
Pemimpin Redaksi Media Daring KMB
Pengurus Asosiasi Guru Penulis Indonesia Prov. Kep. Babel
Fasilitator Literasi Baca-Tulis Regional Sumatra
Banyak orang yang mengatakan menulis itu adalah kegiatan yang sulit, ribet, membosankan. Karena harus merelakan waktu untuk duduk mencari inspirasi dan menuliskannya via manuskrip dan teks di laptop atau sejenisnya. Padahal sebenarnya, jika seseorang sudah terjun ke dunia kepenulisan, akan ada banyak hal yang didapat dari proses literasi (menulis), yang sebenarnya jika ihwal itu membudaya akan sangat mudah untuk meningkatkan kualitas suatu bangsa.
Banyak orang yang bisa membaca belum tentu bisa menulis. Banyak orang yang bisa menulis (penulis) sudah tentu pasti bisa membaca. Banyak pembaca yang baik belum tentu menjadi penulis yang baik. Banyak penulis yang baik sudah tentu adalah pembaca yang baik.
Dua esensi dari pernyataan-pernyataan tersebut mendeskripsikan bahwa menjadi penulis adalah sebuah anugerah, karena diberikan kelebihan berupa kebaikan dalam membaca dan juga menulis. Sedangkan bagi seorang pembaca, termasuk pembaca yang baik sekalipun, belum tentu menjadi penulis yang baik.
Apa arti semua ini? Artinya menulis adalah proses yang sangat berpengaruh bagi seorang individu. Terutama dalam proses pembelajarannya menerima (membaca) dan menyalurkannya (menulis) melalui karya yang akan diterima (dibaca) pula oleh para pembaca dan penulis lainnya. Menulis ialah proses menyampaikan dan meninggalkan jejak literasi (ide) untuk membangun dan mengembangkan SDM, baik secara fiksi atau non fiksi, maupun secara etika dan atau estetika.
Eksistensi kegiatan tulis-menulis sebenarnya sudah ada sejak zaman dahulu. Menurut Mahayana (2012), di Indonesia tradisi kepengarangan memiliki sejarah panjang, yaitu bermula sejak zaman para raja yang diberi istilah ‘sastra keraton’. Sastra yang menceritakan kehidupan istana dan kisah-kisah supranatural dimaksudkan untuk melegitimasi kekuasaan para raja. Jadi, para pengarang atau penulis zaman dulu berasal dari golongan bangsawan yang relatif terpelajar. Bahan bacaan muncul karena tentu ada yang menuliskannya, yaitu para penulis. Para penulis mampu menulis karena mendapatkan masukan berupa ilmu pengetahuan, keterampilan, pengalaman-pengalaman, serta imajinasi. Jika kita cermati, begitu banyak cerita rakyat (folkor) di Indonesia. Hal ini menandakan betapa hebatnya imajinasi masyarakat nusantara pada masa dulu. Awalnya, cerita rakyat itu disampaikan secara lisan. Setelah muncul penulis, mereka menulis cerita rakyat itu, lalu dibukukan. (Bambang Trimansyah, 2019: 27 dan 29).
Berdasarkan konsep literasi buku Pembelajaran Literasi (Yuyun Abidin, Tita Mulyati dan Hana Yunansah, 2017: 206), menulis adalah proses berulang yang dilakukan penulis untuk merevisi ide-idenya, mengulangi tahapan-tahapan menulis, hingga mampu mencurahkan ide dan gagasan tersebut dalam sebuah bentuk tulisan yang sesuai dengan gagasan atau ide yang dikembangkannya. Hal ini dilakukan dalam rangka menghasilkan tulisan yang sesuai dengan tujuan yang ditetapkan. Oleh sebab itu, dalam upaya menghasilkan tulisan yang baik, penulis juga harus senantiasa mempertimbangkan pembaca, tujuan penulisan, dan konteks.
Pengungkapan secara tertulis tentulah akan sangat bermanfaat dan bisa dikomunikasikan dengan sesama, yang tentunya sebagai bahan perbandingan (Amiruddin Hamzah, 1997: v). Di mana, suatu tulisan bisa menjadi kajian tulisan lainnya dalam rangka untuk menimbang, memperdalam, memperbaiki, memperluas, hingga memperbaharui ilmu pengetahuan tertentu. Semakin variatif sumber bacaan yang ada, semakin kaya pula kualitas referensi buku terbaru yang dihasilkan.
Setiap aktivitas yang dilakukan manusia pasti memberikan manfaat, tak terkecuali menulis. Menurut Siti Ansoriyah dan Rahmah Purwahida (2018: 1), menulis banyak memberikan manfaat, antara lain:
- Menulis mengukur potensi diri.
- Menulis dapat mengembangkan berbagai gagasan.
- Menulis memaksa seseorang untuk lebih banyak menyerap dan menguasai informasi.
- Menulis berarti mengorganisasikan gagasan secara sistematis.
- Menulis dapat meninjau dan menilai gagasan secara objektif.
- Menulis dapat memudahkan dalam memecahkan masalah.
- Menulis dapat mendorong belajar efektif, dan
- Menulis akan membiasakan untuk berpikir secara tertib.
Selain itu, menurut penulis sendiri, selain memiliki manfaat pembelajaran dan media informasi bagi pembaca. Yang tak kalah penting menulis juga bisa melahirkan penulis-penulis baru dari efek tulisan yang telah dihasilkan oleh penulis-penulis sebelumnya. Apakah itu karena terinspirasi, memperbaharui (update) ilmu pengetahuan, memperdalam kajian, hingga memperluas ke bidang-bidang lainnya. Sehingga dalam hal ini, menulis memberikan manfaat regenerasi, filosofi, dan edukasi bagi eksistensi penulis-penulis di masa depan.
