Makan Bedulang
Oleh:
Bossfish S.
Editor:
Ares Faujian
Sekedar bernostalgia, “Makan Bedulang”, ialah seni penyajian makanan Belitong yang “old school” banget dan ramah lingkungan. Dulu, ketika penulis masih kecil, di era 90an, setiap ada kundangan (kondangan) selalu penyajian makanan pesta di Belitong menggunakan dulang. Di mana, dulang dalam “Makan Bedulang” ini diiringi oleh air teh tawar 4 gelas, dan makanan pencuci mulut 4 potong seperti kue atau agar, yang dipastikan agar-agar menjadi incaran pertama bagi anak usia 10 tahun ke bawah.
Namun, semenjak 2000an, masyarakat kota (Tanjungpandan) mulai menyajikan makanan secara prasmanan (ala makanan Perancis kata “orang dulu”) yang lebih hemat, praktis, tidak memakan banyak ruang dan terlihat sangat modern di masa itu. Makan bedulang yang super ribet dan makan banyak peraba (peralatan) pun mulai ditinggalkan di daerah perkotaan dan lambat laun kian menghilang. Akan tetapi, berbeda dengan masyarakat di kampung. Di mana masyarakat kategori pedesaan ini masih menjalankan tradisi ini hingga saat ini.
Memang agak ribet menyajikan sarasehan “Makan Bedulang”. Tetapi, di balik itu sangat banyak hikmah yang bisa diambil. Misalnya mempererat silaturahmi (sedulang 4-5 orang, selesai makan “kelakar” atau berbincang-bincang), dan konsep penyajian makanan ini yang ramah lingkungan karena tidak ada sampah plastik yang ditinggalkan.
Ada beberapa hal yang mulai bergeser pada tradisi ini, yaitu akhir-akhir ini keberadaan teh hangat yang sudah mulai tergantikan oleh air kemasan, dan equality (sama rata) kelas sosial saat makan sudah mulai terkikis. Hal ini terlihat seperti kalau kita kondangan di Gedung Serbaguna Pemkab Belitung yang ada kelas VIP-nya, dan di tempat-tempat lainnya.
Dalam tulisan ini, penulis berharap semoga salah satu kearifan lokal ini tidak sirna dari Bumi Laskar Pelangi, dan dapat dipertahankan sampai masa nanti. Ayo, siape nok agik rajin makan bedulang pas kundangan?!