Luka
Oleh: Susi Fitriyanti
Siswa SMKN 1 Manggar
Editor: Ares Faujian
Jika pertemuan adalah sebuah tragedi, maka tidak ada yang perlu disesali, sama seperti ketika aku bertemu ayahku. Dia pergi dengan tidak setitik kata pun. Lalu aku menjadikan diriku dewasa.
Sejuta pengetahuan, ibuku sempurna dalam berperan. Kamu itu ibarat surat usang yang menyampaikan pesan dari Tuhan, agar aku tetap bertahan di setiap keadaan dan kamu hanya menyampaikan tanpa bisa aku rasakan.
Di kisahku, aku sempat berpikir bahwa adanya keluarga harmonis, cemara, rukun, ternyata sangat berarti. Di dalam kehidupanku, ayah bukan tokoh utama. Skenario Tuhan memang tidak bisa ditebak sembarangan. Contohnya seperti sekarang. Tuhan memberikan jalan agar kita kuat tanpa ayah. Lalu saling menguatkan lebih dalam, tapi tidak bisa dipersatukan.
Diangkat dari kisahku yang sekarang, merangkul diri sendiri dan diperkuatkan oleh ibu. Orang lain hanya melihat kita bahagia, tapi nyatanya tidak. Saat ini aku hanya bermimpi membahagiakan ibu, karena ayahku sudah meninggalkan kami bersama istri barunya.
Sering kali kita mau jadi sesuatu yang orang lain tahu itu kita tapi nyatanya, kita belum jadi apa-apa. Banyak angan yang hanya disimpan di kepala, jadi mau sampai kapan? Menyelami dunia yang tidak nyata?
Saya tahu itu menyenangkan, tapi juga memberi luka tak kasat mata. Jangan memberi tekanan batin dengan sengaja, karena kalau sudah masuk suasana akan terasa seperti di penjara! Rasanya seperti menyusuri lorong gelap tanpa lentera dan tak ada yang menyapa.
Dari keadaan itu saja, harusnya kita bisa menangkap intinya bahwa hal baik yang kita punya harusnya bersuara. Bahwa sekecil apapun harapan akan tetap jadi doa yang akan diaminkan oleh semesta.
Kita belajar untuk membuka mata dan telinga memandang buana dengan pandangan yang berbeda. Sejak bab pertama di buka itu artinya kita siap menulis cerita, menulis cerita sebagai tokoh utama yang semoga kisahnya melegenda.