Selajutnya, menulis bermanfaat pula sebagai terapi jiwa untuk menyalurkan pikiran dan perasaan negatif dari seseorang yang sedang mengalami masalah-masalah hidup pada dirinya. Jenis terapi seperti ini disebut dengan writing therapy atau terapi menulis. Dalam konteks ini, menulis bermanfaat bagi kebaikan kondisi psikis dan tentunya berpengaruh pula pada kesehatannya (mencegah kepikunan).
Manfaat ekonomi juga bisa dirasakan dalam aktivitas menulis. Di mana, menulis dapat menghasilkan keuntungan finansial karena tulisan tersebut memiliki nilai jual sebagai produk literasi. Seorang penulis akan memperoleh honor atau royalti dari tulisan yang telah dihasilkan atau dipublikasikan.
Menjadi atau mendadak terkenal menjadi konsekuensi logis jika seorang penulis memiliki tulisan yang berkualitas. Manfaat personal branding ini bisa menekan ‘jam terbang’ penulis lebih banyak seperti menjadi pembicara/narasumber, mendapat tawaran proyek menulis, diminta untuk menjadi editor, dan tambahan berbagai kegiatan literasi lainnya.
Proses literasi menulis memiliki tahapan yang sama dengan menulis pada umumnya. Tahapan tersebut terbentang mulai dari tahap perencanaan tulisan, proses penulisan, penyuntingan dan revisi, serta publikasi.
Pertama, adalah tahap perencanaan tulisan. Tahap ini adalah tahap yang sangat penting. Karena kualitas tulisan berakar dari perencanaan yang tepat dan bermanfaat. Tahap pertama ini dibagi menjadi dua, yaitu tahap pemerolehan ide dan selanjutnya tahap membuat kerangka tulisan (outline). Tahap pemerolehan ide bisa diperoleh melalui membaca, meneliti, menonton, mengalami (pengalaman), maupun jalan-jalan, yang selanjutnya disusun dalam bentuk peta konsep. Selain itu, curah pendapat dapat pula digunakan dalam rangka mengembangkan kerangka tulisan setelah ide didapatkan.
Kedua, adalah tahap proses penulisan. Dalam konteks menulis umum, pada tahap ini seorang penulis mendayagunakan beberapa kemampuan yang meliputi kemampuan berpikir, kemampuan merasa, dan kemampuan berimajinasi. Untuk menghasilkan tulisan yang baik, pada tahap ini seorang penulis harus diperkaya dengan pengetahuan bahasa, memiliki gaya penulisan, dan pengetahuan tentang teks. Produk tulisan yang dihasilkan ini masih bersifat draf sehingga perlu tahap selanjutnya, yaitu tahap penyuntingan (editing) dan revisi, serta tahap publikasi.
Ketiga, adalah tahap penyuntingan dan revisi. Pada tahap ini, seorang penulis akan menilai tulisannya baik dari segi kebenaran isi, kebenaran kata, kebenaran bahasa, maupun kebenaran teknik penulisan. Proses penyuntingan dan revisi ini adalah tahap akhir dalam menulis, dan menjadi tahap penentuan apakah tulisan seseorang layak atau tidak diteruskan ke dapur redaksi.
Keempat, adalah tahap publikasi. Pada tahap ini, seorang penulis akan memublikasikan tulisannya melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik. Pemilihan media publikasi juga menjadi sangat penting agar tulisan yang telah dibuat bisa dirilis. Karena setiap media massa memiliki kriteria tertentu yang berhubungan dengan kriteria atau jenis tulisan, gaya penulisan, kategori pembaca, dan keluasan wilayah pembaca.
Secara umum, tulisan atau karangan dibedakan menjadi dua, yaitu fiksi dan non fiksi. Tulisan fiksi adalah tulisan atau karya yang bermakna khalayan, imajinatif dan biasanya tidak berdasarkan fakta sebenarnya. Contohnya, puisi, prosa (cerpen, novelet, novel), dll. Sedangkan tulisan non fiksi adalah karya atau tulisan yang ilmiah atau informatif berdasarkan fakta yang sebenarnya. Contohnya, karya tulis ilmiah (artikel, esai, dsb.) dan tulisan informatif (kisah, laporan, ringkasan, ulasan, dsb.).
Jika seseorang ingin menjadi penulis dan memiliki tulisan sebagai bahan bacaan yang baik, menurut Bambang Trimansyah (2019: 30), bacaan yang baik paling tidak mengandung tiga daya berikut ini:
- Daya gugah, yakni kemampuan sebuah bahan bacaan untuk menggugah pembacanya menuntaskan bacaan.
- Daya ubah, yakni kemampuan sebuah bahan bacaan untuk mendorong perubahan, baik itu ilmu pengetahuan, keterampilan, maupun perilaku pembaca ke arah yang lebih baik.
- Daya pikat, yakni kemampuan sebuah bahan bacaan menampilkan segi estetis bacaan sehingga menarik para pembaca.
Jadi, tulisan seperti apa yang ingin Anda hasilkan? Kenali dulu dirimu sendiri, termasuk lingkungan dan tujuan Anda kedepan. Jangan lupa, pilihan media massa juga menentukan tulisan Anda sesuai atau tidak dengan selera/karakter media tersebut. Yang mana, ini akan berpengaruh terhadap terbit atau tidaknya goresan pikiran dan rasa milik Anda.
Semoga berhasil. Selamat menulis!
Karakter penulis dan media. He he
By Hasbullah S.St.